Sastra

Inovasi Adaptasi Sastra Klasik ala Oka Rusmini

Kamis, 24 Juni 2021, 17:22 WIB
Dibaca 878
Inovasi Adaptasi Sastra Klasik ala Oka Rusmini
Oka Rusmini dan Karyanya

Di penghujung tahun 2020 lalu, Oka Rusmini, seorang penulis asal Bali, meluncurkan novel terbarunya berjudul Jerum. Ini bukan novel biasa, melainkan merupakan adaptasi dari sastra klasik Bali yang berupa kidung, Kidung Jerum Kundangdya. Aslinya kidung ini dinyanyikan dan tidak diketahui persis pengarangnya. Konon kidung ini sempat populer era tahun 1920-1930.

Bukan kali pertama Oka Rusmini melakukan adaptasi karya klasik. Sebelumnya, ia juga pernah menulis kumpulan puisi Saiban yang sari-sarinya ia peras dari Kakawin Sumanasantaka karya Mpu Monaguṇa, sebuah puisi epic berbahasa Jawa Kuno abad ke-13. Di kancah nasional, Saiban berhasil memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa (2014).

Karya-karya Oka Rusmini memang banyak memperkenalkan kehidupan Bali kepada pembacanya. Ia kerap terlibat dalam berbagai acara sastra nasional maupun internasional serta meraih beragam penghargaan sastra. Selain memenangkan Kusala Sastra Khatulistiwa (2014), Oka Rusmini tercatat pernah meraih SEA Awards di Thailand pada 2012. Selain itu, ia antara lain juga penerima Penghargaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2003 dan2012), Anugerah Sastra Tantular, Balai Bahasa Denpasar Provinsi Bali (2012), pada 2017 terpilih sebagai Ikon Berprestasi Indonesia-Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila-kategori Seni dan Budaya. Dan, pada 2019 Oka Rusmini menerima CSR Indonesia Awards kategori Karsa Budaya Prima dan Penghargaan Bali Jani Nugraha kategori pengabdi bidang sastra.

Hampir semua karya Oka Rusmini mendapat sambutan baik dari berbagai kalangan, karya-karyanya tak habis ditimba, dibedah, dan diiris dengan aneka pisau analisis mulai dari pelajar SMA, calon sarjana, calon doktor, hingga para akademisi dan peneliti sastra, karena ia sangat konsisten bicara tentang perempuan Bali dengan berbagai variabelnya. Tak terkecuali dalam karya teranyarnya ini.

Untuk saat ini, novel Jerum baru dirilis versi digitalnya, meski untuk lingkup diskusi yang sangat terbatas, novel ini pernah dicetak pada Agustus 2020.

Kerja keras Oka Rusmini ini tentu layak diapresiasi, setidaknya karena dua hal. Pertama, ia berhasil menghadirkan dan memperkenalkan sastra klasik Bali kepada masyarakat pembaca yang lebih luas, dengan bahasa yang cair dan indah. Kedua, Oka Rusmini membuktikan bahwa ide menulis itu tak pernah kering, bahkan bisa digali dari warisan sastra etnik yang sangat berlimpah di negeri ini. Ia menyadarkan pada kita bahwa sesungguhnya negeri kita kaya akan sumber cerita untuk dieksplor, diolah, dan dikembangkan menjadi bentuk-bentuk terbarukan. Inovasi ini boleh dibilang menginspirasi dan layak dikembangkan oleh penulis-penulis lokal di berbagai daerah lain di Indonesia.

Disebut inovasi, karena dalam menggubah adaptasi ini, selain memunculkan tiga tokoh utama Kundangdya, Jerum, dan Liman Tarub, Oka Rusmini memberi tambahan beberapa tokoh, latar tempat, dan latar belakang tokoh-tokohnya. Inovasi dan sentuhan baru ini mendapat pujian dan respon dari banyak pihak dan pengamat sastra karena membuat cerita menjadi rapat dan sangat lentur ketika dikemas dengan alur flashback yang menarik. Dalam memilin alur cerita ia sangat liat dan mulus sehingga pembaca tidak merasa bahwa sedang membaca inovasi ceritanya. “Yang penting inti ceritanya sampai ke publik. Bagaimana jahitan-jahitannya bisa lancar? Ibarat membuat kue saya merasa bahannya sudah ada dan lengkap, jadi sebagai pengarang saya tinggal mengolahnya. Pengalaman 30 tahun sebagai jurnalis tentu makin memudahkan saya mempercantik dan membuat kidung ini lebih hidup dan menggairahkan,” demikian jelas Oka Rusmini.

Dalam adaptasi kidung menjadi novel ini, Oka Rusmini sengaja menggubahnya dengan memberi tekanan pada dinamika cinta dan tragi kehidupan. Dari sinopsis ceritanya, misalnya, imajinasi pembaca pasti langsung liar memvisualisasikan tokoh-tokoh utamanya. I Kundangdya, lelaki yang setiap geraknya membuat para perempuan mabuk kepayang, sosoknya sulit tertandingi; Ni Jerum, perawan desa tercantik yang membuat banyak lelaki tergila-gila padanya; dan Ki Liman Tarub seorang saudagar kaya raya tempat para gadis desa bermimpi dipersunting olehnya.

Lalu, yang membuat geregetan adalah, I Kundangdya baru bertemu dengan Ni Jerum tepat di hari pernikahan Ni Jerum dengan Ki Liman Tarub. Padahal sebelumnya, ia selalu menolak setiap kali ibunya ingin melamarkan Ni Jerum. Oka Rusmini menarasikan situasi tersebut dengan sangat ekspresif.

Sementara, pada sisi yang berseberangan, Oka Rusmini juga memiliki kekuatan dalam menyajikan peristiwa-peristiwa kelam. Dengan kekayaan kosakatanya, adegan yang sejatinya mengerikan, seperti perkosaan, pembunuhan, bahkan kematian berhasil ia sajikan tanpa menimbulkan rasa jijik atau mual pembacanya. Meski memang, harus diakui melalui narasinya itu mau tak mau imajinasi pembaca akan tergiring.

Sinopsis lengkap dan cuplikan singkat novel ini bisa didengar di tautan audio berikut ini. https://open.spotify.com/episode/1eSPqJJrDQxsoN6mp9s4Mh?si=d96636a0a9574e2c

Lewat karyanya kali ini, Oka Rusmini seolah memberi informasi kepada publik sastra dan sastrawan bahwa warisan sastra etnik Nusantara sangat berlimpah tetapi jarang dilirik, apalagi dijamah oleh para penulis dalam proses kreatif penciptaan karyanya. Bahwa, kalau digarap dengan bagus, ditulis dengan kalimat-kalimat yang menarik, dan yang penting tanpa merusak bangunan cerita dan pesan moralnya, karya semacam ini pasti akan mendapat tempat di hati pembaca modern.

“Dari cintalah kisah ini dianyam. Sebuah kisah yang bergulir ketika cinta menyentuh kematian. Saat maut menjadi lunglai, patah,dan kalah oleh mukjizat cinta”. Demikian Oka Rusmini memancing rasa penasaran pembaca di pembuka novel Jerum.