Sastra

Aku, Kamu & Vespa Classic

Jumat, 4 November 2022, 05:39 WIB
Dibaca 879
Aku, Kamu & Vespa Classic
......

Bruum .. bruum.. bruum.. terdengar suara bising kenalpot vespa yang mengagetkanku, seketika aku menutup lembar halaman novel yang belum selesai kubaca. Aku yang sedang duduk santai di teras rumah, langsung beranjak dari kursi tempat aku duduk dan langsung ke luar ke gerbang untuk melihat keadaan di luar. Ternyata gerombolan geng motor dengan motor vespa classic sedang lewat di depan rumahku. Kulihat sosok lelaki berbahu tegap berhelm bogo memakai kacamata hitam merupakan rider yang paling depan membawa bendera merah putih yang berkibar di tiang kecil yang diikat di belakang motor vespa classic berwarna putih adalah pemimpin geng motor, Pikirku. Semua pengendara motor itu memakai baju hitam dan jaket kulit berwarna hitam dengan aksen pernak-pernik yang menempel di jaket, celana jeans hitam dengan helm bogo serta sepatu berwarna hitam juga.

Setelah sekitar lima menit berlalu, akhirnya para geng motor itu sudah tidak ada lagi yang lewat di depan rumahku. “Akhirnya selesai juga suara ribut ini, aku bisa kembali lagi melanjutkan waktu santaiku dengan tenang,” kataku sambil berjalan kembali ke teras. Aku pun langsung melanjutkan waktu santaiku dengan duduk rileks, ditemani dengan segelas kopi dan sebuah novel kisah yang belum selesai. Lalu, aku pun melanjutkan membaca novel tersebut.

“Oh iyaa ya, hari ini kan hari minggu, pantas saja ada geng motor ramai-ramai lewat di depan rumahku,” kataku.

Namaku adalah Reni, aku adalah mahasiswa jurusan pendidikan biologi, aku kuliah di Universitas Khatulistiwa. Setiap pergi kuliah aku selalu menggunakan motor vespa classic, yaa .. vespa classic berwarna biru pastel ini merupakan hadiah pemberian dari ayah disaat ulang tahunku yang ke-22 tahun. Ayah tahu bahwa aku suka barang-barang antik dan klasik sehingga ayah memberikanku hadiah sebuah motor vespa classic.

Keesokan harinya …

Matahari terbit dari ufuk timur, ayam-ayam pun saling berkokok dan aku pun terbangun oleh sinar matahari yang mulai masuk melalui sela-sela jendela kamarku. Aku beranjak bangun dan langsung pergi mandi karena hari ini aku ada mata kuliah yang harus kuikuti. Selesai mandi aku pun langsung berangkat dengan vespa kesayanganku dengan terburu-buru. Sesampainya di kampus, aku melihat segerombolan geng motor vespa yang kutemui melintas kemarin pagi di depan rumah.

“Ternyata mereka kuliah disini juga”, ucapku.

Aku berjalan melewati lorong kampus menuju ruang perkuliahan. Mataku tertuju pada halaman kampus yang berada di bagian kananku, terlihat beberapa mahasiswa sedang melakukan persiapan untuk mengikuti lomba futsal antar fakultas. Namun, tanpa kusadar tiba-tiba saja aku menabrak seseorang yang berada di depanku.

“Brugh..! seketika buku yang kupegang terjatuh ke lantai

“maaf yaa, saya enggak sengaja”,ucapku sembari mengambil barang-barangku yang terjatuh di lantai.

“enggak apa-apa, sini saya bantu”, ucap seorang lelaki bertubuh tinggi dan berkulit putih tersebut.

Aku tidak berani menatap wajah lelaki itu, aku hanya melihat tangannya membantuku mengambil barang-barangku dan sebuah jam tangan klasik yang melingkar di tangan kirinya. Aku berdiri dan meminta maaf kembali padanya. Lelaki tersebut tersenyum ramah kepadaku.

“Lain kali, hati-hati jalannya”, ucapnya kepadaku sembari tersenyum.

“iyaa, makasih sudah nolongin aku”

“Oooh yaa namamu siapa?”

“namaku Reni Amanda, namamu siapa?” ucapku sembari bertanya kembali padanya.

“namaku Dimas, oh yaa aku kesana deluan yaa, sampai berjumpa lagi Ren”, ucapnya.

“Iyaa Dimas”, ucapku. Aku pun bergegas melanjutkan langkahku menuju ruang kelas.

Jam menunjukkan pukul 16.00 Wib, mata kuliah terakhir hari ini telah selesai aku ikuti. Aku pun bergegas pulang.

Di saat aku berjalan menuju parkiran kampus tiba-tiba saja Dimas mengklaksonku dari belakang.

“Ren, pulang bareng siapa ?”, ucap Dimas.

“eh Dimas, aku pulang sendiri naik vespa”, ucapku sembari menoleh ke arah Dimas”.

“Kenapa enggak bareng kita-kita saja pulangnya”, ucap Dimas sembari mengendarai vespanya secaraa perlahan diiringi oleh teman-teman club vespa di belakangnya.

Mendengar ajakan Dimas, pandanganku lalu tertuju kepada teman-temannya yang ada di belakang.

“emmh baiklah aku ikut bareng kalian”, ucapku.

