Sosok

Selamat Hari Ayah, Pahlawan! Mengenal Dua Pahlawan dari Tanah Perbatasan Indonesia-Malaysia

Kamis, 17 November 2022, 22:18 WIB
Dibaca 510
Selamat Hari Ayah, Pahlawan! Mengenal Dua Pahlawan dari Tanah Perbatasan Indonesia-Malaysia

DI BULAN  November ini setidaknya ada dua hari penting  untuk dirayakan. Pertama, Hari Pahlawan diperingati setiap  10 November. Kedua, yang baru  dicanangkan, Hari Ayah yang jatuh setiap tanggal 13 November.

Karena baru saja lewat, untuk mendukung tulisan ini, boleh juga kita sebut Hari Lansia Internasional yang diperingati 1 Oktober lalu.

Mumpung masih hangat, penulis  ingin merayakan ketiga perayaan hari penting itu  sekaligus dengan menurunkan catatan tentang kisah Ramli Paren (87 tahun) dan Daud Ipid (84 tahun), dua pria perkasa berdarah Dayak Lundayeh dari Krayan.

Mereka yang sekarang telah berpredikat lansia itu memiliki kisah kepahlawaan pada era konfrontasi Indonesia-Malaysia (1963-1966) lalu dan sekaligus menyandang predikat ayah yang hebat di mata anak-anaknya.

Kepahlawanan kedua tokoh ini terungkap dalam acara Batu Ruyud Writing Camp (BRWC) I, yang berlangsung 27 Oktober sampai 3 November lalu, di Batu Ruyud, Fe Milau, Krayan Tengah, Nunukan, Kalimantan Utara. Penulis bersama 9 pegiat literasi  lainnya  dari Jakarta, Solo, Yogyakarta, Serang, Depok, dan Pontianak, diundang untuk berbagi pengalaman dalam penulisan dan pementasan puisi.

Krayan Tengah adalah kecamatan yang tergolong daerah terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan Negeri Jiran Malaysia.  Sebagian besar daerah ini masih terisolasi karena miskin infrastruktur jalan dan telekomunikasi yang memadai.

Untuk sampai ke daerah ini kami harus naik pesawat tiga kali.  Mulai dari pesawat jenis  jet Boeing 737  (dari Jakarta ke Balikpalan);  pesawat berbaling-baling berukuran sedang untuk puluhan penumpang  (Balikpapan-Malinau), dan terakhir naik jenis pesawat kecil berbaling depan, bermuatan  6-8  orang di luar dua orang awak (Malinau-Krayan).

Begitu turun dari pesawat terakhir ini, kami harus melanjutkan naik kendaraan dobel gardan dengan ban off road yang  khusus untuk berjalan di medan lumpur. Mobil ini mengantar kami sampai di ujung jembatan gantung kayu panjang berayun-ayun ala film "Indiana Jones" yang hanya bisa dilalui motor dan pejalan kaki. 

Dari sini sudah menunggu truk atau kendaraan khusus  yang rodanya terbuat dari baja mirip tank (sejenis eskavator) agar bisa melaju di  tanjakan dan turunan yang juga berlumpur. Kendaraan-kendaraan milik perusahaan yang sedang mengembangkan jalan Trans Kalimantan.

Sejauh mata memandang hanya langit luas dan  rimba perawan yang terhampar.

Buruknya jalan separuh jadi ini berpengaruh besar pada kehidupan sosial ekonomi warganya. Kebutuhan sembako dan keperluan  sehari-hari warganya harus dipasok dari Malaysia. Baik dengan barter atau membeli dengan harga relatif murah.  Jika membeli dari dalam negeri -- maksudnya barang yang didatangkan dari Malinau atau kota  terdekat lainnya di wilayah perbatasan,  harganya bisa naik puluhan kali lipat lantaran biaya transportasi yang tinggi.

