Sastra

Entayot, Folklor Dayak Jangkang

Kamis, 18 Februari 2021, 21:44 WIB
Dibaca 651
Entayot, Folklor Dayak Jangkang

Pada sebuah dusun. Nun jauh masuk peda­laman Kalimantan Barat....

Matahari kesu­litan menembuskan sinarnya masuk celah daun-daun rimbun. Kala itu, belantara masih rimbun menu­tupi permukaan bumi.

Di dusun bernama Sedua. Tak jauh dari Jangkang Benua. Ada sealir sungai yang banyak ikannya. Di sana hutan rimba. Banyak planktonnya. Tinggal di desa, pinggir sungai itu, se­orang tua. Orang kampung memanggilnya: Entayot.

Perawakannya lumayan gagah berotot untuk ukuran orang tua seusia dia. En­tayot orang yang sangat rajin berladang. Banyak hutan belantara dibukanya untuk ladang. Lalu di bekas ladang yang ke­mudian menjadi huma-huma itu ditanaminya berbagai jenis buah-buahan seperti: durian, langsat, duku, cempedak, manggis, kandis, mentawa dan lain sebagainya.

Ditanaminya pula pohon enau yang air niranya sangat enak diminum begitu saja. Apalagi dibuat gula merah. Air nira disadap lalu ditampung di sebuah buluh bambu lalu airnya itu dimasak

berjam-jam sampai kental dan dicetak di wadah seperti tempurung kelapa. Begitu­lah orang zaman dahulu membuat gula un­tuk kebutuhan sehari-hari mereka.

Pada suatu hari, Entayot menangkap ayam yang dia pelihara di kandang be­lakang rumahnya. Menyembelih lalu mem­bersihkan perut ayam tersebut di sungai tempat pemandian di kampungnya.

Sedang dia membelah dan membersih­kan perut ayam, datang serombongan kera yang ingin mencari makan. Pada saat itu belum lagi musim buah-buahan. Sehingga kera datang ke perkampungan penduduk untuk mencari sisa-sisa makanan warga kampung. Lalu sekawanan kera satu per satu bertanya kepada Entayot.

“Apa yang kamu kerjakan, Entayot”?

“Membersihkan perut ayam,” jawab En­tayot.

Begitu banyak kawanan kera dalam rombongan. Mereka tiada henti-henti bertanya hal yang sama kepada Entayot. Lama-lama, karena diajukan pertanyaan sama, menjadi bosanlah Entayot men­jawab. Lalu dengan nada yang emosi En­tayot menghardik kera-kera itu.

 

“Aku sedang membersihkan perut ibu bapak kalian!”

“Eh, Entayot marah sama kita. Kalau begitu, ayo kita bunuh keroyok saja dia,” kata kera yang paling kecil, tapi tam­pak lebih berani dibanding yang lain.

“Ayolah!” imbuh kera yang tubuhnya paling besar dalam rombongan tersebut. “Kita bawa dia naik ke atas pohon. Lalu kita jatuhkan ke dalam air.”

Mendengar percakapan kera-kera itu, Entayot menjadi ketakutan. Amat musykil baginya melawan rombongan kera yang amat banyak itu seorang diri. Dia pun memutar otak. Bagaimana mengelabui dan melawan kera-kera itu?

Maka berkata Entayot kepada mereka.

“Semalam aku bermimpi mendapatkan buah jagung satu ladang dan buah cem­pedak satu kebun. Pasti itu sangat cukup untuk kalian makan berbulan-bulan”.

“Benarkah, Entayot?” kata kera yang paling besar. Sekonyong-konyong, melon­jaklah dia kegirangan. Dan ingin mendengar kelanjutannya.

“Manalah aku mau berbual” kata En­tayot, serius.

 

“Baiklah, kalau begitu. Ayo kita sekarang berangkat mencari ladang jagung dan kebun cempedak itu,” kata kera yang besar dan merasa dia yang paling kuat. Sehingga dialah yang menjadi ketua kelompok kera-kera itu.

“Ayolah!” jawab Entayot. “Tapi dengan satu syarat.”

Hal itu membuat kera-kera itu sudah tidak sabar bercampur penasaran ingin lekas-lekas memakan jagung dan cempedak itu.

“Syaratnya apa, Entayot? Ayo lekaslah!” kata kera ketua itu sambil me­neteskan air liurnya. Membayangkan jagung dan cempedak yang aduhai nikmatnya itu.

“Dengarkan!” jawab Entayot. Kera-kera menyimak kata-katanya dengan sak­sama. “Aku berangkat paling duluan. Se­sudah kira-kira selepas kampung ini, baru kalian menyusul aku. Susul jejak langkah saya ke arah hilir sungai ya?” kata Entayot. Ia cepat-cepat berge­gas dan tanpa buang waktu pergi dari kerubungan kera-kera kelaparan yang yang mengancamnya.

 

Setelah Entayot merasa cukup jauh meniggalkan kera-kera itu, dia pun men­cari pohon. Sengaja ia memilih pohon yang tumbuh di tepi sebuah lubuk yang dalam. Dia memanjat pohon tersebut. Un­tungnya, cuaca cukup cerah. Sehingga pantulan bayangannya air tampak jelas di permukaan karena sungai itu masih bersih dan bening.

