Literasi

Batu Ruyud Writing Camp | Geliat Literasi Borneo Mulai dari Kaltara (1)

Kamis, 21 Juli 2022, 08:48 WIB
Dibaca 633
Batu Ruyud Writing Camp | Geliat Literasi Borneo Mulai dari Kaltara (1)
batu yang ruyud

Preambul:
Mulai hari ini, mungkin akan ada 10 tulisan. Tentang Batu Ruyud. "Pemanasan". Memperkenalkan perhelatan akbar Literasi Nasional, sekaligus Literasi Borneo, abad ini. Yang diberi nama:
Batu Ruyud Writing Camp (BRWC).

Roma non uno die aedificata est!

Roma, imperium, coloseum. Dengan segala kemegahannya itu. Tidak dibangun dalam hanya tempo sehari. Seperti dongeng seribu satu malam Loro Jongrang di kita. Tapi Roma dibangun bertahap. Bertahun tahun. Memakan waktu lama.

Pun demikian mahakarya anak bangsa, Candi Boroburur.
Tidak hendak menyandingkan dengan mahakarya di atas. Namun, Batu Ruyud, punya cerita berbeda: dibangun bergotong royong. Pondasinya, setiap orang, memberinya peneguhan. Hal yang unik: Anda bisa mengukir nama, di batu yang dibawa ke sana. Untuk nantinya jadi pondasi bangunan.

Ini yang unik. Dari proses. Sekaligus kisah di balik Batu Ruyud. Baru tentang filosofi sudah menarik. Apalagi jika ikan pelian, siput, serta udang di balik batunya. Serta sungai Milau yang mengalir jernih, turun dari bebatuan di pegunungan, turut dikisahkan.

Mengapa disebut "Batu Ruyud"?

Dalam bahasa Lun Dayeh, batu = batu. Ruyud= kerja sama, gotong royong. Sama-sama bekerja dalam kebersamaan. Untuk mewujudkan satu goal. Tujuan yang sama.

***

Kita mafhum ada Ubud Writing Camp. Ingatan pasti tertuju ke suatu kawasan berhawa  sejuk alami. Pada sehamparan pulau dewata, Bali, nan menawan. Kiranya, tidak perlu menjelaskan sesuatu yang sudah jelas.

Nah, "Batu Ruyud Writing Camp" karena diadakan di lokus bernama demikian. Suatu kawasan perkebunan, pertanian, dan pemukiman alami milik keluarga Dr. Yansen TP. Tepatnya, sebuah ranch seperti di Amerika. Tapi yang ini lebih luas. Alami. Terletak di Kecamatan Krayan Tengah, kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

Batu Ruyud: Simbol dan Tempat Melahirkan Perbuatan dan Karya Besar. Saya pernah, bersama Yansen, menjadi mentor bagi keluarga besarnya menulis. Itu tahun 2019. Diikuti anak usia 9 tahun hingga orang tua usia 60 tahun.

Lahirlah buku yang ditulis 30 keluarga inti. Judulnya: Hidup bersama Allah Jadi Produktif. Diterbitkan sisters company Gramedia, Bhuana Ilmu Populer. Tebal 358 + xxv halaman . Terdetek sebagai yang pertama di dunia. Lalu Museum Rekor Indonesia (MURI) memberinya penghargaan kategori buku yang terbanyak ditulis anggota keluarga! (Nanti akan ada narasi sendiri tentang proses kreatif buku itu).

Jalan ini telah diretas sejak era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kacamata optimis memandang jalan ini telah membuka isolasi Krayan sekaligus menghubungkan antarKabupaten di Kalimantan Utara.

Batu Ruyud.
Lokasi dan nama yang sama sekali tidak dikenal sebelum “pondok biru” sekaligus kawasan perkebunan Yansen TP (YTP), dibuka. Wilayah ini tidak terdetek, apalagi masuk dalam peta Kalimantan Utara.

 Wilayah ini sekitar 15 kilometer jaraknya dari Ba’ Binuang, ibukota kecamatan Krayan Tengah. Dari arah ujung landasan lapangan terbang, bagian hulu setelah menyeberang jembatan sungai Krayan, Batu Ruyud hanya bisa dicapai melalui kendaraan roda dua. Atau dengan berjalan kaki. Dari seberang jembatan, baru bertemu dengan jalan yang menghubungkan Malinau-Krayan.

