Cerpen | Bangkule dan Kisah Foto di Depan Monas
Bangkule adalah nama guruku. Guru bahasa Indonesia. Ia mengajar dengan tenang. Ia tidak pernah marah kepada muridnya. Ia sering berceritera tentang kehidupan sebelum memberikan materi pelajaran.
Utok salah satu murid yang sangat senang saat Pak Bangkule mengajar. Mungkin karena sudah senang dengan gurunya maka Utok pun akhirnya menyukai pelajaran Bahasa Indonesia. Nilainya tidak pernah di bawah tujuh.
Guru bahasa Indonesia ini selalu berpakaian rapi. Tidak hanya pakaiannya yang rapi, tetapi rambut di kepalanya pun ditata sedemikian rupa rapinya.
Utok masih mengingat bagaimana guru ini menyisir rambutnya dengan menumpukkan rambut di sebelah kiri. Mungkin minyak rambut yang digunakan adalah cap Lavender. Sering kali ia berpakaian kemeja lengan panjang. Padahal tanah Borneo sangat panas. Baju lengan panjangnya kadang digulung setengah lengan, kadang tidak. Dan kebanyakan tidak.
Saat masuk ruang kelas, Pak Bangkule tidak pernah langsung duduk. Ia selalu berdiri sebelum murid-muridnya mengucapkan salam dan berdoa. Setelah itu ia baru duduk. Namun, matanya menjelajah seluruh ruangan. Jika ada murid yang tidak masuk ia langsung menanyakan kabarnya padahal buku absensi belum dibukanya. Ia hafal benar nama-nama muridnya. Ia bukan wali kelas hanya guru mata pelajaran.
Setelah semua murid diabsen, ia tidak langsung mengajar. Sepuluh hingga lima belas menit digunakan untuk berceritera. Salah satu ceriteranya yang melebihi waktu biasanya adalah ceritera tentang fotonya di depan Monas. Ia baru saja pulang dari Jakarta. Saat di Jakarta itulah digunakan untuk berwisata ke Monas. Tidak banyak gaya dalam foto tersebut. Pak Bangkule hanya berdiri dengan latar belakang monas yang menjulang tinggi. Tetapi ternyata foto itu punya makna ceritera.
Foto itu sesungguhnya tidak menarik. Namun, punya daya tarik setelah diceritakan oleh Pak Bangkule. Hanya berposisi berdiri. Dengan rerumputan terbentang luas. Tidak ada pagar. Tidak ada pohon. Yang ada rerumputan dan monas yang menjulang tinggi. Lalu ada mobil yang berlalu lalang di sekitar Monas yang tertangkap kamera foto. Di foto itu ada jalan raya dekat sekali dengan Monas. Mungkin jaraknya belasan meter saja.
“Anak-anak, Bapak baru pulang dari Jakarta. Mohon maaf tidak masuk minggu lalu. Namun, Bapak memberikan tugas kepada kalian supaya dikerjakan. Bapak tidak lama di Jakarta. Hanya beberapa hari saja. Anak-anak tahu bahwa Ibu kota negara kita adalah Jakarta. Kita tidak tahu sampai kapan Jakarta akan jadi Ibu kota negara Indonesia. Ada beberapa negara di dunia sudah memindahkan Ibu kota negara dengan berbagai alasan. Semoga Ibu kota suatu hari pindah ke pulau Kalimantan. Kalimantan aman dari gunung berapi, aman dari gempa bumi. Jadi sangat cocok jadi Ibu Kota.”
Kemudian Pak Bangkule berdiri dan berjalan mendekati meja murid. Ia melanjutkan ceriteranya. “Karena Jakarta adalah Ibu Kota negara, berarti Jakarta pusatnya Indonesia dari sabang sampai Marauke. Semua suku bangsa ada di sana. Untuk ke Jakarta dari Kalimantan Barat dapat ditempuh dengan pesawat terbang atau kapal laut. Bapak kebetulan ke Jakarta menggunakan pesawat terbang dari Bandara Soepadio Pontianak. Pesawatnya pesawat Buraq.
Setibanya di Bandara Soekarno Hatta, Bapak dijemput menuju penginapan. Nah anak-anak, Bapak mendatangi beberapa tempat wisata. Ini salah satu tempat yang Bapak kunjungi.” Diperlihatkannya foto itu. Bahkan murid yang duduk di belakang dimintanya maju sebentar hanya untuk melihat foto. Foto yang diperlihatkan sekali lagi foto dirinya di depan Monas.
