Sastra

Cerpen| Pandemi

Jumat, 12 Maret 2021, 21:28 WIB
Dibaca 786
Cerpen| Pandemi
Image by enriquelopezgarre from Pixabay

Perempuan itu menambatkan tatapan matanya yang sayu. Air mengalir dari mata air di matanya. Menatapi si bungsu yang lelap usai menyesap air susu yang memancar deras dari dadanya. Sesekali ia menerawang ke langit-langit kamar, mengeja hari-hari ke depan yang nampak kelam. Sekelam kabut senja itu.

Winda, nama perempuan itu. Anak pertamanya sebentar lagi masuk kuliah. Anak ke-2 duduk di kelas VIII SMP. Dan terakhir, si bungsu yang masih dalam hitungan bulan sejak keluar dari rahimnya.

Dua puluh tahun tinggal di rumah kontrakan. Sudah 3 kali berpindah-pindah tempat tinggal. Sepeda motor bebek satu-satunya aset yang berharga, masih menunggu 2 tahun untuk dimiliki sepenuhnya.

Bila malam tiba, alam pikirannya sibuk mengembara. Berteman udara malam yang dingin menembus celah-celah genting dan jendela, menyergap kamarnya. Terbayang hari-hari yang akan dilalui. Terbayang kedua anaknya tak kan lagi bisa sekolah. Atau gagal masuk kuliah karena tekanan ekonomi yang menghimpit. Terbayang si bungsu dan kakak-kakaknya kekurangan gizi sebab tak lagi bisa membeli susu dan protein.

Kadang pikirannya melayang pada peristiwa yang seandainya waktu boleh ditarik mundur, ia akan memberi bukti pada suaminya bahwa apa yang dikatakannya di masa lalu terbukti dan menjadi kenyataan yang pahit.

"Tidak, Aku tidak mau, Win. Ngeri. Kita tak boleh berjudi dengah hal baru yang belum teruji." tegas suaminya saat disodorkan formulir pendataan vaksinasi Covid-19 di lingkungannya.

"Mas, siapa bilang belum teruji? Vaksinasi itu sudah melewati tahapan panjang dan lama. Sudah melalui 3 fase uji klinis di dunia kedokteran. Pun sudah direkomendasikan BPOM, lembaga yang mengawasi produksi obat dan makanan. Menurutku ini kesempatan baik agar kita terlindungi dari wabah corona. Juga agar pandemi ini segera berakhir. Lagi pula program pemerintah perlu kita dukung untuk kebaikan bersama." urai Winda mencoba berargumentasi.

"Program pemerintah belum tentu baik untuk kita, Win. Kita harus kritis pada setiap hal. Kamu sudah dengar belum? Pak dokter Imron tetangga kita terpapar covid-19 justru setelah disuntik vaksin."

"Itu kan baru dugaan, Mas. Lagi pula kalau penyebabnya karena vaksin, pasti jutaan orang sudah terpapar covid karenanya."

"Sudahlah, Win. Aku tetap say no to vaksin."

"Hmmm….Mas Hardi kan tulang punggung keluarga. Aku hanya khawatir saja, jangan sampai Mas Hardi terpapar virus itu."

"Kamu gak perlu khawatir. Makanya jangan terlalu sering melihat berita-berita di televisi. Banyak hal dibesar-besarkan."

"Ya sudah. Aku cuma ingin Mas Hardi tetap jaga diri, karena Mas kan sering keluar bertemu banyak orang. Kuharap Mas mau berubah pikiran. Anak-anak kita masih kecil. Kita tentu ingin melindungi mereka dan melihat mereka tumbuh dewasa. Kalau kita atau mereka terpapar, hidup kita akan makin sulit, Mas. Ya kalau sebatas itu. Kalau mereka menjadi yatim piatu, kasihan kan?"

Hardi tetap bergeming. Seolah membiarkan angin berlalu dan menganggap semua kekhawatiran Winda tak beralasan.