Apalagi jika diangkut dengan pesawat MAF milik misionaris atau penerbangan perintis semacam Susi Air, setiap barang yang diangkut akan dibebani tarif Rp 22 ribu per kg. Hanya bila  mengangkut orang sakit parah yang dikenai diskon yang cukup tinggi.

Di tengah kondisi  geografis yang sangat ekstrem begitulah dua lelaki perkasa dari Dataran Tinggi Borneo ini lahir dan tumbuh.

Bagi penulis, kedua tokoh ini layak mendapat tiga predikat sekaligus, yaitu "Pahlawan yang Berjasa pada Bangsa dan Negara", "Ayah yang Hebat bagi Anak-Anaknya", dan  "Lansia yang  Sehat dan Bahagia di Hari Tua".

Pahlawan di Era "Ganyang Malaysia"

Sebagaimana  banyak ditulis,  setelah proklamasi 1945,  ada saja  peristiwa yang merongrong kemerdekaan dan kedaulatan NKRI. Salah satunya melalui apa yang populer dengan istilah Konfrontasi Indonesia-Malaysia pada 1963-1966.

Ini bermula ketika Indonesia di bawah Soekarno menentang  Inggris  yang membentuk Federasi Malaysia. Langkah ini, di mata Presiden Soekarno kala itu,  memiliki potensi menjadi ancaman bagi eksistensi kemerdekaan Indonesia.

Penentangan Seokarno dibarengi pengiriman pasukan ke  daerah  yang berbatasan dengan wilayah Malaysia yang kemudian melahirkan istilah "Ganyang Malaysia"  Reaksi ini mengundang kemarahan berbagai elemen kemasyarakatan di Malaysia dengan berunjuk rasa sampai  melecehkan berbagai lambang kenegaraan Indonesia  yang makin menambah kesalnya Soekarno.

Perang pun pecah. Banyak korban jatuh dari kedua belah pihak.  Menurut data, total jeneral, 590 jiwa terbunuh, 222 luka-luka, dan 71 ditangkap. Ramli Paren dan Daud Ipid adalah dua pelaku dan saksi mata yang selamat.

Seolah baru terjadi "kemarin sore", kedua tokoh ini dengan lancar mengisahkan pengalaman mereka keluar masuk hutan dan perbatasan membantu mengangkut logistik milik  tentara Indonesia dan  memata-matai lawan. Bahkan,  mereka juga  mengaku ikut angkat senjata guna melumpuhkan lawan.

Seperti dituturkan Daud Ipid,  tugas para veteran umumnya membantu tentara  mengangkut logistik dan persenjataan untuk tentara Indonesia sampai ke hutan diperbatasan Malaysia yang dibantu tentara Gurkha. Dia sampai jauh masuk  ke desa  di Long Midan dan Long Klalan.

Daud masih ingat, salah seorang tentara Indonesia  yang pernah dibantunya   bernama  Mayor Sarengat.

"Kami melawan tentara Gurkha. Senang kami  menembaknya  karena badannya besar-besar," cetus Daud sambil menahan senyum. 

"Menembak berapa orang Gurkha," tanya saya.

"Nggak usah tahu lah," kilahnya. Kali ini tawanya lepas.

Dia dan kawan-kawan seperjuangan punya kebiasaan, bila habis menembak lawan,  langsung kabur untuk menghindari kontak senjata lebih lanjut. Akibatnya  dia tidak tahu musuhnya  tewas  atau tidak. 

"Biasanya kalau ada mayat Gurkha yang kita tembak mereka yang urus. Begitu juga jika ada tentara kita yang tertembak, kita yang urus," kenang Daud.

Menurutnya, dulu di dekat tempat tinggalnya di  Krayan, banyak makam pejuang Indonesia korban konfrontasi. Namun sekarang sudah dipindahkan  ke Tanjung Selor, ibukota kecamatan yang jaraknya  beberapa puluh kilometer dari makam semula.

