Sastra

My Cerpen (2): Punan

Jumat, 14 Mei 2021, 09:29 WIB
Dibaca 761
My Cerpen (2): Punan
Emping (penganan yang dibuat dari padi yang belum masak benar) Sumber gambar: cookpad.com

Musim padi mampar bian’t [1] di desaku sudah tiba. Para petani biasanya akan mengambil padi pulut yang belum terlalu masak untuk dijadikan omping’k[2]. Rutinitas tahunan ini selalu dilakukan oleh para petani untuk nyicip padi baru yang akan segera dipanen.

Sembari memikirkan kerinduan akan desa kelahiranku, aku terkesima menatap layar gawai yang bersenandung dengan notifikasinya. Di halaman media sosial, terpampang beberapa foto yang menunjukkan kelezatan sajian omping’k yang diposting oleh beberapa rekan di desaku. Akh! Melihat sajian itu, tenggorokanku menjadi basah menahan hasrat untuk ikut menyicip.

Biasanya, omping’k dibuat oleh sekelompok orang secara bersama-sama. Membuat omping’k harus melalui beberapa tahap. Padi yang sudah dipetik harus disangrai terlebih dahulu. Setelah itu, padi ditumbuk sampai pipih. Birama nutu yang paling merdu adalah saat beberapa orang dengan mahirnya menghentakkan alu ke dalam lesung secara bergantian, namun nutu akan menjadi sumbang jika alu saling berbenturan. 

“Apa kamu bilang. Pengen makan omping’k? Kamu tau nggak, omping’k itu bisa buat punan!?”

“Hmmm… nggak mungkinlah! Ini kan udah zaman modern,” aku menimpali pernyataan saudara sepupuku, Gama.

“Kamu nggak percaya ya? Orang tua zaman dulu paling pantang kalau nyebut omping’k.” Gama terus mencercaku dengan pendapatnya.

“Kamu jangan mikir yang aneh-aneh deh,” aku mendengus kesal.

“Aku nggak bohong! Kamu ingat nggak, almarhum Kakek dulu pernah cerita, ada sekeluarga yang mati dimakan binatang buas karena punan omping’k.” Gama terus menakutiku.

“Ih, Gam. Kamu ngayalnya tingkat dewa deh! Itu kan jaman dulu. Mitos, yang kita nggak pernah tahu kebenarannya,” kuangkat kedua pundak sebagai isyarat tidak percaya.

“Terserah kamu deh! Aku capek ngomong dengan orang yang bernama, Mia. Yang sok kepintaran kalau dikasi tahu. Percaya boleh, nggak percaya juga terserah! Aku mau pulang.” Gama bergegas meninggalkan aku yang masih terpaku mendengar pernyataannya.

“Eh…. Gam! Gama…. Gam! Jangan tinggalin aku dong! Jadi gimana nih?”

Gama tetap berlalu pergi tanpa memperdulikan teriakanku.

Punan merupakan kepercayaan masyarakat Dayak. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kempunan adalah mendapat celaka karena tidak menyantap hidangan yang sudah dihidangkan (dalam kepercayaan masyarakat Melayu).

Seingatku, waktu kecil, menjelang tidur, Kakek selalu menceritakan beberapa legenda dan mitos kepada kami. Sederhana, seperti beberapa kisah pandir, Pak Aluy dan Pak Miguk atau cerita tentang dayang-dayang penghuni beberapa muara sungai. Mitos punan omping’k juga pernah Kakek ceritakan. *)

Alkisah di sebuah polaman[3], tinggallah sepasang suami istri dengan ketiga anaknya. Mereka hidup sehari-hari dengan cara bertani, berburu dan menangkap ikan. Meski hidup di polaman, keluarga petani ini tidak pernah merasa kekurangan sedikit pun.

Hingga di suatu hari, istrinya pergi ke ladang. Sang istri sangat ingin sekali memetik padi pulut yang sudah mampar bian’t untuk dijadikan omping’k. Namun, ia mengurungkan niatnya untuk memetik padi sembari menunggu suaminya pulang mencari ikan.

Saat tiba di dangau[4], sang istri menceritakaan keadaan ladang yang sudah mampar bian’t kepada suaminya. Bukannya mengiyakan ajakan istrinya untuk memetik padi tersebut, sang suami malah sibuk menyiapkan perlengkapan berburu untuk nanti malam.

“Tunguk Apak puloi asi nganam’p mae neh yah rumak koni muh,”[5] kata sang suami kepada anggota keluarganya.

Singkat cerita, malam itu sang suami pergi berburu. Ia membawa bekal dan perlengkapan yang cukup banyak. Setelah meminta izin untuk berburu selama tujuh hari lamanya, ia berangkat meninggalkan istri dan anak-anaknya. Dengan gagah perkasa, ia menyusur rimba sambil memikul bodel lantak[6] di pundaknya.

Ketika sudah sampai pada malam ketiga kepergian suaminya, sang istri mulai merasakan suasana mencekam. Dari belakang dangau yang terbuat dari bambu terdengar bunyi sesuatu mencakar dinding. Semakin malam, suara itu semakin kuat.

Anak-anak yang tadinya tertidur lelap jadi terbangun. Di balik remang-remang cahaya dian, tiga sosok mahluk seperti harimau datang mencengkram mereka. Sang istri dan anak-anak teriak ketakutan. Namun upaya mereka sia-sia, tak ada satu orang pun yang dapat menolong karena lokasi polaman yang mereka tempati berjauhan dengan yang lainnya. Malam itu, mereka menjadi santapan buas tiga ekor binatang kosuwi[7].

