Literasi

Folklor Jangkang, Domia Jamu

Minggu, 7 Februari 2021, 20:40 WIB
Dibaca 818
Folklor Jangkang, Domia Jamu

Catatan awal:
- domia = dewi, putri cantik dalam khasanah Dayak Jangkang.
- domamakng = pria tampan.
- Domia dan domamakng: dewi dewanya orang Jangkang, Sanggau, Kalbar.

***

Di rumah betang kampung Dayak zaman dahulu kala....

Hiduplah seorang pemuda  sederhana. Namun, rupanya sangat rupawan. Matanya biru. Hidungnya bangir. Rambutnya panjang. Menjuntai sampai ke bahunya. Pemuda itu bernama Domamakng.

Kehidupan masyarakat zaman baheula amatlah sederhana. Kala siang penduduknya pergi ke ladang. Kalau senja, mereka bersenda gurau di bale-bale. Warga hidup rukun damai. Saling menolong. Seia sekata. Dan berbela rasa.

Di rumah betang itu, Domamakng amat rajin membantu orang tuanya berladang. Kesukaannya berburu di hutan dan menangkap ikan. Hampir semua kepandaian dikuasainya, termasuk menempa parang dan menganyam aneka kerajinan tangan. Ia juga mahir menyimpai rotan untuk hiasan hulu mandau atau parang dan juga untuk gelang hiasan di pergelangan tangan yang kekar berotot dipenuhi rajahan tato. Sangatlah serasi sekali ia mengenakan gelang demikian rupa. Semua itu menambah kepercayaan diri dalam berburu atau berperang melawan musuh pada zaman dahulu kala.

Pada saat itu baeu saja selesai masa panen di ladang. Saat ini adalah waktu yang tepat untuk berburu kerena pekerjaan ladang telah habis. Maka berangkatlah Domamakn pergi berburu. Setelah sekian lama berjalan, sampailah ia di pondok ladang. Pondok di huma adalah tempat atau pangkalan bagi peladang berteduh atau istirahat sebelum dan sesudah bekerja.

Berkatalah Domamakn kepada teman-temannya.

“Saya mau ke belakang pondok dulu. Ingin melihat buah jambu sudah apakah sudah matang atau belum.”

Teman-temannya mempersilakan Domamakng. Domamakng pun pergi ke tempat jambu ditanam. Biasanya, orang Dayak menanam aneka pohon buah di sekitar pondok ladang. Lama-lama menjadi pelaman. Setelah memeriksa, ditemuinya dua buah jambu yang masak. Domamakng pun membawanya pulang.

Kemudian dia mengambil buah labu ladang yang sudah tua dan mengisinya dengan air dan menyimpan dua buah jambu tadi yang dipetiknya di belakang pondok huma. Dahulu kala, buah labu yang sudah tua ini sebagai pengganti ember atau jirigen untuk wadah menampung air.

Keesokan harinya, mereka pergi berburu ke hutan. Binatang buruan pun banyak didapat. Mereka mendapat menjangan, pelanduk, babi hutan untuk dibawa pulang kerumah. Begitu banyak hasil buruan, sehingga mereka mengajak tetangga di rumah betang untuk membagi-bagi hasil tangkapan. Setelah itu mengadakan pesta makan bersama sebagai rasa syukur mereka untuk hasil yang memuaskan.

Sementara itu, orang lupa akan buah jambu yang dimasukkan Domamakg kedalam wadah buah labu yang diisinya dengan air. Pada suatu malam, ketika dimana langit dipenuhi dengan bintang-bintang di angkasa. Orang-orang di rumah betang sudah pulas ke alam mimpi, namun Domamakng  masih terjaga. Sama sekali ia tidak bisa memejamkan mata. Pikiran dan hatinya ada pada buah jambu yang disembunyikannya di dalam buah labu itu.

Aneh sekali rasanya. Perasaan Domamakng  menjadi hanyut oleh buah jambu itu. Ada sesuatu yang mengusik hatinya. Bunyi suara burung pungguk tak henti-hentinya bersahutan meningkah gelap dan sepinya malam. Menambah syahdunya malam di perkampungan yang masih diselimuti rimba belantara itu. Bulu kuduk bisa merinding mendengar suara berbagai jenis binatang malam yang keluar untuk mencari makan mereka.

