Sastra

Emilie Jawa 1904 - Refleksi Perempuan Barat Terhadap Politik Etis

Kamis, 31 Oktober 2024, 14:36 WIB
Dibaca 316
Emilie Jawa 1904 - Refleksi Perempuan Barat Terhadap Politik Etis
Emilie Jawa 1904

Judul: Emilie Jawa 1904

Penulis: Catherine Van Moppes

Penterjemah: Jean Couteau

Tahun Terbit: 2010

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Tebal: xii + 481

ISBN: 13-978-979-91-0233-1

 

Novel yang berjudul ”Emilie Jawa 1904” adalah novel yang mengambil latar belakang Hindia Belanda di awal penerapan politik etis. Novel karya penulis Belanda bernama Chaterine Van Moppes ini mengisahkan perjalanan seorang perempuan Perancis yang bernama Emilie bersama suaminya – Lucien Bernieres, ke Jawa. Sang suami mendapatkan pekerjaan di Hindia Belanda sebagai pejabat yang bertugas untuk memastikan kebijakan politik etis dijalankan dengan baik.

Novel ini menggambarkan bagaimana sikap pejabat Hindia Belanda dalam menerapkan politik etis. Melalui novel ini nyata benar bahwa para pejabat Hindia Belanda hanya pura-pura saja mendukung kebijakan politik etis. Banyak kejadian yang membuktikan bahwa sesungguhnya para pejabat tersebut justru ingin menggagalkan kebijakan politik etis dengan menciptakan kerusuhan-kerusuhan yang melegalkan mereka untuk menangkapi mereka-mereka yang berpikiran kritis.

Melalui novel ini kita melihat bagaimana pandangan seorang perempuan Eropa yang berpendirian humanis terhadap apa yang disaksikannya di tanah jajahan. Di sisi mana dia akan memihak?

Emilie – demikian nama si tokoh utama dalam novel ini adalah seorang perempuan yang terpelajar. Ia dibesarkan dalam keluarga yang sangat mendukung gerakan humanisme di Eropa. Emilie sangat bersemangat ketika berangkat ke Jawa bersama dengan suaminya. Sebagai seorang yang sangat menyukai hal-hal baru, perjalanan ke timur adalah sebuah surga baginya. Ia membayangkan akan mendapati alam yang sama sekali berbeda dengan alam Eropa dimana dia tinggal. Ia juga membayangkan akan bertemu dengan budaya eksotik yang tak didapatinya di negerinya. Apalagi tugas suaminya adalah untuk menerapkan sebuah kebijakan politik etis yang sangat mulia, yaitu membantu penduduk lokal supaya bisa berkehidupan yang maju.

Pertemuannya dengan seorang wartawan di Batavia membuat Emilie mempertanyakan kembali kesungguhan dari Pemerintah Hindia Belanda dalam menerapkan politik etis secara sungguh-sungguh. Wartawan tersebut memeringatkan Lucien tentang kelicikan pejabat kolonial dalam menelikung pelaksanaan kebijakan politik etis.

Semakin melihat kenyataan dalam kehidupan sehari-harinya di Jawa, Emilie semakin tahu bahwa Pemerintah Hindia Belanda tidak berminat menerapkan politik etis. Banyak pejabat yang masih meneruskan perilaku sebagai penjajah, meski secara verbal mengucapkan hal-hal yang berhubungan dengan politik etis. Para pejabat ini bahkan memperalat Lucien dalam upaya menggagalkan implementasi politik etis.

Pemerintah Belanda malah menggunakan para intel untuk melakukan provokasi supaya ada pembenaran penangkapan orang-orang pribumi dan Cina yang memperjuangkan persamaan hak berdasarkan politik praktis. Contohnya adalah kejadian di teater yang diselenggarakan oleh orang Cina yang diprovokasi dengan kasus pembunuhan. Dalam pertunjukan opera Cina tersebut, seorang pejabat kolonial yang bernama Robert Mueller terbunuh. Pejabat Belanda langsung saja menuduh kelompok Cina yang melakukan huru-hara. Pejabat Belanda jadi punya alasan untuk menangkapi orang-orang Cina.

Pertemuan Emilie dengan tokoh pergerakan Cina bernama Pei membuat dia semakin dalam untuk mendukung gerakan humanisme ditegakkan di tanah jajahan. Pei adalah seorang anak orang Tionghoa kaya. Meski anak orang kaya, Pei adalah pejuang kemerdekaan. Ia berhubungan dengan jaringan bawah tanah kelompok Cina yang mengupayakan kemerdekaan. Menariknya, dalam novel ini Emilie tidak memaknai kemerdekaan secara sempit. Ia memaknai gerakan kemerdekaan sebagai gerakan pembebasan manusia dari penjajahan. Gerakan kemerdekaan adalah gerakan humanisme. Itulah sebabnya dalam novel ini lebih digambarkan perjuangan orang-orang Cina daripada perjuangan orang-orang pribumi dalam mengupayakan kemerdekaan.

Emilie juga terilhami oleh tokoh Kartini yang dianggapnya sebagai seorang perempuan maju untuk memberkuangkan bangsanya. Meski tidak digambarkan bahwa Emilie bertemu dengan Kartini, namun dari perbincangan Emilie dengan teman-teman Belandanya dapat diketahui bahwa Emilie sangat terilhami dengan apa yang dilakukan oleh Kartini.

Kesadaran Emilie untuk mendukung gerakan-gerakan lokal ini membuatnya semakin jauh dari suaminya. Emilie menganggap suaminya lebih menikmati posisinya sebagai pejabat kolonial. Hubungan mereka menjadi semakin renggang. Emilie malah punya affair dengan seorang pemuda lokal bernama Anendo.

Puncak perbedaan antara Emilie dengan suaminya terjadi saat Emilie lebih memilih untuk diselundupkan ke Tiongkok supaya bisa terus mendukung perjuangan rakyat lokal daripada pulang ke Belanda. Saat suaminya menawarkan Emilie untuk pulang ke Belanda karena situasi yang semakin memburuk, Emilie menolak. Emilie malah meminta Pei untuk menyelundupkannya ke Tiongkok.

Chaterine van Moppes membangun karakter Emilie dengan sangat baik. Bahkan mulai sejak Emilie masih remaja. Evolusi pandangan Emile terhadap humanisme di Hindia Belanda juga ditampilkan dengan sangat menawan. Perjumpaan Emilie dengan para pejabat Belanda, dengan kejadian-kejadian yang membuat ia mempertanyakan kesungguhan Pemerintah Belanda melaksanakan politik etis menggambarkan bagaimana Emilie berevoluasi.

Dalam hal perceritaan, Chaterine berhasil menggambarkan kondisi alam, sosial dan budaya dengan sangat apik. Cahterine menuliskan dengan detail suasana perjalanan kapal di awal abad 20. Ia juga menggambarkan dengan detail tentang bangunan-bangunan, dan alat transportasi yang digunakan diawal abad tersebut. Bahkan bagaimana Emilie menikmati pijat. 873

Tags : sastra