Pada suatu hari Sabtu, kisah Daud, ada mata-mata di hutan yang membocorkan posisi tentara kita. Akibatnya,  kantor kecamatan Krayan jadi sasaran  bom lawan dan terbakar habis.

Pada masa itu, katanya,  cukup banyak orang di daerahnya yang berkeluarga dengan warga negara Malaysia dan menetap di sana. Uniknya, jiwa nasionalisme mereka tak luntur. Mereka membantu perjuangan tentara Indonesia dengan berbagai cara. Misalnya dengan melarang tentara Indonesia mendekati daerah perbatasan. Caranya dengan menjemur pakaian berwarna merah.

"Jika ada jemuran berwarna merah itu isyarat kita jangan masuk karena di sana ada tentara musuh. Mereka  banyak membantu informasi buat tentara kita,"  papar pria yang mengaku pernah bekerja di perkebunan sawit di Labuhan, Malaysia, tapi hanya bertahan sebulan itu.

Lain lagi cerita  seperjuangan Daud Ipid, Ramli Paren, 87 tahun. Di era  konfrontasi dulu  warga Krayan ikut berjuang  karena penjajah Inggris dengan dukungan tentara Gurkha hendak masuk ke wilayah Indonesia melalui daerah perbatasan.  Mereka membantu tentara Indonesia dengan berjaga-jaga. Mereka juga membantu  mengangkut bahan makanan dan  persenjataan dengan berjalan kaki di hutan Long Sembiling berhari-hari. 

"Kamilah yang menyiapkan makan dan kebutuhan tentara nasional Indonesia," tegas Ramli.

Dia mengaku, di kali pertama bertugas  pernah  tertangkap musuh  dan diinterogasi mengenai jumlah dan kekuatan senjata   tentara Indonesia. Untungnya dilepas kembali.

Sebagai  gembala dan tokoh kharismatis gereja panutan warga di Krayan, ada juga  jemaat Ramli Paren yang  "memprotes". Kenapa dia ikut memerangi orang dengan terjun sebagai pendukung tentara Indoneisa.

Ramli Paren  menjawab, "Bagaimana kita bisa beribadah dengan tenang kalau ada penjajah yang mengganggu." Jawaban ini diterima dan masuk di akal para jemaatnya itu.

Pasca era  konfrontasi, Ramli  dengan senang  ketika pada 1980-an dikirim ke berbagai daerah di Jawa dan Bali untuk mempelajari pertanian dan berbagai hal praktis yang bisa diterapkan bagi warga desanya. Misalnya, cara merawat pohon kopi agar produktif dan mudah dipanen, menanam vanili, mencetak tungku, atau  membuat sabun.

Bahkan, dari hasil "studi banding" dan  kunjungannya ke Jawa, Bali, dan daerah lainnya itu, Ramli juga  membawa bibit tebu, mengajari cara menanam sampai mengolahnya jadi gula merah dengan alat giling yang  dibuat sendiri.
Menurut dia,  dulu  warga Krayan belum pernah atau jarang minum atau makan yang manis-manis karena belum mengenal cara membuat gula.

"Itulah perjuangan kami untuk meningkatkan kesejahteraan warga Krayan," kata Ramli.

Pada 1983 dia mengantongi surat pensiun sebagai veteran. Kemudian oleh pemerintah diperbantukan sebagai saksi untuk mendata mereka yang pernah ikut berjuang di perbatasan guna pemberian status veteran juga. Hasilnya, kini terdata  veteran sebanyak 600 orang di Krayan dan 20 veteran di Krayan Tengah.

Ramli bersyukur, kehidupan di Krayan kini agak lebih baik ketimbang masa konfrontasi atau beberapa tahun setelahnya. Kini dia menekuni "profesi" sebagai pengrajin topi, kalung, dan kerajinan lainnya yang bahan bakunya melimpah di hutan yang cuma selangkah dari rumahnya.

