Sosok

Bang, Bukan Tante Korrie!

Sabtu, 13 Februari 2021, 20:30 WIB
Dibaca 393
Bang, Bukan Tante Korrie!

Menyesal saya. Lupa menanyakan. Dari mana gerangan asal muasal "Korrie" yang jadi nama panggilan lelaki murah senyum itu? Kalau "Rampan". Saya mafhum. Itu nama sang ayah. Seorang Dayak Benuaq.

Suaranya sedikit melengking. Maka tak heran. Jika mendengar suaranya via telepon. Dari seberang sana, orang berkata, "Selamat pagi. Atau siang. Atau malam, Tante!"

Mendengar itu, ia biasanya tertawa. Ngakak!

Sudah siap mental agaknya dia. Bahwa dari nama dan pita suara, ia akan disangka: wanita!

Memang! Menilik namanya. Orang mengira dia wanita. Salah besar! Itulah sastrawan Korrie Layun Rampan. Pria yang dilahirkan pada 17 Agustus 1953 di Barong Tongkok (Kutai Barat), Kalimantan Timur. Putra pasangan Paulus Rampan dan Martha Renihay ini malang melintang di kancah dunia sastra Indonesia.

Selain menulis sendiri. Korrie juga menerjemahkan karya dari penulis lain. Seperti karya Leo Tolstoy, Knut Hamsun, Anton Chekov, O'Henry, dan Luigi Pirandello.

Korrie dikenal sebagai sastrawan dengan debut novelnya, Upacara (1976) yang memenangkan sayembara mengarang roman yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Ia kuliah di Yogyakarta. Sembari kuliah. Di Kota Gudeg ini, lelaki yang senang mengenakan topi itu mengasah keterampilan bersastra. Tercatat ia aktif dalam Persada Studi Klub (PSK) yang diasuh penyair Umbu Landu Paranggi.

Pada 1978. Korrie hijrah ke Jakarta dan bekerja di media. Mula-mula sebagai wartawan dan editor buku. Kemudian, menjadi penyiar RRI dan TVRI Studio Pusat, Jakarta. Di majalah Sarinah, ia merangkap Redaktur Pelaksana.

Nah, ada kisah unik. Sebenarnya, rahasia perusahaan. Di Sarinah, ia sebagai Redaktur Pelaksana. Karena itu, punya otoritas keuangan. Saking baik dan peduli pada sesama sastrawan dan pengarang, jika ada kawannya butuh uang. Maka cukup kawan yang butuh uang itu menyebut "apa judul" cerpen atau novelet yang akan ditulisnya. Korrie serta-merta akan mengeluarkan cash bon lebih dulu. Kemudian, baru ia menagih kawan itu. Agar nyetor naskah yang menjadi utang menulis. Atau  membayar lunas honor yang  telah menjadi "ampas".

Tapi, saking baiknya. Ada satu dua kawan yang lupa. Atau berlaga pilon, kate orang Jakarte. Tidak pernah nyetor naskah. Tentang hal itu. Korrie kepada saya, "Masri, orang baik sesekali pasti pernah kena tipu. Itu salah satu tanda orang baik," katanya sembari tertawa. "Tapi...." katanya seraya ngakak terlebih dahulu. Lalu memandang wajah saya. "Jika berkali-kali ditipu, bukan orang baik. Tapi orang bodoh!"

Nah. Kepada kawan yang tidak pernah nyetor naskah ke Sarinah. Hanya sekali itu saja Korrie baik padanya!

Hal yang patut dicatat. Bukan sekali saja Korrie menang sayembara mengarang di negeri orang. Ia membuktikan bukan jago kandang. Pada 1998. Korrie menjadi pemenang Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta untuk novel Api Awan Asap yang kemudian diterbitkan PT Grasindo. Saya waktu itu editornya.

Di sela-sela produktif menulis. Korrie terjun ke dunia politik. Pada Pemilihan Umum 2004, ia menjabat sebagai anggota Panwaslu Kabupaten Kutai Barat. Kemudian, menjadi calon legislatif dan dipercaya mewakili rakyat di DPRD Kabupaten Kutai Barat periode 2004-2009. Ia sempat menjabat sebagai Ketua Komisi I di DPRD Kabupaten Kutai Barat.

Selain menulis sendiri. Korrie juga menerjemahkan karya dari penulis lain. Seperti karya Leo Tolstoy, Knut Hamsun, Anton Chekov, O'Henry, dan Luigi Pirandello.

Dikenal seorang yang berkanjang di dunia sastra. Korrie dengan amat tekun mengumpulkan karya para pengarang Indonesia. Kemudian membukukannya. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (PT Grasindo, 2000) salah satunya.

Salah duanya, ia melakukan apa yang tidak setiap orang bisa. Yakni keuletannya. Ia menghimpun para pengarang dan karyanya yang tercecer. Dari berbagai penjuru mata angin. Dan lintas generasi. Dalam buku Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 1990). Nama dan karya saya ada di dalamnya. Pada halaman 390.

Korrie juga telah menulis dan menerbitkan tidak kurang dari 200 buku. Ada sekitar 25 kumpulan cerpen.
Karyanya yang lain:
1. Manusia Langit (1985).
2. Aliran Jenis Cerita Pendek (1999).
3. Perawan (2000).
4. Wanita di Jantung Jakarta (2000).
5. Leksikon Susastra Indonesia (2000).
6. Lingkaran Kabut (2000).
7. Bunga (2002).

**

Saya intens bergaul dan berdiskusi dengan Korrie. Juga dengan para sastrawan senior sejak 1990. Kami ada Bengkel Sastra Anak di Pusat Kurikulum dan Perbukuan (Puskurbuk), Kementerian P dan K, di bilangan Jakarta Pusat. Dekat Penerbit Balai Pustaka.

Kami kerap jadi juri Sayembara Menulis Nasional yang diadakan Puskurbuk. Ketika itu, kepala pusatnya Taya Paembonan.

Ketika melatih para guru menulis keliling Indonesia. Saya kerap dipasangkan dengan Korrie di satu kamar. Pas! Kami memang seasal. Lagi pula, satu chemistry. Sehingga klik.

Baca Juga: Rumah Sastra Korrie Layun Rampan

Saya kerap cerita tentang kisah kepandiran orang Dayak. Korrie terpingkal-pingkal. Dan memegang perut mendengarnya.

Sebenarnya. Usia kami cukup terpaut jauh. Bang, bukan Tante, Korrie. Ia kelahiran 17 Agustus 1953. Titits Basino kelahiran 1939. Saya? (jangan sebut, ah!)

Pada tulisan yang berikut. Saya kisahkan bagaimana Korrie "menjadi" sastrawan Dayak. Melalui Upacara. Novel perdananya yang memenangkan Sayembara Roman DKJ, 1976.

Tentang proses kreatifnya itu. Barangkali hanya saya yang punya dokumentasinya. Saya sengaja bikin kuesioner. Ia menjawabnya. Secara tertulis. Melalui email pula.

Kini dokumen itu terasa sangat berharga. Bukan saja karena orisinal.

Tapi lebih-lebih karena: satu-satunya!

***

Tags : sosok