Selamat Hari Ayah, Pahlawan! Mengenal Dua Pahlawan dari Tanah Perbatasan Indonesia-Malaysia
DI BULAN November ini setidaknya ada dua hari penting untuk dirayakan. Pertama, Hari Pahlawan diperingati setiap 10 November. Kedua, yang baru dicanangkan, Hari Ayah yang jatuh setiap tanggal 13 November.
Karena baru saja lewat, untuk mendukung tulisan ini, boleh juga kita sebut Hari Lansia Internasional yang diperingati 1 Oktober lalu.
Mumpung masih hangat, penulis ingin merayakan ketiga perayaan hari penting itu sekaligus dengan menurunkan catatan tentang kisah Ramli Paren (87 tahun) dan Daud Ipid (84 tahun), dua pria perkasa berdarah Dayak Lundayeh dari Krayan.
Mereka yang sekarang telah berpredikat lansia itu memiliki kisah kepahlawaan pada era konfrontasi Indonesia-Malaysia (1963-1966) lalu dan sekaligus menyandang predikat ayah yang hebat di mata anak-anaknya.
Kepahlawanan kedua tokoh ini terungkap dalam acara Batu Ruyud Writing Camp (BRWC) I, yang berlangsung 27 Oktober sampai 3 November lalu, di Batu Ruyud, Fe Milau, Krayan Tengah, Nunukan, Kalimantan Utara. Penulis bersama 9 pegiat literasi lainnya dari Jakarta, Solo, Yogyakarta, Serang, Depok, dan Pontianak, diundang untuk berbagi pengalaman dalam penulisan dan pementasan puisi.
Krayan Tengah adalah kecamatan yang tergolong daerah terluar Indonesia yang berbatasan langsung dengan Negeri Jiran Malaysia. Sebagian besar daerah ini masih terisolasi karena miskin infrastruktur jalan dan telekomunikasi yang memadai.
Untuk sampai ke daerah ini kami harus naik pesawat tiga kali. Mulai dari pesawat jenis jet Boeing 737 (dari Jakarta ke Balikpalan); pesawat berbaling-baling berukuran sedang untuk puluhan penumpang (Balikpapan-Malinau), dan terakhir naik jenis pesawat kecil berbaling depan, bermuatan 6-8 orang di luar dua orang awak (Malinau-Krayan).
Begitu turun dari pesawat terakhir ini, kami harus melanjutkan naik kendaraan dobel gardan dengan ban off road yang khusus untuk berjalan di medan lumpur. Mobil ini mengantar kami sampai di ujung jembatan gantung kayu panjang berayun-ayun ala film "Indiana Jones" yang hanya bisa dilalui motor dan pejalan kaki.
Dari sini sudah menunggu truk atau kendaraan khusus yang rodanya terbuat dari baja mirip tank (sejenis eskavator) agar bisa melaju di tanjakan dan turunan yang juga berlumpur. Kendaraan-kendaraan milik perusahaan yang sedang mengembangkan jalan Trans Kalimantan.
Sejauh mata memandang hanya langit luas dan rimba perawan yang terhampar.
Buruknya jalan separuh jadi ini berpengaruh besar pada kehidupan sosial ekonomi warganya. Kebutuhan sembako dan keperluan sehari-hari warganya harus dipasok dari Malaysia. Baik dengan barter atau membeli dengan harga relatif murah. Jika membeli dari dalam negeri -- maksudnya barang yang didatangkan dari Malinau atau kota terdekat lainnya di wilayah perbatasan, harganya bisa naik puluhan kali lipat lantaran biaya transportasi yang tinggi.
Apalagi jika diangkut dengan pesawat MAF milik misionaris atau penerbangan perintis semacam Susi Air, setiap barang yang diangkut akan dibebani tarif Rp 22 ribu per kg. Hanya bila mengangkut orang sakit parah yang dikenai diskon yang cukup tinggi.
Di tengah kondisi geografis yang sangat ekstrem begitulah dua lelaki perkasa dari Dataran Tinggi Borneo ini lahir dan tumbuh.
Bagi penulis, kedua tokoh ini layak mendapat tiga predikat sekaligus, yaitu "Pahlawan yang Berjasa pada Bangsa dan Negara", "Ayah yang Hebat bagi Anak-Anaknya", dan "Lansia yang Sehat dan Bahagia di Hari Tua".
Pahlawan di Era "Ganyang Malaysia"
Sebagaimana banyak ditulis, setelah proklamasi 1945, ada saja peristiwa yang merongrong kemerdekaan dan kedaulatan NKRI. Salah satunya melalui apa yang populer dengan istilah Konfrontasi Indonesia-Malaysia pada 1963-1966.
Ini bermula ketika Indonesia di bawah Soekarno menentang Inggris yang membentuk Federasi Malaysia. Langkah ini, di mata Presiden Soekarno kala itu, memiliki potensi menjadi ancaman bagi eksistensi kemerdekaan Indonesia.
