Politik

Genarasi Muda Indonesia Harus Miliki Karakter dan Jiwa Pemimpin Tradisional

Selasa, 11 April 2023, 14:02 WIB
Dibaca 1.060
Genarasi Muda Indonesia Harus Miliki Karakter dan Jiwa Pemimpin Tradisional
Sumber: Internet

Indonesia krisis pemimpin orisinil dewasa ini. Benar, ada banyak pemimpin, baik pusat dan daerah, namun mereka dipilih karena punya materi, punya uang. Mereka jadi pemimpin, tentu saja karena banyak masyaralat yang pilih. Tapi rata-rata pengikut mereka adalah “pengikut materi”, bukan pengikut nilai, bukan pengikut idiologi. Bukan karena ketokohan, bukan karena kualitas diri mereka. Karena itulah banyak pemimpin di negeri ini, khususnya di daerah-daerah tunduk pada “keinginan” pengikutnya. Bukan pengikut yang tunduk kepada keinginan pemimpinnya.

Dulu, kata-kata pemimpin adalah “titah, firman/wahyu” yang harus ditaati atau laksanakan. Kini, kata-kata pemimpin hanya angin lewat/angin lalu.

Paska kemerdekaan, Indonesia tidak punya pemimpin orisinil dan karismatik. Pemimpin yang punya pengikut fanatik dan tradisional seperti Soekarno, Hatta, Wahid Hasyim, Ahmad Dahlan, dll. Mereka punya akar yang kuat dan kokoh dalam masyarakat. Mereka punya tempat khusus di hati masyarakatnya. Mereka punya magnet. Mereka dicintai masyarakat dari semua golongan budaya dan agama. Tidak hanya pada jamannya, tapi melampaui jamannya. Mereka masih punya pengikut hingga kini. Pengikut setia dan berani mati. Bandingkan dengan pemimpin jaman sekarang. Pengkutnya hanya setia pada saat pemimpinnya berkuasa saja. Setelah itu, pindah ke lain hati. Sesuai selera dan kepentingan saat itu. Sifatnya pragmatis.

Ada adagium yang mengatakan: setiap jaman akan punya pemimpinnya sendiri. Adagium ini benar sesuai konteks dan tantangan jamannya. Tetapi soal karisma dan pengikut, perbedaan antara pemimpin dulu dan kini (selanjutnya tradisional dan modern) sangat kontras atau ektrim.

Pertanyaannya adalah ada apa dengan pemimpin tradisional? Soal leadership, pintar, semua punya. Semua sudah pasti tokoh pada jamannya, juga sudah pasti pintar. Namun variabel tersebut relatif. Sebab pemimpin modern, juga tokoh dan pintar. Di sinilah menariknya. Menarik untuk dipelajari dan dipanuti oleh pemimpin muda Indonesia masa depan. Mereka punya sesuatu yang tidak dimiliki oleh pemimpin sekarang.

Pemimpin tradisional memiliki kekuatan yang lahir dari nilai-nilai tradisional. Kekuatan yang melahirkan NKRI, kekuatan yang memastikan kejayaan NKRI di masa depan. Kekuatan yang harus dimiliki Pemimpin muda Indonesia kini dan di masa depan. Setidaknya, ada 3 kekuatan utama mereka:

Pertama, pemimpin tradisional punya passion khusus. Mereka punya “merek” (trade mark) atau idiologi. Soal kepribadian, mereka pemimpin gigih, konsisten, jujur, tulus dan iklas (tanpa pamrih). Itulah nilai istimewa mereka yang membedakan mereka dengan tokoh lain pada jamannya. Soal “merek”, mereka punya idiologi perjuangan masing-masing. Sebut saja Soekarno, Sultan Syaril, Syafrudin Prawiranegara, Tan Malaka, dll., cenderung tengah ke kiri. Sementara Hatta, Ahmad Dahlan, Wahid Hashim, Maramis, Kasimo, dll., cenderung tengah ke kanan. Mereka punya passion masing-masing dan mereka sangat konsisten dengan idiologi yang mereka perjuangkan. Mereka berbeda tapi satu. Sebaliknya yang terjadi sekarang. Mereka tidak berbeda secara ideologi, bahkan sama semua tapi tindakan dan kata berbeda. Jangankan tokoh, Partai saja di Indonesia tidak jelas idiologinya (diluar PKS, dkk).

