Cerita Rakyat Sungai Krayan | Tuk Laba' dan Tin Laba'
Kebiasaan masyarakat Pe'ayan (Sungai Krayan), secara khusus Lengilo' Daleng. Tuk adalah sebutan kepada laki yg usianya sudah tua atau tertua. Tin,sebutan kepada perempuan yang usianya tua atau tertua.
Pada zaman dulu pendidikan formal seperti saat ini tidak ada. Namun kepatuhan atau ketaatan seseorang atas perintah atau atas ucapannya sendiri selalu diutamakan atau dihargai dan dihormati.
Ketaatan dimaksud bukan saja berlaku di antara seorang pemimpin dengan anggota atau anak buahnya,melainkan tercipta di antara suami istri, muda dan tua. Bahkan ketaatan itu bagian interaksi yang berlaku sama. Di antara insan masyarakat di kampung-kampung sepanjang Pe'ayan (sungai Krayan).
Tuk Laba' dan Tin Laba adalah suami istri yang KK (kartu keluarga)-nya berada di Kampung Tang Payeh Lokasi Tanjung Pasir. Anehnya keluarga ini, lebih suka rumahnya jauh dengan pemukiman keramaian. Mereka sebenarnya bukan ada masalah atau ada penyakit khusus, sehingga terasing. Tetapi kondisi suatu wilayah tertentu sangat menyenangkan, hingga kesukaan atau ketertarikan menempati kawasan tersebut membuat Tuk Laba dan istrinya hidup jauh dari kampung Tang Payeh atau lokasi Tanjung Pasir.
Tuk Laba dan Tin Laba dikenali masyarakat umumnya. Jika berbicara kiloan seperti satu (1) kilo gula tebu. Suami istri ini sering disebut orang sembilan (9 )on atau tidak sampai satu (1) kilo. Istilah zaman sekarang bisa dikatakan tidak normal.
Keluarga ini juga paling aktif dan setia setiap ada kegiatan sifatnya umum. Seperti musim menebas di sawah, ladang, menanam padi, memotong padi, membangun rumah panjang dan banyak kegiatan lainnya. Karena masyarakat Pe'ayan terkenal dengan istilah RUYUD (kerja bersama sama).
Istilah Ruyud ini bagian dari pasal norma-norma yang berlaku di masyarakat Pe'ayan (sungai Krayan) umumnya. Apakah dia pemimpin atau masyarakat biasa bahkan sakai (tamu) sekalipun, harus patuh dengan aturan yang berlaku. Sekalipun Tuk Laba dan Tin Laba ini disebut orang sembilan (9)on, tidak membuat nilai kebersamaan mereka berkurang di tengah-tengah aktivitas masyarakat kampung.
Pada zaman ini, pohon-pohon besar atau batu-batu besar yang ada di sekitar rumah, di kampung dan di pondok, di sawah atau ladang, pohon dan batu tersebut menjadi tanda atau waktu seperti matahari pagi, siang, petang dan malam. Jaman sekarang disebut jam tangan.Contoh jam sembilan pagi kita berkumpul di BPU (Balai Pertemuan Umum) atau jam 19.30 rapat kita di mulai.
Zaman itu, jika ada kegiatan umum,pasti ditandai dengan atau matahari pas di atas pohon ini atau batu ini. Kemudian ditandai bunyi tubung (beduk bambu) atau tawak (gong). Pertanda kita berangkat bersama-sama memanen padi dengan si anu. Dan tanda waktu ini berlaku untuk semua aktivitas masyarakat setiap hari. Suatu kebiasaan yang menonjol di Pe'ayan ini. Hampir semua kegiatan harian masyarakat dapat dilakukan laki-laki dan perempuan secara bersama-sama. Kecuali hal-hal tertentu kegiatan laki-laki tidak dapat dilakukan pihak perempuan demikian juga sebaliknya.
Suatu hari, Tuk Laba' dan istrinya kehabisan beras, stok cukup dimasak besok pagi saja. Karena sepekan yang lalu hampir setiap hari hujan, menjemur padi pun tidak ada. Kebetulan hari itu dari pagi cuaca cukup baik.