Antara melamun dan terjaga di malam buta. Tiba-tiba Domamakng melihat berkas cahaya dari dalam labu. Yang keluar dari dalam labu sama sekali tak dipercayainya. Benarkah apa yang dilihatnya? Ternyata buah jambu mengeluarkan berkas-berkas cahaya gilang gemilang. Dari dari cahaya itu keluarlah seorang gadis tinggi semampai. Kulitnya putih. Rambutnya lurus lurus bagai mayang terurai.

Diliputi rasa heran Domamakng mengamati gadi itu. Setelah keluar dari labu, gadis itu beranjak ke dapur. Domamakng perlahan-lahan melangkah karena dia khawatir jangan-jangan gadis itu tahu dia mengikutinya dari belakang.

Dia mengintip dari balik bilah dinding bambu melihat gadis itu menyiapkan makanan dan memasak aneka lauk pauk yang entah bagaimana cara dia mendapatkannya. Tentu gadis itu sakti sehingga sebutir beras bisa dimasaknya menjadi satu periuk berisi nasi.

Ayam yang baru saja menetas bisa cukup untuk lauk pauk sekeluarga. Ikan baong di sungai hanya disayat bagian daging perutnya saja (buntokng). Lalu diusapnya maka segera pulihlah kembali perut ikan itu tanpa sedikit pun cacad sebagaimana sediakala. Domamakng takjub. Dia buru-buru kembali ketempat tidurnya sebelum gadis itu selesai memasak.

Menjelang matahari pagi terbit, gadis itu segera kembali kedalam buah labu tersebut. Ibu Domamakng bangun subuh karena ingin memasak. Alangkah terkejutnya ibu separuh baya itu. Ia merasa heran karena nasi serta lauk pauk sudah tersedia di semua. Lagi pula masih mengepulkan asap panas karena baru dimasak. Harum aromanya bukan main mengundang selera ingin segera untuk menyantapnya.

Merasa takjub, si ibu membangunkan Domamakg, anaknya. Diliputi rasa heran, ibu bertanya.

“Siapa yang memasak makanan ini, Nak?”

“Siapa lagi bu, orang di rumah ini? Akulah yang memasaknya. Sehabis masak, aku tidur lagi.” Domamakng berusaha menjaga rahasia kepada ibunya. Tapi jauh di dalam hatinya, ibu tidak percaya begitu saja. Aroma masakan begitu sedap. Bumbunya pasti lengkap. Lagi pula, yang membuat ibunya curiga, tidurnya pulas, tetapi hidangan masih saja panas.

Hari-hari berikutnya, seperti itu seterusnya kejadian itu.  Setiap menjelang subuh, makanan selalu tersedia.  Si gadis yang keluar dari buah jambu itu selalu melakukan keajaiban. Hal itu membuat Domamakg semakin penasaran. Siapakah sebenarnya gerangan gadis buah jambu yang diletakkannya di dalam labu itu?

Tibalah malam yang ketujuh gadis itu keluar memasak. Domamakg merancang rencana. Diambilnya buah labu itu. Lalu dipecahkannya. Dengan begitu, dalam pikirannya, si gadis tidak bisa kembali lagi ke tempatnya semula. Dia ingin sekali si gadis selalu ada dan nyata dalam kehidupannya dan juga ibunya.

Begitu subuh itu si gadis keluar dari labu, diam-diam Domamakng menguntinya dari belakang. Domamakng ke dapur menyusulnya. Ketika si gadis sedang bekerja, tiba-tiba Domamakng membuatnya kaget. Dan langsung kepadanya.

“Siapakah gerangan, hai kau gadis jelita?”

“Aaaaku?” jawab gadis itu dengan bibir gemetar.

Domamakng terpana menyaksikan kemolekannya. Ia hanya bisa mengangguk.

“Aku Domia Jamu,” jawab di gadis.

Domamakng pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia langsung memohon.

“Maukah engkau terus tinggal di sini dan menikah denganku?”

“Maaf, saya tidak bisa!” jawab gadis itu terbata-bata.

Mendengar jawab di gadis, alangkah kecewanya Domamakng. Jawaban tak seperti yang diinginkannya. Namun, ia tak berputus asa.

“Mengapa kamu tidak mau menikah denganku?” tanya Domamakg mendesaknya.

“Karena saya bukan manusia normal seperti kamu,” jawab di gadis. Jawaban yang membuat Domamakng terkejut. Meski demikian, ia terlanjur jatuh hati padanya.