Penentangan Seokarno dibarengi pengiriman pasukan ke daerah yang berbatasan dengan wilayah Malaysia yang kemudian melahirkan istilah "Ganyang Malaysia" Reaksi ini mengundang kemarahan berbagai elemen kemasyarakatan di Malaysia dengan berunjuk rasa sampai melecehkan berbagai lambang kenegaraan Indonesia yang makin menambah kesalnya Soekarno.
Perang pun pecah. Banyak korban jatuh dari kedua belah pihak. Menurut data, total jeneral, 590 jiwa terbunuh, 222 luka-luka, dan 71 ditangkap. Ramli Paren dan Daud Ipid adalah dua pelaku dan saksi mata yang selamat.
Seolah baru terjadi "kemarin sore", kedua tokoh ini dengan lancar mengisahkan pengalaman mereka keluar masuk hutan dan perbatasan membantu mengangkut logistik milik tentara Indonesia dan memata-matai lawan. Bahkan, mereka juga mengaku ikut angkat senjata guna melumpuhkan lawan.
Seperti dituturkan Daud Ipid, tugas para veteran umumnya membantu tentara mengangkut logistik dan persenjataan untuk tentara Indonesia sampai ke hutan diperbatasan Malaysia yang dibantu tentara Gurkha. Dia sampai jauh masuk ke desa di Long Midan dan Long Klalan.
Daud masih ingat, salah seorang tentara Indonesia yang pernah dibantunya bernama Mayor Sarengat.
"Kami melawan tentara Gurkha. Senang kami menembaknya karena badannya besar-besar," cetus Daud sambil menahan senyum.
"Menembak berapa orang Gurkha," tanya saya.
"Nggak usah tahu lah," kilahnya. Kali ini tawanya lepas.
Dia dan kawan-kawan seperjuangan punya kebiasaan, bila habis menembak lawan, langsung kabur untuk menghindari kontak senjata lebih lanjut. Akibatnya dia tidak tahu musuhnya tewas atau tidak.
"Biasanya kalau ada mayat Gurkha yang kita tembak mereka yang urus. Begitu juga jika ada tentara kita yang tertembak, kita yang urus," kenang Daud.
Menurutnya, dulu di dekat tempat tinggalnya di Krayan, banyak makam pejuang Indonesia korban konfrontasi. Namun sekarang sudah dipindahkan ke Tanjung Selor, ibukota kecamatan yang jaraknya beberapa puluh kilometer dari makam semula.
Pada suatu hari Sabtu, kisah Daud, ada mata-mata di hutan yang membocorkan posisi tentara kita. Akibatnya, kantor kecamatan Krayan jadi sasaran bom lawan dan terbakar habis.
Pada masa itu, katanya, cukup banyak orang di daerahnya yang berkeluarga dengan warga negara Malaysia dan menetap di sana. Uniknya, jiwa nasionalisme mereka tak luntur. Mereka membantu perjuangan tentara Indonesia dengan berbagai cara. Misalnya dengan melarang tentara Indonesia mendekati daerah perbatasan. Caranya dengan menjemur pakaian berwarna merah.
"Jika ada jemuran berwarna merah itu isyarat kita jangan masuk karena di sana ada tentara musuh. Mereka banyak membantu informasi buat tentara kita," papar pria yang mengaku pernah bekerja di perkebunan sawit di Labuhan, Malaysia, tapi hanya bertahan sebulan itu.
Lain lagi cerita seperjuangan Daud Ipid, Ramli Paren, 87 tahun. Di era konfrontasi dulu warga Krayan ikut berjuang karena penjajah Inggris dengan dukungan tentara Gurkha hendak masuk ke wilayah Indonesia melalui daerah perbatasan. Mereka membantu tentara Indonesia dengan berjaga-jaga. Mereka juga membantu mengangkut bahan makanan dan persenjataan dengan berjalan kaki di hutan Long Sembiling berhari-hari.
"Kamilah yang menyiapkan makan dan kebutuhan tentara nasional Indonesia," tegas Ramli.
Dia mengaku, di kali pertama bertugas pernah tertangkap musuh dan diinterogasi mengenai jumlah dan kekuatan senjata tentara Indonesia. Untungnya dilepas kembali.
Sebagai gembala dan tokoh kharismatis gereja panutan warga di Krayan, ada juga jemaat Ramli Paren yang "memprotes". Kenapa dia ikut memerangi orang dengan terjun sebagai pendukung tentara Indoneisa.
Ramli Paren menjawab, "Bagaimana kita bisa beribadah dengan tenang kalau ada penjajah yang mengganggu." Jawaban ini diterima dan masuk di akal para jemaatnya itu.
Pasca era konfrontasi, Ramli dengan senang ketika pada 1980-an dikirim ke berbagai daerah di Jawa dan Bali untuk mempelajari pertanian dan berbagai hal praktis yang bisa diterapkan bagi warga desanya. Misalnya, cara merawat pohon kopi agar produktif dan mudah dipanen, menanam vanili, mencetak tungku, atau membuat sabun.