Tuk Laba berpesan pada istrinya, “lama kita tidak makan daging binatang. Hari ini saya berburu. Ibu bertugas menjemur padi pagi ini dan jika matahari pas di ujung (puncak) pohon durian besar ini, mulailah menumbuk padi, agar beras ada kita dalam minggu ini.”
Setelah berpesan seperti itu,Tuk Laba memanggil anjingnya kik..kiik...kiiik, anjing begitu semangat mengejar tuannya. Cukup lama tidak memasuki hutan karena selama ini musim hujan.
Perjalanan Tuk Laba' sudah cukup jauh. Di sekitarnya hampir semua anjing tidak kelihatan dan ada satu jagoan anjing Tuk Laba' namanya Ta'ang, jika jagoan ini duluan menemui binatang buruan pasti sudah binatang tersebut masuk dalam periuk (istilah sebutan anjing yang hebat/jagoan). Artinya pasti sudah dapat atau tidak pulang kosong hari itu. Setelah Tuk Laba berhasil mendapat kijang. Dia menggendongnya pulang.
Mendekati rumah, Tuk Laba'mendengar bunyi lesung Tin Laba' menumbuk padi. Bahkan dari jarak jauh tadi sudah terdengar bunyi lesungnya. Semakin dekat semakin besar. Namun sangat aneh pendengaran Tuk Laba'. Ko' dekat rumah bunyi lesungnya bukan di bawah, melainkan di atas.
Sekali Tuk Laba' mengangkat kepalanya menengadah ke atas, terlihat pantat Tin Laba' seperti siwit (burung) sensulit' sukit sukit (menari nari) di puncak durian besar.
Dalam hati Tuk Laba, jika matahari di puncak durian ini, mulailah menumbuk padi, malah lesungnya di bawah ke atas dan menumbuk padi di sana. “Tin laba', Tin laba',” kata Tuk Laba' sambil menggeleng-geleng kepalanya.
Setelah Tin Laba' selesai menumbuk padinya. Bingung pula dia bagaimana turun ke bawa. Jadi dia teriak, “Tuk Laba', Tuk Laba', saya bingung turun ke bawah.”
Tuk Laba' menyarankan, “coba lihat semut, Bagaimana caranya turun ikutilah!.” Tin Laba' memperhatikan semut turun, kepalanya duluan. Dia pun mengikuti cara semut, apa yang terjadi? Kepala Tin Laba' di arahkan ke bawah. Bukan lagi seperti semut pelan-pelan. Malah seperti buah durian seberat tiga (3) kilo begitu laju jatuh dari atas pohonnya ke bawah. Hingga kaki Tin laba' saja kelihatan dari permukaan pasir di tepi sungai Krayan (Pe'ayan).
Pohon durian tersebut tumbuh di pinggir Pe'ayan kampung Tang payeh. Melihat kaki Tin Laba' bergerak-gerak di dalam pasir karena kepalanya ke bawah, dengan tenaga yang kuat. Tuk Laba dengan cepat menggali pasir tersebut untuk menyelamat istrinya. Dalam hitungan detik, Tin Laba' diselamatkan.
Tuk Laba dengan cepat menggendong istrinya ke rumah. Kemudian mengambil KOGA (Kotak Obat Keluarga), diambilnya empedu beruang, gelas, serta sendok. Dituangnya air panas ke dalam gelas. Kurang lebih 5 sendok makan baru menaruh sedikit empedu ke dalam gelas. Lalu mengaduknya sampai merata dan hingga hangat, baru di minum Tin Laba'. Setelah minum empedu beruang, Tin laba' tertidur nyenyak dalam beberapa jam. Ketika bangun, ia merasa tubuhnya jadi segar kembali seperti tidak ada masalah.
Keluarga ini sudah sepuluh tahun berjalan, baru Tin Laba' hamil. Sembilan bulan kemudian,Tin Laba' melahirkan seorang putri yang cantik.
