Cerpen| Masih Ada Orang Baik Saat Ini
Hendar perlahan duduk di sudut pelataran sebuah toko yang tutup. Ia tidak bersandar di dinding, tapi justru menghadap ke pintu baja toko yang di tutup. Di belakangnya lalu lintas sore Jakarta tampak buas. Riuh klakson bersahutan, derum motor yang berebut naik trotoar, caci maki pejalan kaki yang terpaksa minggir sampai mepet got tapi tetap terancam diserempet motor. Hendar seolah tak mendengar kebisingan itu. Ia duduk begitu saja di lantai pelataran itu, tak khawatir kotor karena toh’ celana katun yang dipakainya sudah sedemikian dekil, Sedikit lagi tambahan debu tak akan mengubah warnanya.
Lelaki itu kurus, kecil, tapi badannya masih lurus seperti tonggak. Rambutnya berantakan. Uban muncul di mana-mana. Gerakannya perlahan saja. Dua buah botol air mineral diletakkan di sisi kakinya yang bersandal karet butut. Satu berisi teh dari warteg yang tadi dihampirinya, sebuah lagi berisi sejumput beras dan biji kacang hijau - alat ngamennya. Hendar mengenakan kemeja lusuh didobel dengan jaket butut berwarna coklat. Entah memang warna asli kainnya coklat atau sudah pudar karena usia.
Perlahan pria paruh baya itu mengeluarkan gulungan kantong bekas permen yang diselipkan di jaket lusuhnya. Dituangkannya isi kantong permen itu ke lantai ubin. Beberapa puluh lembar dua ribuan, belasan lembar lima ribuan, dan tiga lembar dua puluh ribuan meluncur keluar bersama selembar kartu nama dan puluhan keping uang logam berdenting denting.
Hendar segera mengumpulkan uang-uang itu. Menghitungnya.
- Sudah 185 ribu rupiah - katanya dalam hati - lumayan juga pagi ini.-
Pria setengah tua itu lalu berlutut dan dengan cepat membuka ritsluiting celana panjangnya dan mengeluarkan sebuah kantong kain dari bagian dalam celana panjangnya itu sambil menoleh ke kiri dan kanan. Berharap tak ada yang memperhatikannya. Terburu-buru ia memasukkan uang-uang kertas yang didapatnya ke dalam kantong itu, sebelum memasukkannya kembali kedalam celananya.
Setelah mengancingkan ruitsleiting nya, gerakan lelaki tua itu kembali santai. Perlahan uang-uang receh dibagi dua. Sebagian masuk kantong celana, sebagian lagi kembali dimasukan ke dalam kantong permen. Ia tersenyum sambil menggoyangkan kantong permen itu, suara kecrek koin di dalamnya membuat senyum Hendar bertambah lebar.
Saat ia berniat bangkit, matanya menyapu kartu nama yang tergeletak di depannya. ia kembali duduk dan memungut kartu itu. Tertulis dengan tinta emas di atas kartu itu; "drg. Sulaiman P." Hendar mengusap kumis tipis, kasar, berwarna dua di bagian atas bibirnya. Sambil meneguk teh di botol air nya, ia mengenang kembali bagaimana kartu nama itu ada di kantong permennya.
Pagi itu Hendar berkeliling di seputaran Mayestik dan Taman Puring. Seperti biasa, ia 'ngecrek' di toko toko kecil atau tempat makan yang ada di sana. Sesekali ia naik bus sampai kebayoran atau berbalik ke arah Blok M. Hendar termasuk berani, tapi ia tak mau turun di terminal. Cukup sampai sebelum CSW saja. Kalau kebetulan terlewat, biasanya ia mengantongi kecrekannya, demi menghargai penguasa wilayah itu.
Lewat sedikit dari tengah hari, ia sudah beristirahat di belakang pasar Mayestik tempat ia baru saja berkeliling -ngamen. Ada tempat makan di sana yang banyak didatangi para pekerja toko dan kuli di sekitar sana. Berdasar pengalaman Hendar tahu, para pekerja menengah dan kuli lebih pemurah memberi sedekah daripada orang orang berpunya yang makan di restoran mahal. Itu alasannya beroperasi di sana saat makan siang.
Sedang duduk sambil minum sebuah air mineral kemasan gelas, Hendar merasa pundaknya di tepuk dari belakang. Seorang pria tampan di usia awal 30an menatapnya ramah. Pakaiannya kemeja hijau muda, rapi dimasukkan ke celana katun coklat tua. Sebuah tas selempang kulit besar tersampir di bahu kanannya. Pria itu tersenyum mengulurkan tangan mengajak bersalaman.
"Pak, sudah makan?" kata kata pertamanya.
Hendar hanya menatapnya bingung. Reaksi awalnya adalah curiga dan takut. Beberapa tahun hidup di jalanan membuatnya mencurigai nyaris apapun yang tak biasa. Dan seorang pria rapi dan perlente memanggilnya ramah, menanyakan apakah dia sudah makan belum dan bahkan mengajak bersalaman, jelas sebuah kejadian yang tak biasa. Ini mencurigakan.
