Sastra

Kisah Daki Dawe di Kampung Tayu

Selasa, 16 Februari 2021, 12:52 WIB
Dibaca 1.311
Kisah Daki Dawe di Kampung Tayu
Folklor Dayak Jangkang yang sarat dengan kandungan nilai.

Di punggung gunung Bengkawan, yang menjadi puaka masyarakat Jangkang ada sebuah kampung. Tayu nama kampung itu.

Kampung tradisional ini layaknya perkampungan orang Dayak zaman baheula. Tiang-tiang tinggi. Atapnya sirap. Semuanya terbuat dari kayu. Tayu ini sudah ditinggalkan dan terakhir kali dihuni pada tahun 1950-an dan penduduknya banyak eksodus atau berpindah ke kampung Ketori, Jangkang, Penyu dan Kobang. Mungkin mereka dahulu kala membuat kampung yang terisolir tersebut guna menghindari jejak dari kejaran kaki tangan penjajah, baik Belanda maupun Jepang.

Sementara Gunung Bengkawan juga punya cerita yang amat menarik. Diyakini oleh masyarakat sekitar bahwa dahulunya gunung ini amat luar biasa tingginya. Kata saibul hikayat, hanya sekitar tujuh lembar daun saja jarak puncaknya dari langit. Namun, karena burung Garuda yang bertempat tinggal di gunung Bengkawan tersebut murka karena ulah manusia yang semena-mena terhadap hutan, maka dia meradang dan memporakporandakan gunung tersebut sehingga gunung tersebut runtuh sampai bagian tengahnya saja yang tersisa.

Kembali ke cerita kampung Tayu. Kampung itu tidak jauh dari sebuah air terjun Kunyo yang tingginya hampir mencapai 200 meter.  Di sekitar air terjun ada sebuah gua tempat banyak sekali bersarang burung walet dan juga kelelawar atau keluang. Gua tersebut sampai hari ini dinamai masyarakat sekitar dengan sebutan lobang Daki.

Alkisah Daki dan Dawe adalah dua orang yang memiliki istri kakak beradik. Istri Daki bersaudara kandung dengan istri Dawe. Dalam istilah bahasa setempat Daki dan Dawe adalah duwai. Mereka biasanya berburu, menangkap ikan, mencari madu lebah, dan berladang selalu saling membantu untuk meringankan kerja.

Pada suatu hari berkatalah dawe kepada duwainya Daki.

“Wai, bagaimana kalau hari ini kita mencari kelelawar di gua riam kunyo? Sudah lama kita tidak mencarinya, mungkin sekarang sudah sangat banyak!”

“Ayo lah, lagi pula kita bisa sambil berburu beruk dan kera disana. Sekarang musim buah petai hutan, pasti banyak sekali binatang yang makan”. Kata Daki menyahuti.

Merekapun berangkat membawa perlengkapan yang diperlukan, ada parang, senapan lantak, pukat kelewar, lampu suluh, dan juga tali benang untuk tali penanda yang diikat kebadan ketika sedang berada didalam gua yang gelap gulita dan banyak sekali lorong-lorongnya itu.

“Kamu dimulut gua saja Dawe, biar aku yang masuk memasang pukat kelelawar! Nanti kamu ulurkan saja benang penanda ini untuk saya sebagai pemandu jalan!” kata Daki sambil mengikatkan tali benang itu dipinggannya.

“Ya baiklah, aku memandumu dari luar!” jawab Dawe bersemangat.

Daki masuk kedalam gua menggunakan tali benang sebagai pemandu, lampu suluh hanya remang-remang saja terlihat karena tertelan oleh gelap dan lembabnya gua. Sementara Daki masuk kedalam gua mempertaruhkan nyawanya, lalu timbullah niat jahat dalam hati Dawe.