Suatu hari, Tin laba' berpesan kepada suaminya, “besok pagi saya akan pergi jauh mencari sayur buat kita. Karena yang sudah dekat sekitar sini, kurang baik karena sering diambil. Yang menjaga Imo' (putri kita) adalah bapak. Ingat! kira-kira pantulan matahari (mate so )pas di dahan durian yang paling bawah itu. Kalau zaman sekarang jam 8.30 pagi. Rebus air dalam kuden tana' (periuk dari tanah liat) sampai mendidih dan tuang di dalam sagan tana' (baskom dari tanah). Kemudian tuang air dingin secukupnya sampai hangat. Baru mandi Imo' (putri). Setelah mandi, Imo' dimasukkan dalam Bayok (ayunan). Kemudian diayun sampai tidur.”
Besok padi sudah tiba, Tin Laba' bangun pagi-pagi menyediakan, sarapan pagi mereka bertiga. Kemudian menyiapkan tayen/bekol (bakul) untuk membawa sayuran pulang sore nanti. Sehabis sarapan pagi, Tin Laba' pergi mencari sayur dan Tuk Laba' menjaga anak mereka.
Tiba saatnya memandikan putri mereka. Tuk Laba' merebus air seperti saran istrinya. Setelah airnya mendidih. Dituangkan air panas itu ke dalam sagan tanah (baskom). Kemudian mengangkat anaknya diletakan langsung ke dalam sagan (baskom) yang tersedia air panas itu.
Begitu meletakkan putrinya. Seketika itu juga Imo' mengeluarkan sekali suara keras haiii!... mulutnya terbuka lebar menghembus nafas terakhir. Karena sangking airnya panas. Setelah itu, Tuk Laba' mengangkat anaknya dari dalam sagan tersebut dan membaringkannya di atas tikar yang terbuat dari daun kaber (pandan). Kemudian menutupnya dengan tikar yang sama. Tuk Laba' tahu, anaknya sudah tidak bernafas lagi (mati).
Sore sudah tiba, Tin Laba' dalam perjalanan pulang ke rumah mereka. Terasa perasaannya kurang enak. Sasa tubuhnya seperti panas. Kepala seperti pusing. Dia mencoba berdiri sejenak dan memegang kepalanya. Aman saja bisik dalam hatinya. Mendekati rumah, “kok sepi sepi ya?” dalam hati Tin Laba'.
Sesampai di halaman rumah, Tin Laba melihat tangga naik ke rumah dibalik, (tangga saat itu bisa di pindah-pindah) mungkin Imo dan Tuk Laba' tidur. Sebelum naik ke rumah, Tin Laba' coba memanggil suaminya, “Tuk laba'... Tuk Laba'...”, belum ada yang respon. Sekali agak keras memanggil, “Tuk Labaaaa'.....u'uuk,” sautan di sungai bagian hulu rumah mereka.
Tuk Laba' sedang sibuk membuat perangkap tupai (bahasa lengilo' daleng lueng). Tin Laba 'bertanya, “mana Imo'?” Jawab suaminya, “Imo'ngu'em dumed yang ugam neh (Imo' makan beras di bawah tikar itu).”
Mendengar jawaban Suaminya demikian. Tin Laba cepat-cepat membuka tikar, ternya di mulut, hidung, telinga anaknya bagaikan beras adan putih telor lalat. Anak mereka sudah lama mati.
Menangislah Tin Laba' tidak henti henti, “Imo...Imo...Imooo..., mengapa bapakmu sangat bodoh memandikan Imo dalam air yang panas. Mama sudah berpesan. Rebus air sampai mendidih. Baru tuang air panas secukupnya sampai medame (hangat) baru ngasih mandi Imo'. Tetapi bapakmu tidak mendengar dengan baik.”
Karena kerinduan seorang ibu dengan anaknya. Dia menangis berulang-ulang mengungkapkan kebodohan bapaknya memandi Imo' dalam air panas.
Tuk Laba' memahami. Kematian putrinya itu kesalahan dia karena tidak mendengar pesan Tin Laba' dengan baik. Melalui tangisan istrinya berulang-ulang membuat dia menyesal. Sekadar mendengar. Hasilnya tindakan menjadi fatal. Demikian cerita Tuk Laba' dan Tin Laba'.
Marli Kamis (MK.35)-Pesawat Batik Air 9-11-2022 Mulai nulis (MN).