Semua nasionalis dan religius. Sekilas berbeda. Tapi sesungguhnya, tidak ada perbedaan tajam soal kebijakan sosial, ekonomi dan pembangunan. Perbedaan tajam layaknya Republik dan Demokrat di Amerika, misalnya.

Kedua, pemimpin tradisional punya pola kepemimpinan akomodatif (musyawarah-mufakat). Keputusan penting diputuskan melalui musyawarah-mufakat dalam semangat kekeluargaan. Tidak siapa kuat (banyak), siapa menang. Perbedaan tajam soal idiologi antara mereka, dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Ada titik temu. Semua happy. Tidak dapat kita bayangkan apabila diskursus soal idiologi negara Pancasila diputuskan jaman sekarang. Mungkin negara NKRI ini tidak berwujud. Terpecah berkeping-keping seperti Uni Soviet.

Ketiga, pemimpin tradidional menempatkan relasi kemanusiaan dan kepentingan rakyat di atas kepentingan apapun. Dalam sebuah tulisannya, Gus Dur pernah bercerita (cerita ini pernah diceritakan juga oleh Ahmad Sobary dalam Podcast Islah Bahrawi). Suatu ketika Gus Dur muda diajak ayahnya menemui Kasimo di Jogyakarta dan membawa segepok uang. Saat itu, Gus Dur tidak berani bertanya kepada ayahnya soal asal dan tujuan uang sebanyak itu. Kemudian setelah dewasa baru dia tahu bahwa uang tersebut merupakan hasil patungan dari beberapa tokoh untuk membangun rumah seorang tokoh sosialis (PKI) yang tidak punya rumah ketika tua. Maknanya bahwa perbedaan ideologi dan partai politik tidak membatasi hubungan atau relasi sosial dan kemanusiaan antara mereka. Sekarang, berbeda berpendapat dan pilihan saja musuhan, tidak mau salaman, dst., apalagi soal saling membantu. Sangat jauh dari pemimpin sekarang. Bahkan yang terjadi, dengan bangga mereka mempertontonkan perbedaan dan perselisihan secara terbuka melalui media elektronik dan cetak.

Nilai-nilai kepemimpinan tradisional sebagaimana kami sebutkan di atas, sangat penting untuk diangkat dan dimasyarakatkan atau dibumikan dewasa ini, khususnya di kalangan generasi muda Indonesia sebagai calon-calon Pemimpin Indonesia Masa Depan.

Generasi muda harus miliki nilai-nilai tersebut. Sebab seperti dikatakan Soekarno di depan sidang BPUPKI bahwa Pancasila digali dari nilai-nilai yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat dari seluruh wilayah Nusantara. Nila-nilai tersebut adalah roh dan jiwa perekat yang memastikan NKRI tetap kokoh dan Merah Putih berkibar dari Sabang sampai Merauke hingga sekarang.

Baca Juga: Menyalakan Semangat Kepemimpinan Generasi Muda Nusantara

Menurut saya, demokrasi ala barat tidak seluruhnya sesuai dengan karateristik Indonesia yang multi etnis/budaya dan multi agama. Demokrasi ala barat cenderung mengedepankan mayoritas, siapa yang banyak atau kuat. Musyawarah mufakat semakin hari-semakin ditinggalkan. Semangat persatuan dan kesatuan tergerus oleh semangat demokrasi ala barat (beda: masyarakatnya lebih homogen). Dengan alasan demokrasi, menjadi benar dan sah semua hal harus diputuskan melalui pemungutan suara. Semangat pesatuan dan kekeluargaan ditinggalkan.

Oleh karena itu, menjadi mendesak dan penting bagi generasi muda Indonesia untuk kembali kepada nilai-nilai tradisional. Sebagaimana kita ketahui, pasca Reformasi 98, politik identitas telah menemukan jalannya. Kemudian menemukan panggungnya dalam Pilkada DKI 2017. Sejak saat itu, dari waktu ke waktu, politik identitas terus menampakkan dirinya secara terbuka dan selalu menemukan panggungnya di beberapa daerah. Ini ancaman nyata bagi eksistensi NKRI di masa depan. Tidak bisa dipandang sebelah mata. Barisan merah putih harus lebih banyak. Indonesia butuh Gus Dur, Nurcholish Madjid, atau Buya Safii Ma’arif generasi baru untuk kejayaan NKRI.

***

#pemimpinmuda2024
#ytprayeh