Baru saat pertanyaan yang sama di ulangi 3 kali, Hendar bereaksi.
"Eh.. be.. belum pak." ia menyambut tangan yang mengajak bersalaman dengan ragu-ragu.
"Nah.. gitu dong. " Pria itu menggenggam tangannya erat. "kalau belum makan, ayo ikut sama saya, pak. Saya traktir makan.."
Ragu ragu Hendar bangkit mengikuti tarikan tangan pria itu. Sesaat sebelum melepaskan tangannya, pria itu berkata sambal menunjuk sebuah pertokoan:
"Saya Iman, pak.. ayo kita ke warung padang itu."
Saat mereka masuk ke dalam warung padang kecil di basement pertokoan itu, beberapa pasang mata mengikuti mereka. Dua diantaranya adalah pemilik dan pelayan rumah makan itu. Hendar hanya menunduk, Ia sadar betapa kontrasnya keadaan mereka. Wajar kalau mereka curiga.. seperti juga dia curiga pada segala sesuatu yang tidak biasa.
Hendar yang berantakan dengan jaket lusuh, kemeja dekil dan celana panjang yang sudah pudar, bersandal jepit butut pula, berdampingan dengan Iman yang jangkung, rapi dan wangi.
Pemuda bernama Iman itu mengajaknya langsung ke etalase. Ia tersenyum pada pelayan toko yang masih memandangi mereka, dan berkata.
"Halo, da.. di hidang saja di meja iyo.."
Iman mengambil tempat duduk di hadapan Hendar yang duduk dengan ragu ragu. Sambil menunggu pelayan beres menghidangkan makanan, Iman mengajak Hendar mengobrol. Wajahnya tetap ramah dan santai.
"Hahaha.. jangan bingung lah, pak... Saya baru dapat rejeki, jadi mau bagi-bagi dengan orang lain. Kebetulan tadi liat bapak duduk kelihatan lemes banget..."
"I..i..ya pak... saya kaget mendadak diajak makan.."
"Santai saja pak.." Iman tersenyum sambil menyodorkan piring kosong. "Makan saja yang banyak."
Hendar tersenyum sedikit.
"Pak, kalau boleh tahu, sudah lama keliling di sekitar sini?" Beberapa piring diturunkan di meja. Pelayan tampak gesit dan luwes menyajikan beberapa piring yang dibawa di lengannya.
"Sudah sekitar 4 tahun, pak.."
"Sebelumnya dimana? "
"Sejak datang dari kampung, pak..."
"Panggil Iman sajalah... saya lebih muda dari bapak kok.."
"i..i..ya mas Iman.." Iman tertawa melihat Hendar ragu ragu memanggil mas.
"Bapak kampung dimana?"
"La.. lampung, mas.."
"Dulu di Lampung bekerja apa? kenapa ke Jakarta, pak?"
"Sebenarnya saya dulu guru honorer, pak..eh mas.." Hendar merasa perutnya perih. Nasi sudah diletakkan di meja, dan harumnya nasi hangat membuat perutnya semakin perih. Hendar menelan ludah sebelum melanjutkan.. "12 tahun saya jadi honorer tapi tak juga diangkat.. anak sudah besar, penghasilan tak cukup lagi pak.. eh mas.. makanya saya ke Jakarta mengadu nasib"
Perut Hendar mendadak berbunyi, Iman tersenyum maklum. Ia bergegas mengambil nasi dan menyodorkan juga ke Hendar.
"Ceritanya sambil makan, pak.. hehehe"
Dengan senyum malu, Hendar mengambil nasi dan lauk. Iman mengambil gulai ikan, kentang kripik dan perkedel. Hendar mengambil rendang sepotong besar. Sejenak hanya ada suara mereka makan.
“Saya punya anak dan Istri di Lampung, mas… dua anak. Satu orang SMP, yang kecil masih SD.” sambil mengambil nasi tambahan dan lagi lagi sepotong rendang. “12 tahun jadi guru honorer taka da yang didapat, mas. Hanya harapan pengangkatan… tak juga tercapai. Akhirnya empat tahun lalu saya merantau ke Jakarta.. berharap bisa mendapat pekerjaan dari saudara yang sudah lebih dulu datang… Apa daya, alamatnya pun tak ketemu.. jadilah saya menggelandang..”
“Äpa istri bapak tidak tau?”
Hendar tak langsung menjawab. Ia menelan dulu makanannya dan meminum seteguk teh hangat tawar di meja.
“Tidak pak… saya bilang saya jadi juru tulis di pabrik…Setiap bulan saya wesel kan sebagian uang hasil mengemis ini..”
“Cukup kah, pak? “
“Ëntahlah, mas…”
Iman kembali mencomot sepotong dada ayam pop dan menambah satu porsi nasi lagi. Di depannya Hendar juga mencomot sepotong paha ayam. Makan enak mereka. Mereka kembali makan sambal mengobrol pelan pelan.
