Riset

Menyadap Ilmu Pengetahuan

Senin, 17 Agustus 2020, 17:55 WIB
Dibaca 527
Menyadap Ilmu Pengetahuan
Saya sewaktu masih bekerja di Perpustakaan, dimuat di Majalah HAI (Foto: Dok. preibadi)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Saya terinspirasi novel "Bekisar Merah" karya Ahmad Tohari saat meminjam kata "menyadap" ilmu pengetahuan dari perpustakaan yang saya jadikan judul tulisan ini.

Teringatlah sosok Darsa, pria penyadap aren, beristrikan Lasi yang selama tiga tahun berjalan belum memberinya keturunan. Hidup Darsa terasa hampa. Tetapi kehampaan ia usir dengan berkhidmat pada totalitas pekerjaannya, loyalitas total pada profesinya sebagai penyadap aren.

Saya seperti Darsa dalam sadap-menyadap.

Darsa menyadap gula aren yang manis dari pohon kelapa untuk dijadikan gula, sementara saya menyadap ilmu pengetahuan dari berbagai jenis buku di perpustakaan untuk dijadikan artikel atau ide untuk menulis fiksi. Pekerjaannya sama-sama menyadap untuk tujuan yang sama; Darsa dan saya menyadap untuk kehidupan, kelangsungan hidup, lewat cara berbeda.

Berada di Pusat Informasi Kompas, saat dinyatakan diterima dan mulai bekerja pada 1 Mei 1990, saya ibaratkan bagai seekor ikan dicemplungkan ke air bersih. Saya bisa melihat dan membuka buku apa saja, membaca apapun yang saya suka, bahkan membaca buku-buku bertatus koleksi terlarang. Cakrawala baru terbentang luas di depan.

"Kamu kebagian shift malam, ya, biasanya mulai kerja jam 5 sore sampai tengah malam," kata Kepala Litbang J. Widodo saat memberi tahu saya yang bakal hidup sebagai "kampret".

Semula saya masygul juga mendengarnya, sebab dengan cara bertukar-tukar shift malam dan shift pagi, bakal sangat sulit mengatur sisa waktu saya di luar pekerjaan rutin, juga bakal mengacaukan "wakuncar", istilah lawas yang berarti waktu kunjung pacar.

Tetapi, justru Tuhan rupanya tengah memberi jalan. Jadi tak perlu protes, apalagi masih terhitung pendatang baru. Tuhan membukakan pintu ilmu yang seluas-luasnya dengan cara menyadap dan menyerap buku yang saya suka.

Bertugas malam hari mulai pukul 5 petang saat karyawan shift pagi pulang pukul setengah 5, kadang menjadi anugerah tersendiri. Sebab, saya bisa semalaman "nganggur" saat tidak ada wartawan yang meminta atau membutuhkan informasi.

Saat nganggur itulah saya membaca dan membuat catatan, sebagaimana kebiasaan. Bedanya, kalau dulu di buku catatan harian, sekarang langsung saya masukkan ke program komputer WS4 yang bisa dikopi ke disket (floppy disk) yang besarnya selebar daun telinga gajah itu.

O ya, kalau malam tugas saya memang hanya untuk melayani informasi yang dibutuhkan para watawan. Nah, kalau wartawan tidak sedang butuh informasi, saya nganggur gurrr...
Nganggur dari permintaan informasi, tetapi tidak untuk membaca dan menulis!

Dengan cepat saya mengenali dan membaca ensiklopedia, mulai Britannica sampai Americana; saya bandingkan mana kekurangan dan kelebihan masing-masing.

ENI juga saya akrabi, meski ga sempat saya dekap sambil tiduran. Ah ya, ENI ini bukan nama seorang gadis, tapi Ensiklopedi Nasional Indonesia yang juga saya baca. Saya akrabi berbagai ragam kamus. Tidak melulu kamus bahasa, melainkan kamus ilmu pengetahuan dan teknik seperti Kamus Psikologi, Kamus Filsafat, Kamus Fisika, dan seterusnya.

Saya membaca hampir semua buku-buku antropologi, sejarah dan sosiologi klasik, tiga bidang yang menjadi kesukaan saya selain ilmu komunikasi dan teknologi. Karena saya suka filsafat, majalah "Basis" tidak pernah terlewatkan, apalagi "Basis" format lama.

Terbitan yang paling mengesankan tentu saja Jane's Defense Weekly, Newsweek, The Economist, Time dan Asiaweek. Tetapi tak ada hari yang saya lewatkan untuk tidak membuka Encyclopaedia "The Unexplained" yang tebalnya 8 jilid itu. Tebal-tebal pula setiap jilidnya. Di sana saya berkenalan dengan gejala dan fenomena yang (pada saat ini) tidak bisa dijelaskan atau dijangkal akal.

Mungkin agak sedikit berbau-bau mistis. Akan tetapi, para penulis artikel di ensiklopedia itu menuliskannya secara ilmiah, penuh rujukan, meski sering mewanti-wanti tentang kemungkinan adanya hoax, orang iseng dan bikin sensasi, sebagaimana yang saya baca dalam entri "The Fiery" (peri) dan makhluk purba "Loch Ness".

Tetapi dalam fenomena "Hujan Ikan", saya menyenyampingkan adanya unsur hoax atau manusia iseng yang ingin mencari sensasi murahan, agar namanya ternukil dalam buku yang ditulis orang. Hujan ikan adalah hujan yang benar-benar ikan, berjenis-jenis ikan turun di langit.

Penjelasan paling umum tentu saja adanya tornado atau angin puting beliung yang menerjang danau atau laut, lalu angin berputar itu mengangkat berjenis-jenis ikan ke langit dan setelah itu seperti dimuntahkan kembali ke bumi dari langit. Tidak jarang penduduk yang tertimpa hujan ikan masih mendapatkan ikan yang masih hidup!

Bagaimana penjelasannya menurut ensiklopedia? Di sana semua diterangkan secara gamblang dan selalu disertai kemungkinan hoax di balik semua peristiwa ganjil itu, termasuk fenomena manusia yang tiba-tiba terbakar tanpa sebab, tanpa adanya api yang menyentuh tubuhnya, dan itu memang terjadi.

Karena penuhnya otak dengan ilmu pengetahuan hasil "mulung" dari Pusat Informasi Kompas, akhirnya sebagian saya tuangkan dalam sebuah tulisan yang siap saya kirim ke Majalah Intisari, kakak tertua Harian Kompas. Tentu ada etika, wartawan Kompas dilarang menulis untuk diterbitkan media lain, suratkabar atau majalah yang menjadi pesaing.

Meski saat itu saya belum menjadi wartawan, toh saya pegang etika itu dengan tidak mengirimkan ke media di luar Kompas-Gramedia. Saya mengirimkannya ke Intisari, Majalah Hai, atau tabloid Nova. Kecuali fiksi, biasanya cerpen atau cerbung, boleh saya kirim ke media di luar kelompok KG, antara lain ke Majalah Femina, Gadis, Anita, dan Kartini.

Ah ya... saya sedang ingin bercerita tentang Rudy Badil. Ya, Rudy Badil, wartawan kenamaan Kompas yang beberapa bulan lalu berpulang. Saat dia menjadi Pemred Majalah Intisari, dialah yang "memalak" tulisan-tulisan ringan saya untuk dimuat di majalahnya. Ya salah satunya tentang fenomena hujan ikan itu tadi. "Ada honornya, tapi ga gedelah," katanya.

Tapi lain kali aja ya, Darsa ingin beristirahat sejenak dari kegiatan menyadap aren.

Eh saya, ding, bukan Darsa...