Aku, Dimas dan yang lainnya akhirnya melewati tiap sudut jalan kota, berjalan beriringan menggunakan vespa-vespa classic.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tanpa terasa sudah setahun aku mengenal Dimas dan teman-temannya yang ada di club vespa. Kami selalu berkeliling bersama-sama menelusuri tiap sudut jalan kota, memiliki hobi yang sama. Melakukan kegiatan bersama-sama bahkan Dimas pun sudah sering berkunjung ke rumahku. Hingga pada akhirnya suatu ketika di malam minggu Dimas mengajakku berkeliling kota menggunakan vespa putih miliknya. Kami berkeliling melewati jalan demi jalan hingga tiba di jembatan layang Dimas memberhentikan vespanya kemudian dia turun dari vespa sembari melepas helmnya. Aku pun kemudian ikut turun juga. Aku memandangi tiap sudut kota, sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah kelap-kelip lampu dari kendaraaan yang melintas dan gedung-gedung pencakar langit, indahnya malam hari yang tidak bisa kutemui di saat mentari masih bersinar.

“Ren, gue pengen ngomong sesuatu”,  ucap Dimas sembari menatapku.

Aku pun mengalihkan pandanganku ke arah dimas. Dimas lalu memegang kedua tanganku.

Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian karena aku mengerti bagaimana rasanya melihat banyak punggung yang berbalik dan menjauh. Aku tak mengerti jenis perasaan apa yang ada didalam hatiku ini. Aku menyayangimu entah sebagai teman, sahabat atau lebih. Aku sendiripun juga tidak bisa menyimpulkan dan tidak mau memikirkannya. Yang jelas, walau duniaku sedang tak baik-baik saja, Aku akan melakukan sesuatu untukmu sebisaku. Bukan karena kasihan, tapi karena aku peduli. kamu boleh bersandar di bahuku meskipun aku sudah memikul banyak beban. kamu boleh bercerita apa saja. Dan bahkan, jika bisa, aku ingin menemanimu saat kamu membutuhkan seseorang disampingmu. Sungguh!", ucap Dimas meyakinkanku.

“Makasih ya,” kataku dengan suara pelan tapi terdengar lebih baik.
“Iya sama-sama,”. ucap Dimas.

"Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, seperti yang pernah kita lakukan dulu. Disaat pelangi masih sering mengunjungi kediamanku. Disaat kamu juga punya warna sendiri hingga kita akhirnya sibuk dengan kebahagiaan masing-masing dan hilang. Makanya aku bilang seolah-olah kamu menghubungiku ketika sedang sedih saja. Siapa yang peduli? Aku juga tidak menghubungimu waktu itu", ucap Dimas.

Kata orang, jika kamu ingin menolong seseorang maka kamu harus menolong dirimu sendiri dulu. Mungkin setengahnya benar dan setengahnya lagi tidak. Mengapa? Karena hadirmu untukku sejauh ini membuatku lebih baik. Aku belum bisa menolong diriku sendiri sejauh ini. Duniaku masih belum baik-baik saja. Tapi kamu datang padaku dengan air matamu. Aku mencoba menghapusnya dan itu membuatku merasa lebih baik. Apakah ini aneh? Entahlah.

Aku tidak tau apakah kamu merasa lebih baik juga atau tidak, aku harap kamu juga merasa begitu," ucap Dimas sembari menatapku.

“Makasih Dim", ucapku.
“Terimakasih sudah mengajarkan apa itu ikhlas… Terimakasih untuk tidak menyerah disaat semua orang memilih untuk meninggalkan… Terimakasih sudah menjadi pendengar disaat yang lain menutup telinga… Terimakasih untuk rangkulan penyemangat yang tak pernah hilang…”

Dimas tersenyum kepadaku.

Kau tau? Aku sungguh senang disaat duniaku sedang tidak baik-baik saja kau selalu ada. Kau menceritakan banyak hal padaku seolah kau mempercayaiku sepenuhnya. Dimana saat itu aku tak percaya ada orang yang percaya padaku sebegitunya. Ketika kau berterimakasih padaku untuk beberapa hal yang kuberikan, ketahuilah, aku tidak melakukannya untukmu. Aku melakukan itu untukku sendiri tanpa kusadari sebelumnya. Karena disetiap simpulan senyum yang seolah terikat di bibirmu, atau ketika mendengar suara tawamu dimanapun itu, aku juga ikut merasakannya. Aku senang membuatmu senang. Aku peduli. Mungkin terkadang aku lelah dengan air matamu. Tapi sungguh aku tidak akan meninggalkanmu. Aku harap duniamu berubah. Duniaku juga. Aku harap kita bisa kembali berlari dan melepaskan tubuh serta hati kita dari jeratan luka hari ini dan luka masa lalu. Kembali sebagaimana semestinya. Mengembalikan taman bermain kita yang rusak hingga indah seperti sediakala. Bukan untuk siapapun! Tapi, untuk hidupmu dan untuk hidupku.

“Seiring berjalannya waktu yang sudah kita lalui bersama, tanpa aku sadari perasaan suka ke kamu Ren timbul di benakku, aku merasa nyaman bersamamu Ren, kamu mau enggak Ren jadi cewekku”. Ucap Dimas.

Sontak aku pun kaget mendengar ucapan Dimas, aku terdiam di hadapannya. Detak jantungku seakan tidak beraturan. 

Aku lalu tersenyum kepada Dimas, mataku mulai berkaca-kaca menatap Dimas yang berada di hadapanku.

“Iya Dim, aku mau jadi cewekmu”, ucapku sembari tersenyum kepada Dimas.

Dimas pun tersenyum kepadaku, rasa bahagia terpancar dari raut wajahnya. Di atas jembatan ini bersama vespa klasik yang menjadi saksi keseriusan hubungan asmara kami berdua.

Sejak malam itu, aku dan Dimas menjalani hari bersama-sama, berkeliling bersama dengan vespa, yaa vespa menjadi saksi perjalanan cinta kami. Ke mana pun kami pergi selalu menggunakan vespa.

Tags : sastra