Bahkan, dari hasil "studi banding" dan kunjungannya ke Jawa, Bali, dan daerah lainnya itu, Ramli juga membawa bibit tebu, mengajari cara menanam sampai mengolahnya jadi gula merah dengan alat giling yang dibuat sendiri.
Menurut dia, dulu warga Krayan belum pernah atau jarang minum atau makan yang manis-manis karena belum mengenal cara membuat gula.
"Itulah perjuangan kami untuk meningkatkan kesejahteraan warga Krayan," kata Ramli.
Pada 1983 dia mengantongi surat pensiun sebagai veteran. Kemudian oleh pemerintah diperbantukan sebagai saksi untuk mendata mereka yang pernah ikut berjuang di perbatasan guna pemberian status veteran juga. Hasilnya, kini terdata veteran sebanyak 600 orang di Krayan dan 20 veteran di Krayan Tengah.
Ramli bersyukur, kehidupan di Krayan kini agak lebih baik ketimbang masa konfrontasi atau beberapa tahun setelahnya. Kini dia menekuni "profesi" sebagai pengrajin topi, kalung, dan kerajinan lainnya yang bahan bakunya melimpah di hutan yang cuma selangkah dari rumahnya.
Berharap Jalan Trans Kalimantan Segera Selesai
Berbeda dengan pandangan Ramli Paren, bagi Daud Ipid pembangunan di tanah kelahirannya itu masih jauh dari senpurna. Dia berharap pemerintah pusat segera menyelesaikan pembangunan infrastruktur jalan dan telekomunikasi. Langkanya infrastruktur dari penyelenggara telekomunikasi membuat sulitnya sinyal untuk berkomunikasi dengan gawai.
Selama ini warga harus melangkah cukup jauh ke rumah Kepala Desa atau SMP Negeri I Krayaan Tengah untuk mendapatkan sinyal gawai agar dapat berkomunikasi keluar.
Di hari senjanya sekarang, Daud juga berharap dapat menyaksikan aksesibilitas jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan seluruh wilayah daratan Kalimantan segera diselesaikan agar sarana transportasi ke daerahnya ikut terbangun.
Di hari tuanya sekarang, Daud ingin melihat pembangunan infrastruktur jalan di daerahnya segera selesai untuk menekan biaya transportasi yang dampaknya menyulitkan warga.
"Jalan yang bagus dan mulus membuat hasil pertanian kami seperti buah-buahan, beras lokal, kerajinan, dan hasil bumi lainnya bisa dipasarkan ke luar daerah," tegasnya. Juga, sembako dan dan barang kebutuhan warga dapat masuk ke desanya dengan harga yang normal pula dan terjangkau.
Daud mencontohkan, harga satu sak semen yang di Jawa berada pada kisaran Rp 40-Rp 50 ribu, di Krayan mencapai Rp 1 juta-1,2 juta per sak. Mahalnya harga semen ini didongkrak oleh tingginya biaya transportasi karena jalan yang belum selesai. Apalagi jika musim hujan, jalan berubah jadi lautsn lumpur. Jalan yang biasanya ditempuh dalam beberapa jam menjadi berhari-hari.
Sebelum pandemi, tambah Daud, pos perbatasan dengan Malaysia masih dibuka sehingga memudahkan dia beli semen di perbatasan dengan harga Rp 300 ribu per sak.
"Sekarang tidak bisa lagi karena sejak pandemi pintu perbatasan sudah ditutup.
Kalau beli semen dari Indonesia, satu sak Rp 900 ribu. Sampai di Krayan harganya bisa melonjak jadi Rp 1.200.000 per sak karena ongkos angkutnya mahal," keluhnya.
Maka jangan heran bila rumah-rumah di Krayan umumnya rumah panggung berdinding dan berlantai papan karena lebih mudah dan murah dengan mencarinya ke hutan. Sedangkan semen lebih sering digunakan untuk hal yang lebih penting seperti lantai kamar mandi atau pondasi bangunan.
Di balik semua keterbatasan geografis itu, Ramli Paren dan Daud Ipid adalah orang tua atau ayah yang menempatkan pendidikan sebagai hal utama bagi anak-anaknya.
Mereka beranggapan, biarlah dirinya hidup berkekurangan namun bisa menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin.
Tujuh orang anak Ramli kini berhasil menempuh pendidikan cukup tinggi sehingga semua sudah "jadi orang". Ada yang jadi camat, guru, pegawai pemerintah daerah di Malinau, atau bekerja di Jakarta.
Menurut Ramli, sebagai orang tua dia sengaja mengirim anak sekolah ke daerah lain walau dananya amat terbatas dan harus menempuh jalan kaki berhari-hari agar mereka tidak menderita seperti ayahnya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Daud Ipid. Dari 10 anaknya semua telah mendapat pekerjaan memadai sebagai kepala desa, satpol PP, dan ASN. Bahkan dua cucunya yang bersekolah di Pulau Jawa sudah meraih gelar doktor.
Selamat Hari Ayah, Para Pahlawan!
* Penyair dan jurnalis tinggal di Bogor.
Menjadi salah seorang mentor pada BRWC 2022.