Menyambut Festival dan Literasi Dayak
Pertama kali mendengar Bang Abak atau Pulau Sapi akan menjadi hajatan "Pesta Literasi Dayak" dari Yansen Tipa Padan, wakil gubenur Kaltara, dalam sebuah pertemuan sambil ngopi petang di Jakarta.
Saya pikir, dalam hal kegiatan literasi, Pak Yansen -demikian saya biasa memanggilnya- akan menjadi sosok Midas di mana sekali sentuh langsung jadi emas. Maksudnya, rencana besar literasi yang melibatkan etnis Dayak ini akan menjadi kenyataan. Ini karena filosofi "TLJ"-nya yang mendarah daging, yang harus dilakukannya sebagai pencetus filosofi tersebut. "TLJ" adalah Tahu-Lakukan-Jadikan. "Tahu saja tidak cukup kalau tidak dilakukan, dilakukan pun belum cukup kalau tidak dijadikan," demikian filosofinya.
Adalah Masri Sareb Putra yang menghubungi saya saat saya merayakan Lebaran kemarin. Bukan hanya mengabarkan tentang bakal dihelatnya Festival dan Literasi Dayak yang pelaksanaannya dilakukan pemerintah provinsi Kaltara, tetapi ia mengundang saya sebagai pemateri literasi, juga mungkin Dodi Mawardi, yang sama-sama pegiat literasi.
Sesungguhnya dari nomenklatur Festival dan Literasi Dayak sudah dapat ditebak, acara ini merupakan nama lain dari "Pesta Literasi Dayak" yang digagas oleh Pak Yansen itu, tetapi secara cerdik Pemprov Kaltara men-"twist" nama kegiatan dengan mengimbuhi kata "Festival" yang lebih meluas dan serius dari sekadar "Pesta" yang berkonotasi hura-hura belaka. Tetapi bagi saya pribadi, nama boleh berganti tetapi isi tetap bergizi.
Di festival ini, demikian yang saya bayangkan, akan terhampar, terpapar, dan terurai karya tulis etnis Dayak baik penulisnya maupun karya-karyanya. Karya tulis yang tidak sebatas karya ilmiah yang dihasilkan para cendekiawan Dayak, tetapi berbagai genre penulisan lainnya seperti puisi, prosa, cerpen, novel dan lain-lainnya.
Saya membayangkan nantinya akan tampil penulis Dayak dengan karya tulisnya, pembicara yang mengupas biografi penulis Dayak beserta karyanya, menengok kembali perjalanan literasi Dayak masa lalu sampai sekarang ini, nasib literasi Dayak ke depan dengan pertanyaan khas "Quo vadis Literasi Dayak" dan seterusnya. Bahasan ini setidaknya membuka kembali peta literasi Dayak dalam lintasan waktu.
Saya pribadi saat didapuk sebagai salah satu pemateri yang meramaikan Festival dan Literasi Dayak sudah menyiapkan materi khusus tentang "Personal Narrative" sebuah bahasan yang bukan hanya penting diketahui para penulis Dayak, tetapi juga oleh warga Dayak lainnya yang tertarik dalam dunia menulis. Saya ingin menekankan bahwa menulis paling mudah itu dimulai dari pengalaman pribadi, yakni peristiwa yang dialami sendiri oleh penulisnya.
Pertanyaannya; bukankah pengalaman pribadi itu terbatas? Bagaimana mungkin seorang penulis dapat mengembangkan ide lainnya yang bukan bersumber dari pengalaman yang teralami?
Untuk itulah rahasianya akan saya sampaikan di acara Festival dan Literasi Dayak nanti.
***