Tepat di hari ketujuh, sang suami pulang ke polaman. Ia membawa cukup banyak hasil buruan. Ia mempercepat langkah, berharap anak dan istrinya akan menanti di ambang pintu. Namun, saat tiba di halaman dangau, ia menelan rasa kecewa saat melihat dinding dangau yang sudah porak poranda. Ia bergegas masuk dan sangat terkejut melihat sisa tulang belulang anak dan istrinya berserakan di atas tikar.

Seketika, suami itu ingat akan ajakan istrinya beberapa hari yang lalu untuk memetik padi pulut yang sudah mampar bian’t di ladang. Ia sangat menyesal karena tidak menuruti ajakan istrinya. Menurut cerita orang tua zaman dahulu, sangat fatal jika mengabaikan keinginan untuk makan omping’k. Apabila seseorang mengabaikan niat untuk membuat atau pun makan omping’k maka akan terjadi malapetaka besar pada orang tersebut. 

***

Mengingat cerita dari almarhum Kakek, seketika hatiku berdebar. Meski zaman sekarang sudah modern, tidak menutup kemungkinan punan itu tetap ada.

Seperti biasa, setelah melaksanakan ibadah di gereja, aku akan menyapa beberapa orang termasuk seorang ibu yang biasa kupanggil Uwa. Uwa berasal dari daerah yang sama denganku. Beliau bilang, tiga hari ke depan ia akan pulang ke kampung untuk panen padi baru di ladang saudaranya.

Mendengar hal itu, aku menyampaikan hajat untuk minta beras baru jika sudah kembali nanti. Dengan harapan, aku bisa nyicip beras baru untuk melepas niatku agar tidak punan. Beliau mengiyakan.

Tiga minggu berlalu, karena ada kegiatan di luar kota, aku tidak bertemu dengan Uwa lagi. Akibat sibuk dengan aktivitas, aku pun lupa untuk minta beras baru yang sudah kami janjikan. Entahlah, Uwa juga nampaknya ikut lupa.

Begitulah, hasrat untuk makan omping’k yang belum terpenuhi. Hingga tiba di satu malam, ketika punan menjadi satu kata yang mencekam dalam jiwaku.

“Terima kasih, Bang!” aku menyodorkan uang transpor pada kernet bus.

Entah apa yang merasuki pikiranku malam itu, dengan tergesa-gesa aku melangkah lalu berdiri di belakang bus. Sebuah cahaya putih bagai kilat seakan menarik tubuhku ke tengah jalan. Beriringan dengan detik yang berlalu, sebuah sepeda motor malaju dari sisi kiri.

Praaakkkkkkk!!! Bruuukkkkk!!! Aku terpental tepat di depan pagar rumah.

Darah segar mengucur deras dari kedua lobang hidungku. Kepalaku rasa dipenuhi kunang-kunang. Kaki kananku tiba-tiba sulit digerakkan. Aku meringis kesakitan. Tulang kaki kananku patah! Beberapa orang segera membawaku ke puskesmas, hingga akhirnya aku di rujuk ke Rumah Sakit Antonius.

Aku terbaring lemah di ruang inap. Menanti jadwal operasi yang belum juga di acc oleh keluargaku. Menjelang siang, Omba laki-lakiku datang. Omba adalah abang kandung dari Mamak. Karena Mamak dan Omba adalah orang Sekadau, maka aku terbiasa untuk memanggil saudara tua Mamak yang laki-laki dengan sebutan, Omba.

“Apakah kamu ada niat mau makan sesuatu tapi tidak kesampaian?” tanya Omba padaku.

Sudah menjadi kebiasaan di daerahku. Apabila terjadi suatu peristiwa yang membawa malapetaka pasti dikait-kaitkan dengan punan. Tentu saja, karena leluhur kami mengajarkan hal yang sama. Apabila hendak bepergian harus menyicip sajian yang sudah ditawarkan agar tidak mendapat petaka di perjalanan. Itu pesan turun temurun dari leluhur kami.

“Ada, Omba. Aku sangat ingin sekali makan omping’k,” aku berupaya menjelaskan.

“Ooo, pantaslah. Untung, Omba ada bawa. Nanti sambil turun, Omba ambil dalam mobil.”

Aku tersentak. Seakan menjawab semua keinginanku. Omba datang membawa omping'k.

“Leluhur kita selalu mengajarkan hal yang sama. Jika ingin makan sesuatu, hendaknya kita memenuhi hasrat itu agar tidak terjadi malapetaka. Omping’k bukanlah makanan yang mudah didapat. Jika pun tidak bisa menyicip, maka jangan pernah berkeinginan untuk menikmatinya,” pesan Omba padaku.

“Terima kasih, Omba!” ucapku sambil menitikkan air mata.

Demikianlah, omping’k dan Punan, dua kata yang tidak dapat dipisahkan. Tentu bukan kebetulan, Omba bisa membawa omping’k di hari aku mengalami celaka. Alam semesta di tanah Borneo ingin menunjukkan, bahwa mitos omping’k dan punan bukanlah serangkaian kata yang bisa disebut dalam permainan logika saja, melainkan sebuah pesan tersembunyi dari nenek moyang yang mengisyaratkan kepada kita untuk tetap waspada menjelang celaka.


Footnote:
[1] mampar bian’t: Padi yang belum terlalu masak benar
[2] omping’k: penganan yang dibuat dari padi pulut yang belum masak benar
[3] Polaman: lokasi di tepi ladang untuk bermalam dan jauh dari pemukiman
[4] Dangau:  pondok yang didirikan di tepi ladang untuk bermalam dan jauh dari pemukiman
[5]“Tunguk Apak puloi asi nganam’p mae neh yah rumak koni muh,” : (bahasa Dayak Jangkang) “tunggu Bapak pulang dari berburu baru kita pergi ke ladang.”
[6] bodel lantak: senapan laras panjang
[7] Kosuwi: Binatang buas seperti harimau.