***

Sejak awal pandemi covid-19, sebagian orang bersembunyi di rumah. Sebagian tetap bekerja dengan segala aturannya, sebagian lagi bersikap biasa seolah virus covid-19 tak pernah ada. Tak peduli dengan masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. Sebagian menganggap wabah itu sengaja diciptakan oleh orang-orang “pintar” untuk menguasai ekonomi atau lebih dikenal sebagai konspirasi jahat untuk berebut pengaruh menjadi penguasa dunia. Dan Hardi termasuk sebagian yang terakhir. Sebagian orang yang sangat meyakini adanya teori konspirasi di balik pandemi ini.

Setelah pandemi menginjak tahun ke-2, ketaatan terhadap protokol kesehatan semakin menurun. Padahal di tempat pak RW dan pak RT terlihat spanduk Waspada Covid-19 membentang di depan rumahnya. Di depan rumah para tokoh masyarakat itu juga terlihat wadah-wadah air dan tempat cuci tangan untuk memberi contoh warganya. Sayang, sedikit sekali warga yang turut melakukannya. Bahkan wadah-wadah itu sudah lama kosong dan hanya menjadi pajangan di depan rumah.

Di mushola, tak ada shaf berjarak. Shaf jamaah tetap rapat. Tak satupun mengenakan masker. Himbauan 3M atau 5M sudah tinggal kata-kata yang menguap bersama angin.

Tetapi tidak dengan Winda. Ia punya pendirian lain. Ia tetap waspada. Covid-19 itu baginya nyata adanya. Apalagi sejak ia mendengar kabar saudaranya yang tinggal di kecamatan berbeda terdeteksi positif Covid-19. Ia semakin yakin bahwa virus itu bukan hoax. Monster itu semakin mendekati orang-orang tercinta.

“Mas, jangan lupa pakai masker,” tak bosan-bosannya Winda mengingatkan suaminya setiap kali hendak berangkat bekerja.

“Gak perlu, Win. Hanya orang sakit yang perlu masker.“ kata suaminya dengan sikap cueknya yang tak juga berubah.

“Tapi kan anjuran itu sekarang untuk semua, Mas. Apa Mas yakin tidak akan berinteraksi dengan orang yang positif?”

“Selama ini warga di sini baik-baik saja, Bisa dihitung dengan jari siapa-siapa yang memakai masker. Buktinya, tak ada warga yang terkena covid, kan? Sudahlah Winda. Setiap musibah, hidup dan mati itu Allah yang berkehendak. Sekuat apapun kita menjaga kalau Allah tidak berkehendak, tak mungkin kita kena.”

“Aku juga ngerti, Mas. Sepakat soal kehendak Allah. Tetapi bukankah Allah juga menyuruh hamba-Nya berusaha?”

Hardi memandang jam di tangannya. Iya lekas meraih kunci motor dan membiarkan pertanyaan Winda menggantung begitu saja. Terlupakan bersama hilangnya asap sepeda motor Hardi menuju kantornya.

***

Di suatu malam saat semua orang telah terlelap di ranjangnya, dering handphone Hardi membangunkan tidurnya. Ia lekas meraihnya dan menerima telpon itu.

“Waalaikumsalam. Ya, Ayah? Ada apa?” tanya Hardi pada si penelepon itu. “Apa? Ya, Allah… Ibu positif covid?”

“Iya, tapi kita gak boleh menungguinya di rumah sakit, Har. Ayah juga harus menjalani tes swab hari ini. Doakan mudah-mudahan negatif ya?”

“Iya, Ayah, Amin. Semoga tidak terjadi apa-apa pada Ibu.”

Hardi meletakkan gagang telponnya perlahan. Ia menghela nafas. Raut mukanya nampak kusut. Wabah itu kini makin dekat. Wabah yang selama ini hanya didengarnya dari televisi atau berita di media sosial, dan menimpa orang-orang yang tak satu pun dikenalnya.

Dan kini wabah itu menyandera ibunya. Hanya petugas kesehatan yang memakai alat pelindung diri atau APD yang bisa menemuinya. Jika keluarga ingin membawakan sesuatu cukup dititipkan pada petugas.

Hardi tercenung sesaat. Sejenak berpikir, mengapa virus itu begitu kejam sampai anak sendiri tak boleh menemui ibunya yang sedang terbaring sakit?