 “Hmm…. Sebaiknya saya potong saja tali benang pemandu ini biar Daki tersesat didalam gua dan mati kelaparan disana!” pikir Dawe mempertebal niat jahatnya tadi. Sebenarnya Dawe amat cemburu dan iri hati kepada Daki, mungkin karena segala kehidupan dan hasil kerja Daki lebih baik daripadanya. Satu hal lagi yang membuat dia iri yaitu istri Daki lebih cantik dari istrinya. Dengan membiarkan Daki tersesat digua demikian maka orang sekampung akan kehilangan jejak  dan menganggap Daki hilang atau sudah mati dimangsa binatang buas dihutan.

Setelah memotong tali benang pemandu Daki, Dawe pulang ke kampung dan mengatakan ke warga kampung bahwa Daki telah hilang didalam gua. Warga kampung mencari namun tidak menemukan Daki disana lagi.

Kembali kecerita Daki, dia memasang pukat kelelawar dan mendapatkan banyak sekali kelelawar yang terjaring dipukatnya. Dan ketika dia mencoba mencari kembali jejak benang yang dilaluinya, dia menemukan benang sudah terpotong dan begitu banyak lorong yang harus dia pilih didalam gua. Lorong yang mana yang harus dilaluinya. Dia amat bingung terperangkap dalam labirin gua yang menjadi teka-teki rumit baginya. Sementara dia merenung dan pasrah pada nasibnya tiba-tiba muncul seekor ikan tilan dari sungai yang ada di bawah tanah tersebut. Sepertinya ikan itu ingin memberi petunjuk bagi Daki.

“Hmmm… ada baiknya aku mengikuti kemana arah ikan tilan ini berenang, siapa tahu dia membawa aku keluar dari gua ini”, gumam Daki berharap-harap cemas.

Ikan tilan itu pun berenang dan mengeluarkan suara. Ke mana pun suara ikan tilan itu Daki mengikutinya dengan setia. Dalam perjalanan mengikuti ikan tilan itu, Daki menjepitkan kelelawar tangkapan diketiaknya sampai kelelawar itu menjadi panas dan matang lalu kelelawar yang sudah dijepit itu pun dimakannya. Demikian cara dia mempertahan hidupnya dari rasa lapar.

Sudah berminggu-minggu. Bahkan berbulan lamanya Daki mengikuti ikan tilan itu, sampai mereka tiba  di ujung gua yang rupanya dekat sebuah perkampungan penduduk. Ujung gua itu persis didekat sebuah lumbung warga kampung. Seperti diketahui kampung di mana ujung gua itu berada adalah kampung Tompun Romun, kini wilaha Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Warga kampung Tompun Romun cukup kaget melihat ada orang asing yang badannya lusuh dan mukanya penuh ditumbuhi cambang bauk. Tersebutlah Daki menjadi warga penduduk Tompun Romun. Dia menyatu dengan warga setempat dan menetap di sana untuk beberapa waktu lamanya.

Beberapa tahun menetap di Tompun Romun, Daki merasa rindu untuk pulang ke kampung halamannya di Tayu. Diapun pulang berjalan kaki melintasi rimba belantara dari perbatasan Sarawak ke kampung halamannya di Tayu.

Setibanya di Tayu, orang-orang kampung sudah tidak lagi mengenal dia. Dan yang paling menyakitkan hatinya adalah istrinya sudah dipersunting oleh Dawe atau sudah dimadu olehnya. Airmatanya menetes memendam perbuatan duwainya itu. Betapa istri yang dicintainya yang seharusnya menyambut mesra kedatangan dia yang lama menghilang, malah hidup serumah dengan Dawe lalu timbul dendam yang membara dalam hati Daki.

 “Hmm…. Mumpung orang dikampung Tayu tidak mengenal aku, ini saat yang tepat membuat perhitungan”, katanya dalam hati.

Daki berusaha berteman dengan Dawe. Dawe tidak menaruh curiga karena perawakannya yang sudah berubah. Daki sengaja tidak memotong cambang bauknya sehingga wajahnya nampak lain dari yang dulu.

