Wisata

Di Muka Astana, Kuching

Senin, 25 Januari 2021, 19:45 WIB
Dibaca 432
Di Muka Astana, Kuching
Saya di muka Astana, Kuching.

Tepi Sungai Sarawak yang mengalir tenang, Waterfront, Kuching. Berjajar kedai dan bunga. Asoka dan boungenvile memburat warna menyala, merah seperti kirmizi. Taman seakan istana bidadari dalam dongeng masa lalu. Sedap dipandang mata. Resik dan tertata dengan artistik.

Aku menikmati betul panorama dan suasana. Sarawak sungguh berbeda dengan negeriku. Mungkin saja karena dijajah Britania Raya, sehingga tertib dan bersih.

Pohon Tapang nan rindang

Sarawak mengambil namanya dari sungai yang mengalir dari Penrissen ke Kuching. Berkelok-kelok melalui dataran aluvial yang luas hingga mencapai Laut Selatan.

Astana, atau istana, dibangun oleh Rajah Charles Brooke pada tahun 1870 pada saat pernikahannya dengan Nona Margaret de Windt: hadiah pengantin. Astana satu dipagari dengan tiga bungalow yang luas, yang membuatnya sebuah panorama eksotik. Pada tahun 1931 direnovasi, pengrajin terampil dari Hongkong dipekerjakan untuk mendekorasi langit-langit ruang utama dengan plesteran-plesteran berornamen.

Setelah itu, sejak Malaysia Day, Astana kini menjadi kediaman Gubernur Sarawak. Sayangnya, astana tidak terbuka untuk umum, sehingga saya tidak bisa masuk....

Saya masuk halaman Astana. Namun, tidak diberi izin masuk ke dalam. Hanya menikmati pemandangan. Duduk duduk bawah pohon tapang (koompassia excelsa). Wisata sejarah seperti ini, saya paling demen.

***
Tak bisa masuk ke dalam sesiang itu. Sebab dalam sebuah persiapan acara besar. Dilarang untuk umum. Tapi aku menikmati betul pemandangan sekitar. Sejenak duduk di halaman rumput, bawah pohon tapang.

Maka kugoreskan kata. Menjadi larik-larik puisi. Memindah keindahan dan pesona. Spontan, ke dalam bahasa pujangga.

Kali ini, pikirku. Aku tak menulis objek, keindahan lewat kalimat dan kata seorang penulis esay. Tapi merangkainya sebagai seorang penyair. Terlalu banyak isi hati dan perasaan harus dicurahkan ke dalam kata dan kalimat sebuah feature. Dengan bahasa puisi lebih bernas. Lagi simbolik, penuh imaginasi.


Tepi Sungai Sarawak
(I):
tepi sungai sarawak mengalir tenang
tak tampak lagi matahari pertama
seperti diam seribu bahasa
pada keruh air
yang menyudutkan lampu-lampu
taman astana
dan kau masih berdiri
seberang kali
yang memisah pandang
sepanjang jalan
hanya tampak seorang perempuan iban
berjalan lamban seperti enggan
dengan kaki tetap melangkah
bujur ke arah timur
"kita kan sampai di dermaga," katanya
"kita kan sampai di sana
sebelum gulita dan matahari
membias sinar emas
atas keruh air sarawak."
dan di cafe james broke, sore itu
musik dan lagu iban
masih kudengar
"enti suba tua dara betemu
sigi nuan dambi aku ke sulu...."
aku pernah bermimpi
ketika dulu masih terlalu pagi
dan ibu membangunkan mimpi
"iban bukan bahasa ibumu!
kau jangan ke sana
terlalu bahaya bagi anak kecil!'
lalu matahari pertama itu pun jatuh
luruh membias rona pelangi
warna warni
atas keruh air
sungai sarawak yang tak bergerak
suara-suara serak
mungkin decak kelana yang tak dikenal
(II):
riak-riak bekejaran seakan ombak
membawa lingkar bulat
seperti imaginasi
di tepian jadi buih
putih jatuh beterbangan
datar di altar Waterfront
Di tepian Sungai Sarawak
aku bersenandung
dengan warna tujuh bunga
kidung aku di malam
yang dikakukan temaram
Barangkali di ujung
ada mantra kata lain
Aku kan singgah
di dermaga
hatimu

Tags : wisata