Cerpen| Kantin Sekolah
Kantin sekolahku sesungguhnya bukan kantin yang dikelola sekolah. Kantin itu milik warga.
Tempatnya juga terpisah dari gedung sekolah. Ada tiga kantin yang tersedia. Kantin pertama berada diseberang jalan. Jadi, kami kalau mau membeli makanan atau minuman harus menyeberang. Tidak perlu tengok kiri - tengok kanan baik saat menuju kantin atau saat akan kembali ke sekolah.
Jalanannya sepi. Sepeda motor atau mobil pribadi jarang yang lewat. Demikian juga angkutan umum. Padahal jalan antara gedung sekolah dengan kantin merupakan jalan nasional dan jalan antar negara.
Kantin yang kedua berada di pojokan sekolah. Tepatnya di sisi lapangan sepak bola. Tidak jauh dari tendangan sudut bola mati. Warung ini beratapkan rumpia. Bentuknya persegi empat. Jendelanya merangkap tempat jualan. Dibuka dan ditopang tiang dari bawah lalu dagangannya dijejerkan di jendela tadi. Di tengah ruangan ada meja lengkap dengan jajanannya. Dindin-dindingnya semua terbuat dari papan kayu yang disusun bertimpa-timpa. Demikian juga kursinya.
Kemudian kantin yang ketika berada dipaling ujung. Melewati satu lapangan sepak bola. Emperan rumah dipasang meja dan beberapa kursi. Di meja kayu itu disajikan beberapa jajanan dan minuman. Cukup jauh dari posisi sekolah. Sekalipun jauh, ada juga pelanggan tetapnya. Saya beberapa kali jajan di sana.
Menariknya dari ketiga buah kantin tadi ada jajanan dan minuman dengan jenis yang sama. Bubur, tape singkong, bakwan udang- teri. Minumannya es kacang ijo. Pemilik kantin menyajikannya di atas meja. Saat kami datang tidak lagi ditanya atau bertanya. Langsung mengambil sesuai selera. Demikian juga minumannya. Ada yang menikmatinya di kantin itu. Ada yang dinikmati di luarnya. Saat mau membayar tinggal menyebut jumlah yang dimakan dan diminum. Pemilik kantin percaya saja.
Para pemilik kantin melayani kami dengan kesabaran dan keramahan. Terkadang bercanda. Candaannya tidak pernah jorok. Jauh dari merendahkan. Demikian juga kami dengan mereka. Mereka tahu dan hafal nama kami. Sama hafalnya dengan guru-guru yang mengajar di ruang kelas.Hafal nama siswanya. Tetapi mereka tidak mampu menghafal nama kami setelah setengah tahun atau satu tahun lepas dari sekolah. Namun, kami tetap ingat nama pemilik kantin dan guru-guru kami.
Pemilik kantin menganut agama dan berasal dari suku yang tidak sama. Dua dari suku Melayu dan beragama Islam. Satu dari suku Dayak dan beraga Kristen. Mereka tidak pernah membicarakan agama. Tidak juga menjelek-jelekkan suku. Mereka tidak pernah menjelekkan satu dengan yang lain sebagai pemilik kantin. Mereka tidak bersaing. Tidak juga menggunakan simbol-simbol agama di kantinnya. Demikian juga dengan kami.
Kami bebas memilih mau jajan di kantin mana. Kami juga bebas duduk di dalam atau di luar kantin. Kami juga bebas memilih jajanan kantin. Yang tidak bebas adalah saat lonceng sekolah dibunyikan, kantin harus sudah ditinggalkan. Dan kami tahu jam atau menit keberapa untuk tidak lagi berada di kantin.
Logo nama kawan baikku. Ia satu kelas denganku. Ia adalah bagai janda di Sarfat bagiku. Ia tahu kalau aku keseringan tidak punya uang jajan. Ia tidak pernah membiarkanku kehausan dan kelaparan. Ia mengajak dan membayarkan semua yang aku makan dan minum saat berada di kantin.
Terkadang aku merasa tidak nyaman saat ke kantin. Berbagai alasan aku buat. Alasan mengerjakan tugas. Menemui kawan di ruang lain. Ke kamar mandi. Ke parkiran sepeda. Hanya untuk menghindari ajakannya. Herannya, besok atau hari berikutnya, saat jam istirahat ia tetap mengajakku ke kantin.
Sementara di kantin, kami mengisi perut yang lapar. Mengusir kehausan. Di kantin juga kami saling bercanda. Tidak jarang menirukan perkataan guru semisal menyebut makan dengan ikan asin menjadi makang dengang ikang asing. Tidak kalah seru di kantin kami dapat melirik anak perempuan dari kelas lain. Logo mengincar adik kelas. Adik kelas itu cantik. Kulit mulus. Rambut sebahu. Anak orang berduit. Adik kelas itu jinak-jinak merpati. Di kantin itulah banyak anak yang mencari perhatian dan memberikan perhatian.