“Itulah, Mas. Mengapa aku selalu cerewet untuk urusan virus ini. Mas mengalami sendiri kan, anggota keluarga kita pun bisa terkena. Dan bukan tidak mungkin akan menimpa kita juga,” kata Winda menanggapi. “Karena itu, sebaiknya kita perlu mengantisipasi apa yang belum terjadi. Dan salah satunya yang menjadi harapan banyak orang adalah vaksinasi.” lanjutnya.

“Duh, Winda. Apa tidak ada hal lain yang bisa kau katakan selain vaksinasi? Jangan bilang itu satu-satunya harapan. Tuhan yang menciptakan semua di alam semesta ini. Semua terjadi atas kehendaknya. Kalau Dia mau melenyapkan virus itu, cepat atau lambat virus itu akan musnah. Tak perlu vaksinasi.” ujar Hardi.

“Mas, Tuhan memang pencipta dan pengatur alam semesta ini. Termasuk musibah. Tuhan juga menentukan rejeki pada hamba-Nya, tapi tidak dengan cara diam saja tanpa berbuat apa-apa. Burung saja untuk mendapatkan rejeki harus terbang keluar sarang.”

“Ketidaksetujuanku dengan vaksinasi itu juga bagian dari usaha, Win. Usaha menghindarkan diri dari bahaya. Kita ini hanya dibodohin. Ini tuh permainan orang-orang yang ingin menguasai dunia. Orang-orang yang mengeksploitasi ketakutan dan menjadikannya uang.”

“Ah, Mas Hardi terlalu banyak membaca teori konspirasi.”

“Memang begitu kok. Perekonomian dunia selama ini dikuasai oleh kekuatan yang tak terlihat secara kasat mata.”

“Kalau begitu apa solusinya menurut mas Hardi? Apakah kita akan terus bersembunyi di rumah, melalukan aktifitas secara daring selamanya? Orang-orang banyak yang kehilangan pekerjaan karena tak semua bisa dikerjakan secara online. Anak-anak sudah lama bosan dengan belajar daring. Sampai kapan semua ini, Mas?”

“Lalu menurutmu apakah vaksinasi itu dijamin bisa mengatasi semuanya?” “Walaupun tidak pasti, paling tidak kita memiliki harapan, Mas. Kalau sudah tak ada lagi harapan, buat apa manusia hidup?”

“Kalau ternyata setelah vaksin disuntikkan ke tubuh kita, lalu kita justru terpapar virus itu bagaimana?”

“Tak perlu berandai-andai lah, Mas. Tak mungkin pemerintah mau membunuh warganya dengan cara menyuntik masal. Hampir semua negara di dunia kini menumpukan harapan pada vaksinasi. Karena masih sebatas itu yang bisa dilakukan. “

“Siapa bilang pemerintah tidak mungkin membunuh rakyatnya. Lihat saja Amerika. Negara itu telah mengorbankan rakyatnya dalam tragedi Word Trade Center puluhan tahun yang lalu.”

“Lho, kok merembet sampai ke tragedy WTC?”

“Ya biar kamu juga tak terlalu larut dengan kehebatan semu vaksinasi. Apalagi memaksaku melakukannya.”

“Aku hanya berpikir minimal ini untuk kebaikan keluarga kita, Mas. Kalau kita sehat, hal baik lainnya kita tak berpotensi menularkan virus kepada orang lain.”

Pada akhirnya, perdebatan di antara keduanya tak pernah menemukan titik temu. Bahkan ketika sang ibu terpapar virus, tak cukup juga untuk meluluhkan hati Hendri.

Dan, ketika vaksinasi dilaksanakan di lingkungannya, nama Hardi tetap absen di dalam list pendaftaran. Betapapun gigihnya Winda meyakinkan, ia gagal membobol kekerasan hati Hardi yang sekeras Great Wall di Cina itu.

Program vaksinasi akhirnya dieksekusi tanpa kehadiran Hardi.

***

Dua bulan berlalu, Ibunda Hardi pulang dari rumah sakit. Setelah beberapa kali menjalani swab test, hasil tes merekomendasikan ibunda boleh pulang. Walau demikian, kondisinya masih lemah karena penyakit diabetes yang menyertainya. Beruntung tidak menjadi komorbid yang fatal dan berakibat kematian.