“Kalau kamu mau menikah denganku, aku akan memegang teguh rahasia tentang asal-usulmu,” tukas Domamakg meyakinkan gadis itu.

Gadis itu mengangguk. Ia merasa pria di hadapannya bisa dipercaya. Memagang janji setia dan tidak membocorkan pada siapa pun tentang asal usulnya.

Pada keesokan pagi, Domamakg mempertemukan gadis itu dengan ibunya. Ia pun mengutarakan niat untuk meminang si gadis. Dan ingin membina rumah tangga dengannya dan akan hidup saling menyinta dan setia selama-lamanya.

Mendengar permintaan dan ketululusan anaknya,  yang mau menikah menjadi suami istri. Ibu Domamakg tentunya amat senang karena melihat gadis cantik itu amat serasi dengan putranya yang memang gagah dan tampan. Si ibu tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Ia memeluk putranya dan calon istrinya. Hatinya diliputi sukacita luar biasa.

Sesudah sebulan menikah, gadis itu merasa ingin makan sesuatu. Rupanya dia telah hamil dan sedang mengidam namun ingin makan sesuatu yang tidak biasanya. Pada saat itu Domamakg sedang berburu ke hutan belantara dan belum juga tiba di rumah.

Sebenarnya, bukan binatang buruan atau ikan segar di sungai yang ingin dimakan wanita baru hamil itu. Tetapi yang ingin ia makan adalah lilin. Sementara suaminya belum pulang, wanita hamil itu terus merengek dan meminta tolong kepada ibu Domamakg karena merasa sudah tidak tahan.

“Bu, tolong potongkan lilin untuk aku makan!”

Si ibu terperanjat.

“hah! Tidak salah? Masak makan lilin kamu, nak?” jawab ibu Domamakng merasa sangat heran.

“Yya, bu! Aku lagi ngidam dan ingin makan lilin.”

Baca Juga: Folklor: Legenda Asal Usul "Kota Besi" di Sampit

Karena biasanya wanita ngidam memang harus dituruti, maka ibu Domamakg memotong lilin yang ada dirumah tersebut dan memberinya kepada menantunya itu.

Setelah memakan lilin itu, wanita hamil itu pun melahirkan. Bayi itu menangis dengan keras. Namun, sebagian tubuhnya menyerupai manusia. Sementara sebagian lagi berbentuk lilin.

Melihat rupa bayi itu, menangislah ibu itu tersedu-sedu. Ibu Domamakng pun berusaha menghiburnya. Dalam pada itu, Domia Jamu pun menghibur diri dengan menyanyi-nyanyi sendiri. Dengan begitu, ia berharap bisa menghibur hati yang gundah gulana karena peristiwa yang tidak diinginkannya. Dia merasa telah mengecewakan Domamakg, suaminya, karena telah melahirkan anak keturunan mereka yang tidak biasa seperti bayi lain. Dia terus menyanyi dan menyanyi. Bunyinya merdu yang syairnya seperti ini.

“Lilin pulanglah menjadi lilin. Jambu pulanglah menjadi jambu.”

Begitulah bunyi nyanyiannya. Hingga tiga kali dia mengulanginya.

 Setelah nyanyian yang ketiga, ibunya melihat kaki bayinya tersebut menyerupai biji jambu. Dia pun teringat akan asal usulnya. Lalu berlari membawa bayinya ke sebatang pohon jambu yang tumbuh di belakang rumah Domamakg.

Apa yang terjadi? Di sana serta merta mereka berubah menjadi dua buah jambu. Oleh sebab itu, kedua anak dan ibu itu disebut Domia Jamu.

 ***

Sepulang dari berburu.

Domamakng mendapatkan cerita dari ibunya. Tentang istri dan anaknya. Dia pun merasa sedih berpisah dari istri yang dicintainya. Namun, apa daya? Istrinya memang bukan manusia biasa seperti dirinya. Dia hanya memaksa kondisi yang memang seharusnya tidak dipaksakannya.

Istri yang amat dikasihinya serta anak yang ditunggu-tunggunya pergi ke asalnya. Semakin gundah gulana hati Domamakng sebab ia sama sekali belum melihat raut wajah putranya. Seperti apakah rupa anak itu?

Dalam termangu.  Domamakng tetap mengingat istrinya. Bahkan, ia senantiasa menyimpan kenangan yang indah-indah dan yang baik saja. Dari wanita yang telah pergi itu.

Seseorang yang telah menyediakan makanan lezat setiap subuh.  

***