Literasi

Eksistensi Seorang Penulis

Sabtu, 12 April 2025, 15:39 WIB
Dibaca 42
Eksistensi Seorang Penulis
Editorial Majalah Lintas

Pepih Nugraha

Penulis senior

Bagi seorang penulis, satu-satunya cara mempertahankan eksistensinya adalah dengan terus menulis. "Keep writing", tanpa lelah. Tidak pernah tahu di depan ada apa: jurang menganga atau emperan surga. Tetap harus diterjuni.

Menulis adalah pekerjaan keabadian, tidak kenal pensiun. Ibarat menandatangi kontrak kerja dengan bayangan tetapi memiliki kekuatan mengikat, seorang penulis tetap ingat akan "kontrak langit" tersebut, sampai ia tidak bisa melakukannya sama sekali.

Makna eksistensialisme bagi seorang penulis sangat erat dengan kesadaran akan kebebasan, tanggung jawab, dan pencarian makna dalam kehidupan manusia. Itu sebabnya sebagai seorang penulis, saya tidak pernah lelah mencari makna, bukan sekadar fakta yang terjadi di depan mata atau fenomena yang berkelindan dalam kehidupan sehari-hari.

Eksistensialisme menekankan bahwa "eksistensi mendahului esensi", artinya manusia tidak dilahirkan dengan tujuan tetap, tetapi harus menciptakan makna hidupnya sendiri melalui tindakan dan pilihan-pilihan sadar. Demikianlah kesadaran seorang penulis: saya.

Eksistensialisme memberi ruang bagi saya untuk mengeksplorasi identitas, memperjuangkan kebebasan berpikir, dan menolak dogma yang mencekik nalar. Dalam batas tertentu -tergantung siapa khalayak penerima pesan literal- saya tidak takut menggali absurditas, alienasi, atau kehampaan dalam hidup.

Bagi saya setiap tulisan yang saya hasilkan bukan sekadar produk estetika, melainkan manifestasi keberadaan, panggilan batin untuk menanggapi absurditas hidup dengan kejujuran dan keberanian yang masih tersisa. Menulis berarti menjadi cara saya menyatakan “aku ada” (je suis).

Dalam semangat eksistensialis, saya kerap bertanya: Apa artinya menjadi manusia? Mengapa kita menderita? Apakah hidup punya makna atau justru kita yang memberinya makna? Setiap tulisan yang saya hasilkan sering menjadi arena refleksi filosofis ini.

Eksistensialisme menuntut saya bertanggung jawab penuh atas pilihan saya sebagai seorang penulis. Saya tidak bisa menyalahkan zaman, pasar, Trump, Prabowo atau pembaca atas tulisan saya. Saya bertanggung jawab atas isi, gaya, dan sikap yang terkandung dalam karya tulis saya.

Kalau nama saya tersemat sebagai "Konsultan Media" di Kolom Editorial sebuah majalah yang berfokus pada pembahasan infrastruktur dan transportasi, itu adalah pengejawantahan dari eksistensialisme yang saya pahami. Di sini saya menulis editorial sebagai pemberi gambaran sekaligus pemandu agar pembaca tidak tersesat.

(Pepih Nugraha)