"Menenggelamkan Diri" Ala Polycarpus Swantoro
Nama lengkapnya Pollycarpus Swantoro, tetapi koleganya di Harian Kompas kerap memanggilnya "Pak Swan", sebagaimana saya selaku salah satu anak buahnya dari sekian ratus jurnalis yang mengenal langsung Swantoro. Usianya tidak jauh beda dengan usia pendiri harian Kompas, Jakob Oetama, yakni 85 tahun, saat saat tulisan ini disusun, Selasa 13 Desember 2016 atau lebih dari tiga tahun lalu.
Pak Swan cenderung "bersembunyi" atau lebih tepat "menenggelamkan" diri dari hiruk-pikuk kebesaran Kompas selaku media cetak. Bahkan dia mengaku bukanlah pendiri harian terbesar di Indonesia itu. Namun dalam suatu kesempatan, saat Pak Swan berusia 80 tahun, Jakob Oetama pernah menyatakan di ruang publik bahwa Pollycarpus Swantoro terlibat langsung dalam pendirian awal Harian Kompas.
Dalam setiap acara-acara resmi seperti hari ulang tahun Kompas setiap 28 Juni, Pak Swan selalu berada di belakang. Benar-benar "nyingkur" (bahasa Sunda) yang bermakna bersembunyi dari hiruk-pikuk. Yang selalu tampil dalam acara tahunan itu adalah Jakob Oetama.
Pernah suatu kali Jakob Oetama mengungkapkan, sebelum terlibat dalam kelompok Kompas Gramedia, Swantoro pernah menggantikan dirinya memimpin majalah Penabur pada awal tahun 1960-an saat Jakob harus belajar ke Amerika Serikat. "Pak Swantoro itu terlibat di Kompas sejak awal," ungkapnya.
Saya sendiri selaku jurnalis yang selama 26 tahun bernaung di Harian Kompas, mengenal Pak Swan sebelum pensiun dan tidak aktif lagi di Harian Kompas. Namun demikian selaku jurnalis yang wajib digodok selama setahun dalam "in house training", Pak Swan adalah tutor sekaligus pembimbing dalam menanamkan "falsafah" Kompas dan terutama sejarah awal pendirian Kompas.
Pak Swan jugalah yang mengajari kami, termasuk saya selaku peserta didik, mengenai etika moral yang dibangun perusahaan dalam hal ini Kompas-Gramedia.
Kecintaannya kepada sejarah melekat pada diri Pak Swan, termasuk saat menjadi guru bagi calon wartawan Kompas seperti saya di pertengahan tahun 90-an. Tugas yang diberikan kepada peserta didik sangat berat, yaitu wajib me-resume atau membuat timbangan/resensi buku berbahasa Inggris mengenai sejarah Indonesia, misalnya mengenai kehadiran VOC di Batavia, Perang Candu, Cultuur Stelsel, sampai kejatuhan Kerajaan Nusantara sedatangnya Portugis di Malaka. Pokoknya stress berat untuk mengerjakannya, mana Google Translate belum ada saat itu.
Tetapi semua itu saya lalui dengan suka-cita dan penuh gairah. Belakangan saya lebih mengenal Pak Swan dari buku yang ditulisnya seperti Dari Buku ke Buku; Sambung Menyambung Menjadi Satu (2002) dan Masa Lalu Selalu Aktual (2016). (Belakangan terbit lagi satu serial Masa Lalu Selalu Aktual).
Dari Buku ke Buku bicara mengenai 200 buku keren yang pernah dibacanya, berbagai jenis buku, lalu Pak Swan seperti bercerita tanpa terputus dari satu buku ke buku lainnya seakan-akan menjadi satu. Sedangkan buku Masa Lalu merupakan kumpulan tulisan Pak Swan di Harian Kompas yang terkait dengan sejarah. Historia docet! Sejarah mengajarkan, adalah kata-kata yang akan terus saya ingat. Ketiga buku itu saya baca.
Ada pengalaman paling mengesankan dengan Pak Swan, terkait pekerjaan, saat saya berinisiatif menulis "Sejarah Kompas" untuk keperluan data Litbang Harian Kompas. Saya mulai menyusun sejarah Harian Kompas dari sumber kedua, yaitu buku-buku dan risalah lainnya. Tetapi saya berinisiatif menghubungi Pak Swan melalui telepon agar menceritakan sejarah bagaimana Harian Kompas awal berdiri.
Karena ahli sejarah, Pak Swan menceritakannya tanpa jeda dari seberang telepon, lancar seperti ia bercerita tentang masa lalunya kepada cucunya, sementara saya kerepotan mencatatnya.
Saya akan selalu mengenang orang-orang bereputasi besar di Harian Kompas yang menginspirasi seperti Jakob Oetama, Joseph Widodo, Witdarmono, August Parengkuan, Luwi Ishwara, Roem Harjono, AF Dwiyanta, dan lain-lain. Tentu juga PK Ojong, salah satu pendiri Kompas, meski saya tidak mengenalnya. Tetapi dengan Pak Swan, meski tidak kenal dekat, saya selalu mengingat kata-katanya saat menjadi tutor bagi calon jurnalis, juga tentu saja karena saya membaca karya-karya tulisnya.
Pak Swan yang menaruh perhatian pada sejarah dan budaya itu bagi saya adalah orang yang sangat "humble", rendah hati, dan tidak mau menonjolkan diri. Bahkan untuk perayaan ulang tahunnya yang "fenomenal" karena mencapai usia 80 di Bentara Budaya Jakarta, misalnya, Pak Swan mengaku tidak terlalu senang ulang tahunnya dirayakan banyak orang.
"Saya cuma minta didoakan saja agar bisa mati dengan baik. Buat apa umur panjang, tetapi matinya tidak baik," kata Pak Swan saat perayaan hari ulang tahunnya yang ke-80, lima tahun lalu.
Pada hari Minggu, 11 Agustus 2019 lalu, Pak Swan, orang yang saya hormati itu, meninggal dunia.
***