“Di Jakarta….” anak-anak ada becak. “Becak itu rodanya tiga dengan penumpang duduk di depan. Becak mirip-mirip sepeda untuk dapat berjalan pedalnya diinjak oleh kedua kaki pengendaranya. Ada bemo rodanya juga ada tiga. Setirnya seperti setir mobil. Bemo memuat enam penumpang di belakang dan dua di depan termasuk dengan supirnya. Bapak melihat bemo ada di jalan Manga Besar tepatnya di Olimo.
Di Jakarta, ada bajaj. Bajaj buatan India suaranya saat mesin menyala lebih keras dari bunyi motor. Penumpang duduk di belakang. Bajaj dapat memuat dua hingga tiga penumpang. Pengendaranya duduk di depan. Di Jakarta, anak-anak ada bus bertingkat. Bapak sempat naik bus bertingkat dari kota ke arah blok M. Bus memuat banyak penumpang. Bapak sengaja mencari tempat di atas dan duduk paling depan. Untuk melihat pemandangan. Sebelum naik bus Bapak harus beli tiket.”
Pak guru meneruskan ceritanya:
Dengan menggunakan Bus bertingkat jurusan Kota - Blok M, Bapak turun di sekitar Monas. Monas rupanya sangat luas. Tidak ada pagarnya. Siapa saja bebas masuk. Bapak berjalan ke arah patung kuda. Di sana ada air mancur. Air mancur adalah air yang keluar dari bawah meluncur ke atas menggunakan mesin. Sangat bagus anak-anak. Lalu Bapak dari sana langsung menuju monas. Pulang dari monas Bapak menggunakan metromini. Turun di perempatan berganti kendaraan kecil yang dikenal dengan KWK.
Anak-anak, dari ketinggian Monas, Bapak dengan jelas dapat melihat Istana Presiden. Melihat Masjid Istiqal. Melihat stasiun Gambir. Melihat gereja katedral nan megah. Melihat kantor wakil presiden. Melihat RRI. Melihat rumah dan gedung bertingkat lainnya dengan mata telanjang. Untuk melihat jarak jauh ada fasilitas teropong. Kita bergantian dengan orang lain. Angin di atas Monas kencang. Tetapi jangan takut semua dikerangkeng dengan besi tidak mungkin terjatuh.
Anak-anak, di Jakarta ternyata ada perkampungan. Kampung di tengah kota. Kampungnya kumuh. Tidak ada halaman bermain seperti di tempat kita di Kalimantan. Rumahnya kecil-kecil, berdempet. Kabel listriknya berseliweran. Di sana ada WC umum. Orang setiap hari harus merogoh kantong untuk sekedar buang hajat. Ada gerobak air. Ada dirigen minyak tanah. Jalannya sempit-sempit. Anak-anak tidak dapat bermain layangan di sekitar rumahnya.
Bahkan di depan rumahnya merangkap menjadi dapur. Ibu-ibu memasak kebutuhan rumah tangga di halaman rumah. Ini terjadi karena tidak ada dapurnya. Kebanyakkan itu adalah pengontrak. Jangan salah di perkampungan Jakarta ada kandang ayam. Kandang burung merpati. Banyak juga penduduknya yang memelihara binatang seperti itu.
Jakarta dialiri oleh tiga belas sungai. Sungainya jorok dan bau. Banyak sampah. Bahkan beraneka sampah menumpuk di sekitar jembatan. Waktu Bapak melewati sungai, bapak mulai yakini tidak ada kehidupan di sana. Tidak ada orang memancing di sungainya. Airnya berwarna hitam. Ada beberapa perahu melintas mencari gelas plastik atau botol plastik. Mereka mengayuh perahu ada yang ke arah hulu ada yang ke arah hilir. Mengenai nama sungainya, Bapak tidak tahu. Sungai yang tidak terawat dapat menjadi bencana. Kalau sudah jadi bencana dapat jadi proyek untuk cari keuntungan oleh banyak kalangan.
Bapak juga jalan-jalan di Menteng, lalu daerah Pondok Indah. Jangan d tanya anak-anak, rumah di sana mewah-mewah. Bagi yang memelihara anjing, kandang anjingnya sama besar atau bahkan lebih besar dari mereka yang tinggal di perkampungan Jakarta. Halamannya luas-luas. Jalanannya seperti jalan umum padahal di kompleks perumahan. Ada taman di sekitar rumahnya. Ada perawat tamannya. Pohonnya besar-besar ada yang besarnya melebihi pohon di Kalimantan. Mobil di dalam garasi mewah. Di depan rumah ada banyak orang berjaga-jaga dengan seragam rapi. Orang tidak dapat menemui pemilik rumah kalau bukan keluarga dan tamu terhormat. Ketemuan harus diawali dengan membuat perjanjian. Di kawasan ini yang tinggal adalah orang-orang sukses.
