Sastra

Misteri Tengkorak di Rumah Kontrakan Kami (Cerpen)

Rabu, 29 Juni 2022, 21:41 WIB
Dibaca 434
Misteri Tengkorak di Rumah Kontrakan Kami (Cerpen)
foto pribadi

Sudah hampir sebulan suamiku diterima kerja di sebuah perusahaan tambang batubara di pedalaman Kotabaru Kalimantan Selatan. Namun karena belum mendapatkan rumah kontrakan di tempat kerja yang baru,  sementara aku belum bisa mengikutinya jadi masih tinggal di kontrakan yang lama yang jauhnya kira-kira 7 jam perjalanan dari tempat kerja suami yang baru.  Jam kerja suami yang dari subuh sampai selesai maghrib membuat suami tak ada waktu untuk mencari-cari rumah kontrakan baru apalagi banyaknya pendatang baru yang butuh tempat tinggal di desa itu. Saat libur tiba suami  akan mencari banyak info dan juga mensurvai rumah kontrakan yang sesuai dengan kriteria kami.

Akhirnya dapatlah sebuah rumah yang tidak jauh dari tempat kost suami sementara.

 " Udah dapat, Nok! rumahnya lumayan besar dan halamannya juga luas, tidak terlalu jauh dengan tetangga kanan kiri, tapi rumahnya lama tak berpenghuni...ini mau dibersihkan dan diperbaiki dulu. Kalau sudah selesai nanti kamu bisa nyusul kesini...". Begitu laporan suami  saat menelponku tadi malam.

Paginya aku beresin dan mengepak semua barang untuk segera pindahan, karena sepi juga hidup sendiri di perantauan. Kami hanya hidup berdua, aku dan suami karena kami belum dikaruniai anak.

Dua hari kemudian suami menelpon bahwa barang-barang bisa dikirim ke sana dulu dengan menyewa  kendaraan truck. Walaupun proses bersih-bersih dan perbaikan rumah belum selesai semua, aku  bisa segera menyusul setelah semua barang terangkut kesana. Aku  tidak bisa ikut bersama truck, karena tidak mungkinlah seorang wanita ikut bersama truck seorang diri.

Sehari setelah barang terangkut semua, aku segera pamit dengan yang punya kontrakan dan tetangga kanan kiri, yang selama saya sendiri ditinggal suami pindah kerja telah berbaik hati menemani. 

Dengan naik taxi antarkota dan menyebrang laut naik kapal Ferri dilanjut dengan perjalanan menggunakan speatboat  akhirnya aku beranikan  menyusul suami seorang diri. Walaupun daerahnya  sangat terpencil dan asing tapi aku harus berani menempuhnya seorang sendiri. Suami  tidak bisa menjemput karena tidak ada libur.

Ketika hendak menyebrang ke desa tempat suami tinggal, dari Kotabaru aku harus melanjutkan perjalanan menggunakan speetboat. Beruntung sekali paman taksi yang aku tumpamgi dari terminal menurunkan aku di pelabuhan speedboat khusus buat karyawan perusahaan tambang tempat suami bekerja, sehingga aku bisa naik speedboat perusahaan yang harusnya mendaftar dulu namun karena kebaikan petugas pelabuhan aku diperbolehkan ikut serta naik speedboat tanpa mendaftar dulu. Mungkin dia kasihan, melihat aku membawa barang banyak dan kelihatan asing. Speedboat perusahaan yang hanya berisi 23 penumpang itu segera meninggalkan pelabuhan menuju pelabuhan

Karena kalau tidak diperbolehkan naik speedboat perusahaan bisa-bisa aku harus naik speedboad umum yang berpenumpang 5 orang dan pengamanan kurang dalam menentang arus gelombang yang lumayan besar di sungai Kelumpang.

Syukurlah...akhirnya aku sampai juga ke desa tempat suami tinggal, walaupun sebelumnya sempat dag-dig dug karena tiba-tiba sinyal  telpon hilang dan suami juga tidak memberi alamat yang jelas padaku jadi aku tidak bisa bertanya pada orang dimana rumah suamiku tinggal.

Desa ini tak begitu luas jadi suami mudah menemukan aku setelah aku juga kebinggungan sewaktu ditanya sopir bis yang aku tumpangi....

