Batu Ruyud Writing Camp | Dibakar Api Literasi Tjilik Riwut (7)
Dayak Indonesia.
Kiranya, role model itu pas disematkan padanya. Seorang Dayak. Penganut Katolik sejati. Namun, merah putih darah mengalir dalam tubuhnya, yang kudus, bagi bangsa dan negara.
Wiracerita. Juga kisah heroiknya. Saya baca pada pustaka yang menyentuh hati ini: Aksi Kalimantan: Dalam Tugas Operasional Militer Pertama Pasukan Payung Angkatan Udara Republik Indonesia (Nila Suseno, 2017).
Tapi ini nanti. Lain hari saja kita bahas. Poin kita seperti judul narasi di atas.
Tjilik dilahirkan di Kasongan, Katingan, Kalimantan Tengah pada 2 Februari 1918. Sudah pasti, ia seorang Dayak. Tapi yang punya semangat nasionalisme tinggi. Setinggi terbang pesawat tempur yang dikendalikannya.
Jiwa nasionalisme dan patriotisme itu dipicu karena ia mengenyam pendidikan dan bergaul luas di Jawa. Cakrawala wawasannya luas. Seluas pemandangan dari angkasa pura.
Siapa pun mengetahui bahwa Riwut seorang tokoh perjuangan kemerdekaan yang berasal dari Kalimantan. Malang melintang di tanah Jawa, sampai menjadi karib Soekarno, proklamator sekaligus presiden RI pertama.
Meski dikenal sebagai pejuang kemerdekaan di bidang militer, sebenarnya perjuangan Riwut diawali dari pers. Ia menempuh sekolah perawat di Bandung dan Purwakarta. Pada 1940, Tjilik menjadi pemimpin redaksi majalah Pakat Dayak dan Suara Pakat.
Dia juga Koresponden Harian Pemandangan yang dipimpin M. Tabrani dan Harian Pembangunan. Pergulatan di bidang tulis menulis ini membuatnya berkenalan dengan perjuangan kemerdekaan.
Pada masa pendudukan Jepang, Tjilik direkrut untuk mengumpulkan data-data seputar keadaan Kalimantan demi kepentingan militer Jepang. Ia menggunakan kesempatan ini untuk membangun jaringan, komunikasi, dan mengkoordinasi sukusuku di pedalaman. Semua itu kelak, pada Perang Kemerdekaan, menjadi modal baginya untuk menyatukan kekuatan rakyat.
Riwut adalah rombongan kedua Tentara Ekspedisi 96 yang masuk bumi Kalimantan dari Jawamenghadapi kompeni Belanda. Bahkan, Riwut memimpin operasi penerjunan Pasukan Payung yang pertama dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada 17 Oktober 1947. Penerjunan itu terjadi di Desa Sambi, Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, dengan pasukan MN 1001 Brigade Mobil.
Yansen dan saya rupanya, diam-diam, terbakar api semangat literasi Tjilik Riwut. Kami sadar. Tjilik sebenarnya bukan menulis buku. Tapi menulis keabadian.
Hal yang menarik, dan karena itu menjadi bernilai sejarah, peristiwa penerjunan tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Pasukan Khas TNI-AU. Pada waktu itu, Pemerintah RI berkedudukan di Jogjakarta. Tjilik Riwut ketika itu berpangkat Mayor TNI. Pangkat terakhir Riwut dalam dunia militer ialah Marsekal Pertama Kehormatan TNI-AU.
Riwut salah seorang tokoh yang mewakili 142 suku Dayak di pedalaman Kalimantan sekitar 185.000 jiwa, yang menyatakan diri setia pada Republik Indonesia. Mereka melaksanakan Sumpah Setia dengan upacara adat leluhur suku Dayak kepada pemerintah Republik Indonesia pada 17 Desember 1946 di Gedung Agung, Jogjakarta.
Di Bidang Politik, Riwut pernah menjadi seorang anggota KNIP (1946 – 1949).Setelah perang, Riwut merintis karier di bidang politik. Pada 1950, Riwut menjadi Wedana di Sampit,
Kalimantan Tengah. Dia kemudian menjadi Bupati Kotawaringin Timur 1951- 1956 sebagai Bupati Kepala Daerah Swantara Tk. II Kotawaringin Timur. Riwut kerap mengemban beberapa tugas jabatan berbeda dalam rentang waktu yang sama. Misalnya, 1957, residen kantor persiapan/pembentukan daerah swantara TK 1 Kalimantan Tengah di Banjarmasin.
Pada 1958, ayah 5 anak ini menjadi residen pada pemerintahan swantara Tingkat 1 Kalimantan Tengah. Pada 1958- 1959 menjadi Penguasa/ Pemangku Jabatan Gubernur Kepala Daerah Swantara Tingkat I Tengah. Pada 1957-1959 Riwut juga Anggota Dewan Nasional RI. Selanjutnya, menjadi Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Kalimantan Tengah pertama pada 1959-1967. Kontribusinya bagi pembangunan nasional dan Kalimantan Tengah pada khususnya tidak diragukan lagi. Riwut memimpin, mendirikan, dan membangun hutan di sekitar Desa Pahandut menjadi Kota Palangkaraya, Ibukota Kalimantan Tengah. Riwut tutup usia pada 17 Agustus 1987 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangka Raya.
Pada 1998, Presiden RI menganugerahkan Bintang Mahaputra Adipradana dan Gelar Pahlawan Nasional bagi Tjilik Riwut. Riwut juga dikenal sebagai pemikir, penulis, dan dasar pembangunan bagi etnis Dayak. Karya tulisnya, yang banyak dan berserakan, membuktikannya.
Yansen dan saya rupanya, diam-diam, terbakar api semangat literasi Tjilik Riwut. Kami sadar. Tjilik sebenarnya bukan menulis buku. Tapi menulis keabadian. Ia tetap dikenang lewat buku-buku yang tak ada duanya.
Nulli secundus.
(bersambung)