Tidak lama berselang, datanglah rom­bongan kera-kera tadi. Sampailah mereka di tepi lubuk tempat Entayot memanjat pohon yang tumbuh tepi sungai. Kera-kera berteriak. Ke sana ke mari dengan bunyi suara yang khas memanggil dan mencari Entayot.

“Hei Entayot, di mana kamu? Di mana ladang jagung dan kebun cempedak itu?”

“Uh.... uh.....” jawab Entayot. Se­olah-seolah dia menjawab di kedalaman air.

“Nah, itu dia! Ayo kita tangkap karena dia telah menipu kita!” kata kera yang paling besar itu menunjuk bayangan Entayot di permukaan air.

Kera-kera itu pun terjun ke sungai hendak menangkap dan membunuh Entayot. Namun, mereka mengapung-apung saja di

permukaan air dan tidak bisa mencapai sasarannya. Entayot merasa akalnya ber­hasil. Dia mau kera-kera itu mati lemas perlahan-lahan. Lalu Entayot pun ber­seru kepada kera-kera itu.

“Hei, kalian, kera-kera kelaparan! Carilah buah labu di bekas huma. Lalu gantungkan di leher kalian maka kalian segera mendapatkan saya!”

Kera-kera mendengar. Lalu melaku­kan apa yang dikatakan. Mereka berge­gas pergi dari tempat itu mencari buah labu. Setelah bertemu buah labu, kera-kera itu mengalungkannya di leher masing-masing dengan seutas tali. Mereka segera ke tepian lubuk. Terjun satu per satu ke arah bayangan Entayot. Kera-kera itu tidak tenggelam, mengambang di tengah-tengah lubuk, tapi tidak mampu mencapai dasar.

Merasa putus asa, kera-kera itu pun segera naik ke darat. Beberapa penasaran. Sebagian besar bahkan marah karena belum berhasil mencapai target sasaran mereka, yaitu menangkap Entayot hidup-hidup. Lalu kera-kera itu berteriak lagi.

“Entayot, kami sudah menggantung labu di leher dan menyelam. Namun, be­lum juga mendapatkanmu!”

“Oh, mungkin buah labu tidaklah be­rat sehingga tidak mencapai dasar,” jawab Entayot. Kera-kera mendengar. Tapi tidak melihat si empunya suara.

Mereka penasaran. Beteriak makin nyaring bunyinya. “Entayot, keluar!”

“Baiklah, aku akan keluar. Tapi sebe­lumnya kalian gantungkan batu di leher. Sesudah itu, terjun ke dalam air dan bertarung dengan aku!”

Sengaja Entayot mempermainkan emosi kera-kera yang sedang lapar. Mendengar itu, kera-kera makin marah. Serta merta segera mengambil batu yang tergeletak di pinggir kali itu. Lalu mengikatnya di leher masing-masing. Kera paling besar dari yang lain itu memberikan contoh.

“Nah, nanti jika aku sudah tidak bisa terapung lagi, berarti aku sudah bertarung melawan Entayot. Nanti kalian segera menyusul aku terjun ke lubuk. Kita segera menangkap dan membuat per­hitungan dengannya!”

Ketua para kera itu pun terjun ke dalam lubuk dengan batu terikat di

lehernya. Dia pun tenggelam dibawa batu yang berat di lehernya itu. Mana mung­kin lagi dia terapung di permukaan. Me­lihat ketua mereka tidak muncul juga di permukaan air, kera-kera yang lain berpikir bahwa ketua mereka tengah berkelahi dengan Entayot di dasar sungai. Rakyat kera langsung terjun dengan beban batu di leher masing-masing. Kera-kera itu turut tenggelam bersama ketua mereka di dasar lubuk. Tak satu pun yang terjun ke dasar sungai selamat. Semuanya tak ada yang kembali.

Akan tetapi, tidak semua kera di kerumuman itu turut terjun ke dalam lubuk. Ada seekor kera betina. Namanya Dayang Puntat. Kera betina yang tercan­tik di antara jenis binatang primata itu tidak terjun karena sedang hamil. Meli­hat hanya kera betina saja yang masih hidup, Entayot segera turun dari pohon. Ia berencana menghabisi Dayang Puntat.

“Nah, tinggal kamu saja kera yang masih hidup! Sekarang giliran kamu saya tangkap!”

“Mohon ampun! Kiranya jangan menang­kap, apalagi membunuhku! Jika engkau membunuhku maka darahku tidak akan henti-hentinya menetes sehingga dunia ini akan tenggelam dan tidak akan ada tem­pat bagi makhluk lain untuk tinggal.”

“Ah, mana aku percaya dengan omonganmu itu? Jangan membohongi aku manusia ini!” kata Entayot penuh syak wasang­ka.

“Baiklah kalau engkau tidak perca­ya,” sahut Dayang Puntat sembari me­motong ujung jarinya. Maka segera mengalirlah darah membentuk anak sungai. Melihat peristiwa itu, merindindinglah bulu roma Entayot. Dia pun mengurungkan niat untuk menangkap dan membunuh kera betina yang sedang hamil itu.

Mendengar permintaan Dayang Puntat, terharulah Entayot. Hatinya yang beku jadi cair. Apa lagi, Dayang Puntat se­dang hamil tua.

Itulah sebabnya, hing­ga hari ini, masih bisa kita saksikan kera-kera keturunan Dayang Puntat tetap hidup lestari di muka bumi ini. ­