Sastra

Cerita Bijak(4): Panglima Rayeh dan Pangeran Liu

Sabtu, 28 Januari 2023, 19:47 WIB
Dibaca 383
Cerita Bijak(4): Panglima Rayeh dan Pangeran Liu
Ilustrasi:Panglima dan Pangeran Liu

Dahulu kala di Kalimantan sering terjadi tradisi Ngayau. Pada awalnya suku-suku Dayak adalah pemburu kepala manusia karena harus memberikan persembahan berupa kepala manusia; dan kepala-kepala musuh  sebagai persembahan kepada DEWA dan juga untuk pembersihan jiwa-jiwa yang dianggap jahat,rakus dan mengotori alam semesta. Maka Ngayau dilakukan sebagai seleksi alam. Tapi dalam perjalanan waktu tradisi itu perlahan-lahan ditinggalkan oleh masyarakat Kalimantan.

Suatu  hari ada seorang laki-laki muda bernama Liu. Ia adalah seorang pangeran muda yang menjadi pemimpin wilayah pedalaman Kalimantan untuk bagian barat yang ditunjuk oleh rakyat. Pangeran Liu berasal dari dataran tinggi borneo. Ketika masih kecil ia tinggal bersama ayah dan ibunya. Ayahnya Bernama Dou adalah seorang yang tulus hati dan sangat mencintai anak-anaknya. Ayahnya memperoleh pendidikan kearifan lokal yang terbaik dari nenek moyangnya. Sejak kecil Pangeran Liu bercita-cita  ingin menjadi seorang pemimpin yang baik hati dan peduli dengan masyarakat kecil. Tetapi pertama, ia harus mengatasi sistem kepemimpinan penguasa di negerinya. Sistem kepeimpinan ini membuat masyarakat di pedalaman Kalimantan selalu terancam bahaya.Karena sistem kekuasaan ini telah menghancurkan alam dan hutan Kalimantan. Sudah banyak hutan hancur dan bencana alam ada di mana-mana semenjak sistem kapitalisme ini diberlakukan.

Sebagai seorang anak muda, Pangeran Liu sering kali pergi kepegunungan bersama dengan ayahnya. Pangeran Liu sering bermain dengan anak-anak di dataran tinggi Borneo. Salah satu saudaranya, dari  dataran Tinggi Borneo, menjadi  Panglima tertinggi di Kawasan utara, namanya Panglima Rayeh. Semenjak Panglima Rayeh menjadi pemimpin di situ, sudah banyak masyarakat maju dan mengenyam Pendidikan yang sangat tinggi.

Suatu hari Pangeran Liu berkunjung ke wilayah Panglima Rayeh. Percakapan antara panglima Rayeh dan Pangeran Liu panjang dan serius. Panglima Rayeh sebagai Pemimpin disitu ingin menggunakan caranya agar bisa membawa masyarakatnya kepada kehidupan yang lebih baik,sejahtera dan bahagia.

“Rakyatku sangat menginginkan kesejahteraan,” kata panglima Rayeh. “Itu tentu membutuhkan waktu yang tidak dapat diubah hanya dalam waktu semalam.”

Liu setuju dengan pendapat itu, “ Semoga masyarakat kita sejahtera dan bahagia karena kita memiliki sumber daya alam yang melimpah.”

Jadi selama ini  masyarakat  di dataran tinggi borneo mengumpulkan makanan sebanyak-banyaknya dengan bertani dan beternak. Serta mengandalkan sumber daya alam yang sudah tersedia di hutan.

Tetapi ada disuatu masa masyarakat merasa terancam kehidupannya karena sejak diberlakukan sistem pemerintahan kapitalisme, hampir Sebagian tanah dan hutan habis dikeruk oleh penguasa di negerinya.

Panglima Rayeh sebagai pemimpin di utara merasa bahwa mereka tidak dapat lagi mengendalikan para pejuang mudanya. Panglima Rayeh mengingatkan masyarakat supaya mereka waspada. Supaya keadaan tidak rusuh kembali seperti zaman mengayau.

Suatu pagi Panglima Rayeh berangkat bekerja, ia disapa oleh para pemuda yang ada di wilayah dataran tinggi borneo.

“Panglima,” sapa salah satu pemuda itu, “karena persahabatan kita, aku datang untuk  memperingatkanmu  bahwa orang-orang  muda ini ingin menuntut kesejahteraan dan pendidikan. Mereka ingin hidup damai,sejahtera dan bahagia di wilayahnya masing-masing tanpa ada rasa kuatir dengan kondisi di luar yang sering terjadi kelaparan.”

“Terima kasih atas peringatanmu,” kata Panglima Rayeh. Ia membungkukkan kepalanya dengan perasaan cemas. Ia menyadari bahwa beban sebagai pemegang kekuasaan untuk mengatur itu sangat berat. Selama puluhan tahun mereka telah menjaga tanah kelahiran mereka dengan baik. Rasa was-was itu pasti ada. Panglima Rayeh merasa cemas tanah airnya ikut hancur oleh kekuasaan kapitalisme.

“Tidak ada yang dapat menghentikan kalian berjuang?” jawabnya kepada  para pemuda-pemuda yang menyampaikan aspirasi tersebut.

“Betul sekali,” jawab mereka. “Kami akan berjuang sampai tetes darah terakhir jika tanah air kita habis dikuras.”

Panglima Rayeh berpikir selama beberapa menit. “Baiklah,kalau itu yang kita sepakati. Kita akan waspada dan terus menjaga tanah air kita agar jangan sampai masyarakat hidup menderita dan terlantar.

Pagi itu berkabut seperti biasanya di lereng gunung dataran tinggi Borneo. Panglima Rayeh dan Pangeran Liu  duduk di serambi rumah. Panglima Rayeh mulai menulis. Mereka menulis tentang alam dan hutan yang harus dijaga dan dipelihara selama-lamanya. Siapa yang merusak alam dan hutan,maka mereka tetap sepakat berjuang sampai tetes darah terakhir.Hukum Rimba akan berlaku bagi para perusak-perusak alam dan hutan. Akhirnya mereka merumuskan hukum-hukum kearifan lokal beserta para tokoh-tokoh dan pemuka adat yang ada di dataran tinggi Borneo. Kumpulan tulisan mereka  menyerupai sebuah kitab dan petuah-petuah. Kitab itu memang harus dibuat sebagai pedoman kehidupan untuk generasi penerus yang akan datang.

    

Pesan :

Terdapat hubungan yang penting antara kelangsungan kehidupan kebudayaan dengan kelangsungan lingkungan hidup,antara kesehatan sebuah kebudayaan dan kesehatan lingkungan hidup.Hutan,bumi,sungai, dan seluruh lingkungannya adalah bagian dari hidup itu sendiri. Oleh sebab itu,diperlukan perlakuan atau ketentuan yang mengatur keseimbangan dan keteraturan alam semesta. Kita hidup bersama dengan makhluk lainnya,seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, dll.Mari kita membatasi atau menahan keserakahan yang hanya ingin mengkonsumsi dan menghabiskan sumber-sumber daya alam yang telah dititipkan oleh Tuhan semesta Alam.

 

 KUMPULAN CERITA BIJAK BORNEO