Berharap Jalan Trans Kalimantan Segera Selesai

Berbeda dengan pandangan Ramli Paren, bagi Daud Ipid pembangunan di  tanah kelahirannya itu masih jauh dari senpurna. Dia berharap pemerintah pusat  segera menyelesaikan  pembangunan infrastruktur jalan dan telekomunikasi. Langkanya infrastruktur  dari penyelenggara telekomunikasi  membuat sulitnya  sinyal untuk berkomunikasi dengan gawai.

Selama ini warga harus melangkah cukup jauh  ke rumah Kepala Desa  atau SMP Negeri I  Krayaan Tengah untuk mendapatkan sinyal gawai agar dapat berkomunikasi keluar.

Di hari senjanya  sekarang, Daud juga berharap dapat menyaksikan aksesibilitas jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan seluruh wilayah daratan Kalimantan segera diselesaikan agar sarana transportasi ke daerahnya ikut terbangun.

Di hari tuanya sekarang, Daud ingin melihat  pembangunan infrastruktur jalan di daerahnya segera selesai untuk menekan biaya transportasi  yang dampaknya menyulitkan warga.
"Jalan yang bagus dan mulus membuat hasil pertanian kami seperti buah-buahan, beras lokal,  kerajinan, dan  hasil bumi lainnya bisa  dipasarkan ke luar daerah," tegasnya. Juga, sembako dan dan barang kebutuhan warga dapat  masuk ke desanya  dengan harga yang normal pula dan terjangkau.

Daud  mencontohkan, harga satu sak semen   yang di Jawa berada pada kisaran Rp 40-Rp 50 ribu,  di Krayan mencapai Rp 1 juta-1,2 juta per sak. Mahalnya harga semen ini didongkrak oleh tingginya  biaya transportasi karena jalan yang  belum selesai. Apalagi jika musim hujan, jalan berubah jadi lautsn lumpur. Jalan yang biasanya ditempuh dalam beberapa jam menjadi  berhari-hari.

Sebelum pandemi, tambah Daud, pos perbatasan dengan Malaysia  masih dibuka sehingga memudahkan dia  beli semen di perbatasan dengan harga  Rp 300 ribu per sak.

"Sekarang tidak bisa lagi karena sejak pandemi pintu perbatasan sudah ditutup.
Kalau beli semen dari Indonesia, satu sak  Rp 900 ribu.  Sampai di Krayan harganya bisa melonjak jadi  Rp 1.200.000 per sak karena ongkos angkutnya mahal," keluhnya.
Maka jangan heran bila rumah-rumah di Krayan umumnya rumah panggung  berdinding  dan berlantai papan karena lebih mudah dan murah dengan mencarinya ke hutan. Sedangkan semen lebih sering digunakan untuk hal yang lebih penting seperti lantai kamar mandi atau pondasi bangunan.

Di balik semua keterbatasan geografis itu, Ramli Paren dan Daud Ipid adalah orang tua atau ayah yang menempatkan pendidikan sebagai hal utama bagi anak-anaknya.

Mereka beranggapan, biarlah dirinya hidup berkekurangan namun bisa menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin.

Tujuh orang anak Ramli kini berhasil  menempuh pendidikan cukup tinggi sehingga semua sudah "jadi orang". Ada yang  jadi camat, guru,  pegawai pemerintah daerah di Malinau, atau  bekerja di Jakarta.

Menurut Ramli, sebagai orang tua dia  sengaja  mengirim anak sekolah ke daerah lain walau dananya amat terbatas dan  harus menempuh  jalan kaki berhari-hari agar mereka tidak menderita seperti ayahnya.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Daud Ipid. Dari 10 anaknya semua telah mendapat pekerjaan memadai sebagai  kepala desa,  satpol PP, dan ASN. Bahkan dua  cucunya yang bersekolah di Pulau Jawa  sudah meraih gelar doktor.

Selamat Hari Ayah, Para Pahlawan!


* Penyair dan jurnalis tinggal di Bogor.

Menjadi salah seorang mentor pada BRWC 2022.