Jalan ini telah diretas sejak era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kacamata optimis memandang jalan ini telah membuka isolasi Krayan sekaligus menghubungkan antarKabupaten di Kalimantan Utara. Namun, jalan ini belum sempurna karena naik turun yang tajam serta licin ketika musim hujan. Sedemikian rupa, sehingga tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. Kecuali hanya bisa dilalui oleh eksavator.

Begitulah cara mencapai Batu Ruyud, tepi  Fe’ (Sungai) Milau. Suatu kawasan di mana Yansen TP membangun peradaban. Ada sawah. Ada kebun. Ada kolam ikan. Tak ketinggalan peternakan kerbau di mana hewan ruminansia dari subfamili Bovidae memamah biak ini akan dilepas manakala sawah-sawah belum ditanami padi. Kombinasi peternakan kerbau dan  persawahan inilah yang membentuk sistem pertanian organik di Batu Ruyud dan Krayan menjadi khas.

Di tengah-tengah sawah dan perkebunan, di Batu Ruyud ada pondok biru. Disebut demikian, karena memang pondok tersebut berwarna biru. Dibangun di atas tiang-tiang dari kayu melaban, dengan tinggi 2 meter, berbentuk rumah panggung, berdinding kayu.

Di pinggir Fe’ Milau, tepi kolam. Di sebuah sudut, bawah pohon rindang. Bertumpukan batu-batu. Tumpukan batu itu tidak jadi dalam sehari. Melainkan sudah berlangsung sekian lama, sejak awal mula kawasan pertanian terpadu ini dibuka sekitar tahun 2018.

Belum ada pondok permanen ketika kawasan perkebunan itu baru pertama dibuka. Keluarga besar YTP ketika pertama datang ke kawasan ini, hanya membangun tenda. Tenda yang dibangun itu, persis tempatnya di tumpukan batu, atau Batu Ruyud saat ini.

 Seperti diketahui bahwa batu adalah simbol peradaban umat manusia. Sedemikian rupa, sehingga batu menjadi tonggak yang mengabadikan peradaban itu. Sebelum mengenal kertas, manusia menulis dan memahat di atas batu. Bahkan, ada satu fase peradaban umat manusia yang disebut dengan Zaman Batu.

Alat-alat pertanian dan  peralatan dapur bahannya terbuat dari batu . Disebut demikian, karena batu adalah teknologi atau alat untuk kehidupan umat manusia pada zamannya. Zaman batu ini sekitar 3 juta tahun silam, sebelum manusia mengenal logam.

Maka sebenarnya. Batu Ruyud ini bukan kegiatan atau peristiwa memindahkan batu dari sungai Milau ke lokasi penumpukan. Ada filosofi dan makna di baliknya.            

Dalam bahasa setempat (Lengilo’),  memindahkan batu ini disebut Ngengot Batu. Hal yang unik adalah bahwa batu yang diangkut dan dipindahkan berbagai ukuran, besar dan kecil sesuai dengan kemampuan daya angkat masing-masing peserta. Batu-batu tersebut diangkut dengan cara dipikul. Kemudian, diletakkan di tempat lokasi yang telah disiapkan.

Batu-batu yang telah diangkut tersebut, mengandung filosofi yang sangat dalam. Yaitu hidup yang menggambarkan kerja sama, tolong-menolong, saling memberi, dan berbagi. Setiap orang dapat memberi sumbangsih untuk suatu hal sekecil apa pun sesuai dengan kemampuannya.

Dengan demikian, membawa batu dari sungai dan pinggir sungai sampai ke tumpukannya bukan sekadar menumpuk batu-batu. Lebih dari itu, pekerjaan tersebut adalah proses membangun sebuah peradaban. Kelak kemudian hari, katakanlah seabad kemudian, ia menjadi saksi sejarah.

Di sini dimulai tonggak sejarah baru. Bahwa batu-batu menjadi saksi kerja sama. Setidak-tidaknya, mencatat ratusan bahkan ribuan manusia dari berbagai penjuru Nusantara telah menjejakkan kaki di tempat ini.

Mulai  keluarga besar Samuel Tipa Padan, handai tolan, sahabat, dan suku bangsa dari berbagai warna kulit dan golongan.

(St.... Mulai dari Kaltara!)

(bersambung)