Hardi kini sibuk mengurus ibunya paska kepulangannya dari rumah sakit. Setiap hari ia merawat sang ibu. Sebagai anak semata wayang, ia merasa wajib menjaga ibunya bersama sang ayah. Tetapi, lambat laun fisik lelaki yang sudah berusia kepala empat itu mengalami kelelahan. Perhatiannya terpecah antara mencari nafkah, mengurus rumah tangga dan mengurus ibunya. Rasa lelah itu turut andil terhadap sistem imun di tubuhnya. Hingga Hardi pun tumbang. Demam dan nyeri menyelimuti tubuhnya. Indera penciumannya tak mampu membaui makanan dan aroma apapun. Demam dan pusing tak kunjung reda. Tenggorokan juga terasa gatal.

Melihat gejala sakit di tubuh suaminya, Winda dengan mudah menyimpulkan apa yang terjadi. Tetapi ia harus memastikannya di rumah sakit.

Benar saja, vonis dari rumah sakit tak meleset. Hardi terdeteksi positif Covid-19. Semua anggota keluarga diminta menjalani swap test antigen. Termasuk ibu dan ayahnya. Hasilnya, hanya Hardi seorang yang positif.

Hardi menjalani perawatan sekaligus isolasi di rumah sakit. Kondisinya kritis. Berkali-kali ia mengalami sesak nafas. Kata dokter, Hardi butuh transfusi plasma yang diambil dari tubuh orang yang pernah menderita Covid-19. Ada 3 orang yang bisa menyumbang plasma. Masa kritis akhirnya terlewati. Tetapi ia masih harus menjalani perawatan selama dua bulan. Fungsi paru-parunya tinggal 50%. Virus covid-19 telah merusak sebagiannya. Hal ini lantara ada penyakit bawaan yaitu asma.

Meski sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, kondisi Hardi tak akan bisa pulih sepenuhnya. Ia tak lagi bisa bekerja normal seperti dahulu. Perusahaan tempatnya bekerja sudah merumahkannya sampai waktu yang belum bisa ditentukan. Konsekwensinya ia hanya menerima gaji separuh dari biasa. Entah bagaimana nasibnya di tahun-tahun mendatang. Jika tak kunjung sembuh, ia terancam pemutusan hubungan kerja.

Dalam kondisi normal saja, Winda sudah kelimpungan mengatur keuangan keluarga. Apalagi sekarang gaji suaminya dipotong.

Suatu kali ia harus merelakan asetnya dijual. Cicilan sepeda motor tak lagi sanggup dilanjutkan. Over kredit menjadi jalan keluarnya. Hanya tersisa sebuah sepeda yang berusaha dipertahankan untuk membantu bepergian. Sepeda dengan ban yang sudah mulai botak. Sepeda yang rodanya mengingatkan akan kehidupan yang sedang berputar. Dan kini putaran itu berada di bawah. Di bawah sekali hingga menyentuh tanah. Ia tak tahu kapan roda itu akan kembali ke posisi semula.

Pemandangan sehari-hari tak jauh dari suami yang terbaring dengan paru-paru tak lagi normal. Si bungsu yang rewel saat lapar. Dan kakak-kakaknya yang berulangkali menunjukkan surat peringatan dari sekolah karena menunggak SPP. Ingin ia menggantikan suami memperbaiki ekonomi keluarga. Menambal nafkah yang pincang dan tak lagi sempurna. Ah, tidak harus sempurna, asalkan cukup saja.. Tetapi untuk leluasa meninggalkan suami dan bayinya saat ini tak mungkin diakukan. Di saat-saat seperti itu, bantuan sosial seperti oase di padang pasir yang tandus. Di tengah biduk rumah tangganya yang sedang tidak menentu arahnya.

Pandemi telah merampas banyak hal dari kehidupan Winda.

Wajah-wajah gembira yang dulu, kemeriahan yang dulu dan semua kehidupan yang normal seperti dulu kini tinggal kenangan.

Bila malam tiba orang-orang cepat masuk ke rumah. Menghindari kerumunan dan keramaian. Kesunyian makin menggigit oleh bayang-bayang virus yang serupa monster. Hiburan perempuan itu hanyalah menatapi wajah lembut si bungsu dalam lelapnya. Wajah polos yang masih menyisakan harapan. Air matanya tak lagi mengalir. Sebab mata air air mata itu telah lama mengering.

***