Logo bukan anak yang biasa. Di kelasku, dialah yang memiliki fisik dan pernafasan di atas rata-rata. Saat berolah raga mengelilingi lapangan sepak bola, dialah jagoannya. Kami baru setengah putaran, dia sudah satu putaran atau satu setengah putaran. Berotot dan tergolong ganteng. Namun, bukan hal yang mudah baginya menaklukkan adik kelas itu.
Ia berusaha keras memacarinya. Untuk itu saat pergantian jam terutama jam istirahat, kami pasti buru-buru menuju kantin. Sebelum menuju kantin kami mengarahkan pandangan ke ruang kelas adik kelas. Untuk memastikan sudah keluar kelas atau belum. Kalau sudah, kami berusaha menyusul. Tapi kalau belum, kami memperlambat langkah. Sering kali kami berbarengan saat pergi ke kantin maupun saat pulang.
Setelah sekian lama mengadakan pendekatan, Logo memberanikan diri mengungkapkan perasaannya. Ia yakin adik kelas itu akan menerimanya. Ia melayangkan surat cinta. Sudah pasti kata-kata indah. Kata-kata pujian tertuang kalimat demi kalimat di surat cintanya. Ia mencari jenis kertas yang berbau harum. Dengan gambar surat yang mewakili jiwanya.
Untuk satu lembar surat, Logo menghabiskan berlembar-lembar kertas. Berjam-jam lamanya memilih dan milah kata lalu menuliskan kosa kata yang cocok mewakili perasaannya. Padahal tidak semua perasaan dapat didefinisikan dengan untaian kalimat dari kosa kata yang ada.
Malam itu, ia berhasil menuliskannya. Melipat kertasnya sebaik mungkin. Memasukkannya dalam amplop. Kemudian menuliskan nama yang dituju dengan alamatnya.
Hari itu, kami pulang dari kantin bersama dengan adik kelas. Logo tidak lagi berbasa-basi. Ia menyodorkan surat yang ditulisnya. Tentu saja, tidak di depan umum, tetapi hanya kami kawan dekatnya yang melihat. Mukanya merah. Lalu salah tingkah. Tidak sedikit surat yang diberikan seseorang disobek. Bahkan orangnya diludahi. Itu bukan harapan Logo. Bukan juga harapan saya selaku teman yang sering kali ditraktirnya jajan di kantin.
Surat itu rupanya diterima.
Logo bukannya jalan melambat, tetapi setengah berlari menuju sekolah. Sebagai sohibnya, aku pun ikut berlari. Berlari tidak bekerjaran dengan bunyi lonceng sekolah. Melainkan terbawa perasaan setelah surat berada di adik kelas. Biasanya, melalui perantara. Ini tidak biasa, Logo memberikan suratnya secara langsung. Sesampainya di kelas, dia duduk di bangku dan membungkuk dengan wajah menghadap ke bawah. Kulihat seperti setengah berdoa. Tidak lama kemudian, Logo berkata setengah berbisik, “Jangan beritahu yang lain ya, jangan! Doakan semoga dibalas dan diterimanya.”
Aku Jawab, “iya semoga dibalas dan diterima.”
Dua hari berselang saat pulang dari kantin, Lago menerima balasan. Aku melihat amplopnya berwarna jingga. Dia masukkan di kantong celana abu-abu secara berhati-hati. Sekalipun sudah menerima balasan, Logo belum juga tenang. Dia belum tahu isi surat itu. Seperti pada umumnya ada surat balasan yang isinya bukan menerima dengan sejuta pujian melainkan penolakan. Penolakan secara halus maupun penolakan secara kasar. Kami berdua sangat berharap diterima. Sekalipun mungkin suratnya singkat. Itu sudah cukup.
Surat itu tidak langsung dibaca. Setibanya di ruang kelas, surat itu dikeluarkan secara berhati-hati. Secepat kilat langsung dimasukkannya di dalam tas bukunya. Ternyata surat itu akan dibacanya di rumah sepulang dari sekolah.
Keesokan harinya, saat kami menuju kantin sebelum saya menayakan isi surat, Logo terlebih dahulu memberitahu. Bahwa ia diterima menjadi pacar dari adik kelas kami. Betapa repo-nya dia. Reponya dia adalah repo-nya aku selaku ayukng-nya.