" Hendak turun mana pian, Bu "

“ Entahlah , Paman. Ulun hanyar sampai dan kurang tahu suami tinggalnya dimana, karena sinyal hpnya juga hilang Man...” jelasku pada Paman sopir bis itu.

Aku akhirnya diturunkan di tempat paling strategis agar suami mudah mencari. Sejam kemudian suami  baru bisa menemukanku.

Untuk sementara aku tinggal di tempat kost suami yang bepenghuni laki-laki semua. Tapi aman saja , suami sudah bilang ke teman-teman kostnya dan juga kepada yang punya kost agar aku bisa ikut tinggal di situ beberapa hari sampai calon rumah kontrakan kami selesai diperbaiki. Lima hari tinggal di kost yang penghuninya laki-laki semua sungguh membuatku merasa tak nyaman, maka bila pagi dan siang saya ke calon rumah kontrakan ikut mengawasi orang-orang yang sedang memperbaiki dan membersihkan rumah. Hingga hari ke tujuh perbaikan rumah sudah selesai, tinggal saya dibantu tetangga finishing membersihkan lagi dinding-dinding dan lantai yang terbuat dari kayu Ulin semua, dengan memberi lapisan kain plastic pada lantai kayu agar terlihat bersih dan binatang dari bawah tidak bisa masuk ke dalam rumah.

Barang-barang sisa peninggalan penghuni lama dibakar semua,  termasuk  beberapa almari dan dipan tempat tidur. Walaupun sebenarnya belum lapuk juga kayunya, lama tidak dipakai dan tidak tahu siapa yang makai lebih aman bila dibakar saja. Begitu pikirku.

Akhirnya di hari ke tujuh, aku sudah bisa menempati rumah kontrakan baru, yang sudah bersih dindingnya juga sudah selesai dicat warna putih agar terlihat terang dan bersih. Rumah dengan 2 kamar tidur, ruang tamu, ruang makan, dan dapur yang cukup luas akhirnya aku tempati.

Kata Paman yang menawarkan rumah ini dan yang menerima uang sewa kami, rumah ini dulu dihuni oleh keluarga yang berasal dari Sulawesi, mereka punya usaha tambang batubara semacam KUD. Usahanya cukup lancar kehidupan mereka  berkecukupan sehingga beberapa berabotan yang masih tertinggal juga kelihatan kalau yang dipakai dulu adalah barang mahal untuk ukuran desa terpencil seperti ini. Semua sudah di bakar tak ada sisa barang apapun.

Setelah masa kejayaan tambang ilegal  selesai, usaha bertambangan mereka bangkrut , mereka pergi dan pindah kemana warga tak ada yang tahu. Karena mereka tidak berpamitan,  seperti saat datang juga mereka tidak mengenalkan diri pada tetangga yang asli orang desa itu. Pada waktu itu rumah juga masih berjarak lumayan jauh antara rumah yang satu dengan lainnya.  Menurut para tetangga, dulu rumah itu dihuni oleh sebuah keluarga dengan 2 orang anak yang masih kecil dan juga seorang kakek tua yang sering membersihkan halaman dan menjadi penjaga rumah.

Halaman rumah yang cukup luas terdapat berbagai macam tanaman, seperti mangga kueni dengan buah yang sangat lebat berada tepat di depan kamar depan sebelah kiri. Di sebelah kanan terdapat pohon nangka, dan pohon sirsat yang buah yang tiada hentinya. Sedang di samping kiri yang besebelahan dengan rumah tetangga terdapat pohon nangka lagi , selain serumpun buah nanas yang berada di depan jendela kamar yang aku tempati. Sedang di sebelah kanan rumah terdapat kolam yang cukup luas, entah apa isinya aku kurang tahu, karena hampir seluruh permukaannya dipenuhi enceng gondok, dan di bibir kolam tumbuh subur  serumpun daun pandan, sebelahnya lagi ada serumpun pohon lengkuas, dan di ujungnya terdapat serumput pohon pisang maholi khas Kalimantan.

Karena suami kerja siff maka aku sering di rumah sendiri, kalau pun suami masuk malam pasti siangnya di rumah juga tidur seharian. Jam kerja yang panjang , sampai sehari 12 jam membuat suami jarang bisa ikut berkegiatan siang hari. Sendirian di rumah sudah menjadi kebiasaanku sehari-hari. Paling aku mengurus rumah, masak, dan menyiapkan keperluan suami, setelahnya aku biasa menulis atau online bila sinyal internet sedang bagus.