Usai makan, Iman menuju kasir untuk membayar. Hendar permisi ke kamar mandi, dan saat keluar terlihat agak segar. Ia mencuci muka. Rambutnya basah. Iman yang selesai membayar kemudian melangkah keluar bersama Hendar.
“Terima kasih traktirannya, pak.. eh mas..”
“Sama sama pak..”
“Apa bapak.. eh mas akan langsung pulang?”
“Öh nggak pak, saya harus kembali ke klinik. Kebetulan saya tugas sore..”
“kalau begitu saya duluan, mas.. terima kasih sekali lagi..”
Hendar pun berhenti, ia hendak kembali ke pertokoan tempat mengamennya.
“Eh.. sebentar pak..”Iman merogoh kantongnya. Ada dua puluh ribuan di tangannya, dan kemudian diselipkan ke telapak Hendar.
“Wah.. ini terima kasih, mas… “
“Nggak apa…” Iman menepuk tangan Hendar yang masih digenggamnya. Ia kemudian menatap mata Hendar dan berkata;
“Bapak kelihatannya cukup sehat, Bapak tidak malu mengemis..?”
Hendar tak berani balas menatap mata Iman. Ia berkata perlahan..
“Malu sebenarnya, mas.. tapi setua saya mau kerja apa?”
“Mau nggak kalau saya kasih kerjaan?”
Mendadak Hendar mengangkat wajahnya. Ada rasa heran dan tak percaya di matanya.
Lagi lagi ia merasa curiga.
“Kerjaan gimana, mas?”
“Yah .. sebenarnya begini pak. Klinik tempat kerja saya perlu tukang kebun sekaligus penjaga malam.. Saya lihat bapak cukup santun dan kelihatan jujur.. kalau bapak berminat bapak bisa kerja di klinik saya.
Bapak juga bisa tinggal di paviliun kecil di belakang klinik. Kecil tapi lumayan.. ada kamar mandinya juga. Daripada bapak lontang lantung di jalan kan?”
Hendar tak bisa menjawab. Lidahnya kelu.
“Tenang, pak… gajinya ada kok. UMR lah paling tidak… jadi Bapak bisa kirim rutin ke Kampung..”
“Waduh, mas.. saya nggak tau mau bilang apa..”
“Santai aja, pak..” Iman merogoh saku tas nya dan menarik keluar sebuah Kartu nama. “kalau bapak berminat, besok sekitar jam 9 pagi, silahkan dating ke alamat ini… ketemu saya di sana.”
Hendar menerima kartu itu. Tangannya gemetar, entah kenapa.
“Boleh saya pikirkan dulu, mas?”
Iman tersenyum dan menepuk bahu hendar.
“Boleh laah… silahkan dipikirkan pak. Saya tunggu besok kalau bapak setuju ya…”
“terima kasih, mas..”
Hendar menunduk hormat. Iman hanya tertawa dan bergegas melangkah menuju arah berlawanan dari pertokoan. Saat Iman menghilang di balik tembok, Hendar memasukkan kartu itu ke kantong permen tempat uangnya. Hati-hati sekali.
----------
Hendar menyentuh kartu di tangannya dengan lembut. Tak sadar ia menggumam.. ‘masih ada orang baik jaman sekarang, ya’
Ada rasa haru saat mengenang perjumpaan dengan anak muda bernama Sulaiman itu. Ia merasa Sulaiman orang baik, baik sekali… tapi tawarannya rasanya berat untuk diambil. Hendar merasa sedikit bersalah telah berbohong pada pemuda itu, tapi alam bawah sadarnya langsung membela kelakuannya itu. Yah, kan tidak mungkin ia mempercayakan masa lalunya begitu saja pada seseorang yang baru dikenal. Itu makanya tidak apa, berbohong sedikit tentang masa lalunya sebelum ke Jakarta. Rasa bersalah dan pembelaan diri itupun bertarung di hatinya, membebani kesadarannya.
Klakson sebuah motor yang menyuruh seorang pejalan kaki minggir dari trotoar mengagetkannya. Lamunannya buyar. Kartu di tangannya terjatuh. Hendar pun berdiri perlahan, sambal mengangkat punggungnya ia menyambar kartu yang tergeletak di tanah. Dielusnya sesaat dengan ibu jari, lalu diremasnya kuat kuat dengan tangan kirinya. Remasan kartu itu lalu di lemparkan ke selokan.
‘Dasar dokter gigi bodoh… nawarkan pekerjaan kok gaji UMR. Mana cukup untuk hidup di Jakarta dan mengirim ke anak istri. Mendingan Ngemis hasilnya jelas gede…’
Hendar pun mengeluarkan kecrekannya dan melangkah menyusuri pertokoan itu. Masih ada 2 jam sebelum matahari tenggelam. Masih ada waktu mencari nafkah.
***