“Sekarang sudah habis masa panen padi ladang dan ini saat yang baik untuk mencari madu lebah di pohon-pohon tapang”. Kata Daki kepada Dawe. Satu pohon tapang bisa puluhan sarang lebah madu. Orang-orang Dayak tempo dulu paling ahli dalam membuat pasak dan memanjat pohon tapang yang tingginya bisa mencapai 120 meter. Namun banyak cerita duka juga, begitu banyak  korban sia-sia yang jatuh binasa dari pohon tapang hanya demi madu.

Mereka orang Dayak tempo dulu,  sebelum mengambil madu akan mengadakan upacara atau ritual membacakan mantra yang disebut romaing. Mereka merapalkan buah doa yang menyerupai lagu untuk meminta perlindungan Kek Ponompa, Tuhan yang maha melindungi.

Sudah begitu banyak rupanya lebah-lebah yang membuat sarangnya di pohon-pohon tapang. Maka Daki mengajak Dawe mengambil madu lebah.

“Sekarang nampaknya sudah berisi madu disarang lebah dipokok tapang! Kamu kan jago membuat pasak untuk kita memanjat”. Kata Daki kepada Dawe.

“Baiklah, nanti sementara saya memasang pasak, kamu membacakan mantra romaing, supaya lebah-lebah tidak murka kepada kita”. Jawab Dawe sambil memberi perintah kepada Daki.

Dawe memasang pasak satu demi satu mulai dari bawah pohon tapang. Dawe merapalkan jampi-jampi romaing. Tidak lupa juga mereka membawa tali kepuak untuk mengikat jirigen atau wadah lain sebagai tempat madu supaya madu tidak jatuh berserakan.

Demikianlah mereka bekerja sehari penuh memasang pasak yang diketok ke kulit pohon tapang yang tebal itu dan mampu menahan bobot tubuh manusia hingga puluhan kilo beratnya. Lalu sampailah mereka dicabang-cabang pohon tapang yang tinggi.

"Aku turun dulu ya, mau ambil jirigen yang tinggal di bawah untuk tempat madu!” kata Daki.

 “Aa, aku mau memantau dulu mana sarang yang banyak madunya!” jawab Dawe.

Sementara Dawe di atas cabang, Daki beranjak menuruni pasak. Sambil turun Daki memotong pasak-pasak yang menempel di atasnya. Setelah sudah jauh di bawah berserulah Daki kepadanya.

“Dawe, masihkah kau ingat dengan aku?”

“Aapa kamu sebenarnya?” jawab Dawe.

“Aku Daki yang kamu celakai di gua kelelawar, sekarang aku mau balas semua perbuatanmu itu! Pasak sudah saya potong semuanya!”

Maka terperanjatlah Dawe, dan menyadari semua kejahatannya. Semua sudah terlambat untuk menyesal. Dendam Daki sudah terlanjur kesumat.

“Daki tolonglah aku, bagaimana aku turun dari pohon tapang ini!” tangis Dawe penuh penyesalan.

“Nah itu ada tali kepuak. Ikat melingkar di batang pohon tapang lalu kaitkan dikedua tanganmu dan turunlah pelan-pelan!” Dawe mengikuti petunjuk Daki, namun karena semakin ke bawah semakin besarlah batang pohon tapang sehingga tali kepuak menjadi sempit dan Dawe tergantung tidak bisa turun dan naik lagi. Dia pun diserang dan disengat oleh ribuan lebah dan mati tergantung dipohon tapang.

Itulah asal mula nama gua atau lobang Daki di riam Kunyo Gunung Bengkawan.

Dari cerita itu kita amat banyak belajar dari Daki dan Dawe. Seharusnyalah,  kita berbuat baik kepada saudara kita, bukan mencelakainya. Atau jangan menaruh dendam kesumat untuk perbuatan orang lain, bahkan yang jelas mau mencelakai kita.

Hidup akan indah kalau rukun dan damai.

***

Tags : sastra