Desa tempat aku tinggal hanya diterangi listrik pada malam hari saja antara jam 6 sore sampai 6 pagi. Selain itu bila tanggalnya sudah tua, Listrik akan menyala 3 hari sekali. Suasana rumah yang sering gelap dan sepi membuatku sering ngeri sendiri. Beberapa kali di saat malam yang gelap dan lagi sendirian aku sering mendengar suara  beberapa bocah yang sedang main di dapur. Aku hanya berpikir mungkin anak tetangga belakang , tapi kadang-kadang suara itu ramai riuh di saat lebih dari jam 12 malam. Kadang-kadang jelas percakapannya. Tetapi karena aku kurang mengerti bahasa yang digunakan, jadi tidak tahu apa yang sedang mereka percakapkan. Remang-remang saja suaranya, aku pun malas menengok arah suara itu, yang penting pintu kamar sudah aku kunci.

Tak jarang ada suara dan kelebat orang berjalan dari kamar depan menuju pohon mangga kueni di depan rumah , padahal antara kamar dan pohon mangga tak ada pintu. Sepertinya orang itu berjalan begitu saja menerobos dinding kayu rumah ini, dan menghilang setelah sampai di pohon mangga itu.

Suatu pagi yang masih sepi karena banyak rumah yang masih menutup pintunya, saya melihat seorang kakek yang sudah tua, dia berjalan ke sebelah kanan rumah menuju kolam. Sekelebat kemudian kakek itu sudah hilang, aku hanya berpikir lewat mana ya si Kakek itu karena rumah itu berpagar kayu ulin agak tinggi dan aku lihat pagarnya juga masih utuh semua tidak bisa diterobos orang. Beberapa hari kemudian aku melihat Kakek itu lagi tiba-tiba sudah ada di halaman depan, dari mana asalnya tak kuketahui,  ketika saat itu aku sedang menyapu halaman.

 “ Handak kemana , Kai’…?” sapaku untuk menghilangkan rasa takutku.

 “ Bulik……….” Jawabnya singkat tanpa memandangku.

Akupun meneruskan menyapu daun-daun mangga kering yang berserakan di halaman rumah. Sesaat ketika aku sadar , kekek itu menuju ke kolam disamping rumah dan menghilang.

Kejanggalan-kejanggalan yang aku alami kuceritakan pada suami.

“ Gak usah takut Nok, kita manusia diciptakan dengan derajat yang lebih tinggi dari mahluk-mahluk itu, kita bisa meminta perlindungan Allah. Kalau sedang sendiri gunakan waktumu untuk banyak-banyak membaca Al-Qur’an..” begitu saran suamiku.

Aku pun berusaha untuk menghilangkan perasaan takut dengan banyak mengaji, dan kalau kebetulan ada listrik dan sinyal aku gunakan untuk sekedar membuka-buka FB dan internet. Aku biasa bangun sekitar jam 3 dini hari guna memasak nasi bekal untuk dibawa  suami berangkat kerja.  Pada  suatu hari saat sedang sibuk di dapur aku melihat 2 buah kalajengking  yang lumayan besar keluar dari celah-celah dinding kayu yang dibuat rangkap.  Setengah menjerit aku memanggil suamiku yang masih tidur. Suami segera bangun dan mengambil golok, namun kalajengking itu berjalan  lebih cepat dan masuk lagi ke celah dinding kayu di ruang makan. Hanya satu kalajengking  yang bisa kena sabetan golok suamiku.

Mulai saat itu aku jadi was-was dan selalu sedia cairan pembunuh serangga, agar mudah membunuhnya bila ada binatang yang muncul tiba-tiba. Karena selain itu ada banyak sekali binatang kaki seribu yang bisa menyusup sampai kemana-mana bahkan bisa sampai naik ke tempat tidur bila tidak diatasi dengan cepat.

Kejadian aneh lagi,  terjadi saat aku sedang mandi sore menjelang maghrib. Baru asyik-asyiknya mandi ada 2 ekor ular merah yang tiba-tiba sudah berada di dekat kakiku. Betapa kagetnya , aku segera mengambil sebatang kayu yang ada di jangkauan tanganku. Aku lemparkan kayu ke arah kepala ular itu. Kepala ular remuk dan mati, tapi ular yang satunya lari kearah kolam di samping rumah.  Tak lama setelah suami pulang kerja, dan aku minta membuang ular yang sudah mati itu, ternyata bangkai ular yang telah remuk kepalanya itu sudah tidak ada, entah hidup lagi dan bersembunyi ataukah dimakan binatang lain, atau mungkin itu binatang pertanda saja. Entahlah aku tak berani memikirkannya lebih jauh.