Sungguh menarik adalah mereka yang tinggal diperkampungan kota dan kawasan elit adalah para petarung. Orang-orang yang berani menghadapi kesulitan dan tantangan hidup. Orang yang tidak pernah menyerah. Pekerjaannya juga beraneka ragam. Ada pemulung, pengamen, penyemir sepatu. Ada politisi, pengusaha dan direktur.
Di antara mereka, ada orang baik. Orang baik berubah menjadi orang jahat. Ada orang baik tetap menjadi orang baik. Ada orang Jahat berubah menjadi orang baik. Ada orang jahat sampai matinya tetap menjadi seorang penjahat.
Di Ibu kotalah terlihat sesungguhnya orang-orang itu punya daya juang atau tidak. Sekalipun Bapak hanya tamu di Jakarta, Bapak sangat senang telah menginjakkan kaki di Ibu kota. Apalagi punya foto saat berada di Monas. Belum ke Monas sama saja belum ke Jakarta. Bapak berharap jangan hanya Bapak yang berfoto di Monas, kalian pun harus berfoto di sana. Tanpa sekolah, kalian tidak dapat ke sana. Tidak akan berkeliling Jakarta.
Kemudian pak Bangkule kembali ke tempat duduk untuk melanjutkan pelajaran bahasa Indonesia. Tetapi sebelum benar-benar duduk dan akan mengajar bahasa Indonesia. Foto dirinya di depan monas sekali lagi diperlihatkannya dan ia berujar, “Siapa di antara kalian yang mau ke Jakarta dan berfoto di depan Monas seperti Bapak? Jangan lupa belajar yang sungguh.” Tidak ada yang berani menjawab dan mengacungkan tangan.
Puluhan tahun kemudian. Ternyata foto di depan Monas itu benar-benar membawa Utok dalam kehidupan nyata. Utok akhirnya mengikuti irama perkembangan kota Jakarta. Menghirup udara Jakarta. Makan, bekerja, tidur, buang hajat dan mungkin menghembuskan napas di Jakarta. Utok Sungguh-sungguh menikmati hidup di Jakarta sekalipun sudah beberapa kali pindah tempat tinggal. berawal tinggal di Jakarta Barat lalu ke Jakarta Timur. Berlanjut ke Jakarta selatan. Dan sekarang berada di Jakarta Utara. Bukan karena banyak rumah. Justru karena belum mampu membeli rumah.
Ia bersahabat dan bertemu dengan banyak orang. Ia pernah menginap di sebuah hotel mewah karena sebuah tugas. Pernah diajak pengusaha bermurah hati menikmati makanan dibilangan kuningan. Makan bersama keluarga yang nilai rupiahnya hampir menyentuh angka satu juta rupiah perorangnya. Pernah ditolak oleh beberapa rumah sakit saat anaknya sakit keras karena keterbatasan duit. Tetapi ada banyak orang baik, tulus, dan penuh kasih yang dijumpai Utok yang membantunya. Itu semua kasih karunia Tuhan di Jakarta yang keras dengan Monas tetap menjulang tinggi.
Utok juga Menjadi saksi mata dari berbagai peristiwa yang bergolak dibangsa ini. Pergolakan peritiwa 27 Juli 1996. Peristiwa turunnya Suharto 21 Mei 1998. Isu pengeboman mal dan tempat ibadah hingga pengebomam sungguhan. pemilihan kepala daerah yang dipilih langsung oleh penduduk Jakarta hingga pemilihan yang menggunakan politik identitas untuk mempengaruhi suara pemilih.
Foto di depan Monas ternyata bagaikan bintang di langit mengarahkan kaki melangkah ke Ibu Kota. Lebih kuat pengaruhnya dibandingkan dari materi ajar yang di sampaikan.
Foto di depan Monas akan tetap ada dikepala sekalipun foto dalam bingkainya mungkin sudah rusak. Namun, Utok masih saja di Ibu kota bertarung untuk menaklukkan kerasnya kehidupan.
Catatan:
- Bangkule adalah nama yang biasa digunakan oleh komunitas suku Dayak Kanayat. Nama itu nama yang cukup disegani atau dihormati.
- Utok adalah nama untuk kebanyakan anak laki-laki Dayak Kanayatn.