Logo nyatakan bahwa hari ini kami ke kantin makan sepuasnya, minum sepuasnya. Merayakan kemenangan. Kemenangan karena suratnya ada balasan dan diterima. Diterima untuk menjadi pacar. Hal itu jauh penting dari nilai tertinggi pelajaran matematika.
Sejak itu, sejak berpesta di kantin. Kami tidak lagi berangkat bersama. Aku menarik diri. Aku tahu diri. Logo sudah ada yang menemani. Berarti pengeluarannya di kantin akan bertambah. Jadi, setiap diajaknya ke kantin, aku menolaknya secara halus.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian. Ia bermuka murung. Ia tidak pergi ke kantin. Ia tidak bersemangat. Aku tidak tahu alasannya. Akupun tidak ke kantin. Kami berada di ruang kelas saat jam istirahat. Kami mengurung diri. Bukan sedang membaikot kantin. Tapi solider terhadap ayukng.
Tiga hari setelah itu, kami pun berangkat ke kantin. Hari itu kami memilih kantin yang berada di ujung lapangan. Kami berjalan tidak mempercepat langkah. Ternyata ada beberapa anak perempuan dari kelas lain berbarengan dengan kami. Barangkali itu disengaja atau tidak aku berjalan berbarengan dengan seorang gadis cantik dan menarik. Ia berada di sebelah kananku menuju kantin. Aku tahu dia anak dari seorang guru.
Dalam perjalanan menuju kantin, gadis cantik dan menarik ini berkata kepadaku setengah berbisik, “Kamu handsome.”
Sebulan sebelumnya, perkataan itu pernah diucapkannya saat berpas-pasan di jalan. Perkataan itu diulanginya lagi. Ini perkataan yang kedua kalinya diucapkan. Aku tidak tahu arti dari kata itu. Bagiku, itu perkataan baru. Hanya lewat begitu saja.
Pemilik bibir yang mengucapkan kata handsome kepadaku selalu berpakaian rapi dan bersih. Kulit putih. Berlesung pipit. Kadang lengan bajunya di lipat. Sepatunya sering berganti-ganti. Orangnya ramah. Rambutnya lurus dibiarkan terurai. Tidak jarang dia duduk di sampingku saat berada di kantin. Bahkan pernah dia mengambilkan es kajang ijo. Mengambilkan bakwan udang-teri. Bagiku, dia gadis yang baik. suka menolong. Hanya sebatas itu. Pernah juga dia memandangiku dari atas ke bawah saat berada di kantin. Aku berpikir pakaianku yang kotor. Aku tidak peduli.
Iseng- iseng aku mengingat perkataan itu. Hanya dua kata: Kamu handsome. Apa arti kata itu? Aku tidak tahu. Apa itu kata-kata mutiara. Kata-kata meledek dan merendahkan aku tidak tahu. Tapi dia baik kepadaku. Kami sering bertemu di kantin secara tidak sengaja. Tidak pernah janjian. Pernah juga pulang dari kantin bersama-sama.
Saat berada di kantin, akhirnya aku menemukan arti kata itu. Aku bertanya kepada teman yang pintar bahasa Inggris. Ia anak pindahan dari Bandung. Bapaknya seorang pendeta yang ditugaskan ke Kalimantan. Dari semua anak di kelasku atau bahkan seangkatan denganku, dialah yang fasih berbahasa Inggris. Lalu kudekati dan kutanya, “Apa arti kamu handsome?” Dia tersenyum. Dan membisikkan artinya, “Kamu ganteng.”
Aku terkejut mendengar arti kata itu. Rupanya, ada anak seangkatanku yang tulus mengucapkan perkataan itu kepadaku. Ada anak dari kelas lain yang diam-diam menyukaiku. Dia tidak pernah mau menuliskannya pada selembar kertas atau di seperempat lembar kertas berwarna dan berbau harum. Ia rupanya lebih memilih dengan perkataan. Tetapi ia lupa tulisan jauh lebih bermakna dan mudah diingat daripada kata-kata yang indah yang keluar dari mulut. Dan itu diucapkannnya saat kami menuju kantin.
Di kantin itu pula aku mengatakan kepadanya dengan setengah berbisik, “Kamu gadis yang sangat tarigas.” Seketika mendengarnya, ia salah tingkah.
***
Catatan:
- Logo adalah nama sekaligus sebutan untuk anak sulung dalam sebuah keluarga. Di mana anak sulung itu berjenis kelamin laki-laki.
- Repo adalah ungkapan kebahagiaan, sukacita tiada tara.
- Ayukng adalah panggilan untuk menyebut teman dekat atau sahabat.
- Tarigas berarti bahwa perempuan itu benar-benar cantik.