Beberapa kejadian membuatku ingin segera pindah rumah, namun sayang mencari rumah kontrakan agak susah disini. Maka kami tetap bertahan mesti dengan perasaan was-was. Terutama aku yang lebih banyak di rumah sendiri.

Tiga bulan sudah suami kerja disini, berarti aku sudah menempati rumah ini selama 2 bulan. Saatnya suami mendapat jatah cuti selama 2 minggu. Waktu libur itulah suami memeriksa kondisi rumah yang ternyata ada papan dinding yang dihinggapi rumah semut hingga membentuk gundukan tanah yang tebal dekat pada tumpukan kayu ulin yang tidak terpakai. Dengan bantuan tukang bersih-bersih suami membongkar dinding kayu yang ada rumah semutnya itu. 

Betapa kaget kami…..ternyata disela-sela dinding kayu yang dobel itu terdapat tulang belulang manusia yang masih lengkap. Tulang belulang dan tengkorak kecil itu menyelinap telungkup diantara dua bilah kayu dinding rumah tertutup tumpukan kayu ulin yang lumayan tinggi dan banyak.

Sepertinya bukan hanya satu tengkorak namun 2, mereka berhimpit berada di celah dinding yang sempit.  Kami segera menghubungi Kepolisian yang berada di desa kami. Polisi akhirnya yang mengambil dan  memakamkan tulang belulang dan tengkorak itu di pemakaman umum desa itu. Polisi mengadakan penyelidikan terhadap tulang tulang manusia itu sebelum memakamkannya.

Karena aku juga mencurigai sesuatu  yang terdapat di dalam kolam itu, akhirnya  aku melapor pada polisi juga untuk berkenan menyaksikan  menguras kolam di samping rumah, untuk mengetahui apa yang terdapat di dasar kolam itu.

Benar sangkaanku, tulang belulang manusia dewasa ada di dasar kolam itu, pakaiannya walau sudah lusuh masih utuh, warna dan coraknya seperti pakaian kakek yang sering tiba-tiba muncul dan menghilang di sekitaran kolam itu. 

Tidak ada yang tahu kemana kepindahan penghuni  rumah lama, polisi juga susah untuk mencarinya belum mendapat informasi lebih lanjut sekarang tinggal dimana.

Menurut dugaan sementara kedua anak tersebut meninggal setelah tercepit diantara kayu-kayu ulin yang tertumpuk di dinding saat sedang bermain, saat orangtuanya sedang mengalami krisis karena pertambangannya ditutup. Ada seorang warga yang mengingatnya  ayah dari anak tersebut sempat bertanya pada warga sekitar , apakah ada  yang melihat  anaknya bermain di luar. Tetapi warga tak ada yang mengetahuinya karena keluarga itu tertutup dan kurang membaur dengan masyarakat setempat pada waktu itu.  Rupanya mereka harus cepat-cepat pindah, mereka segera pergi begitu saja tanpa mencari anaknya terlebih dahulu . Karena mereka  sedang diburu polisi terkait dengan ijin pertambangan yang illegal. Sedang kapan dan kenapa kematian kakek di dasar kolam masih belum banyak yang menduga, karena kakek yang biasa bersih bersih halaman itu memang sudah tua dan sepertinya agak sakit-sakitan. Apakah kakek meninggal karena terjebur kolam dan dimakan biawak dan binatang lain yang ada di kolam itu. Semua masih menjadi teka-teki. 

Sejak di temukannya tengkorak-tengkorak itu aku menjadi agak tenang, karena suara-suara gaduh dan bayang-bayang kakek sudah tidak muncul lagi. Dan tampaknya kami tidak perlu untuk pindah rumah. Aku hanya selalu berdoa memohon Perlindungan-Nya, agar tak terjadi hal-hal aneh lagi di rumah ini.

Begitulah misteri rumah kontrakan kami, yang ada di desa Geronggang Kelumpang Kotabaru. Semoga suatu saat aku bisa mengunjunginya lagi, desa kenangan dan heroik itu..

 

 

Salam hangat,

Sri Subekti Astadi