Literasi

Perjalanan Data Dian (6) Cerita Dramatis Ibu Berbadan Dua

Rabu, 14 September 2022, 05:29 WIB
Dibaca 439
Perjalanan Data Dian (6) Cerita Dramatis Ibu Berbadan Dua
Aci Widiati membacakan laporannya (Foto: Warsi)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Dalam catatan perjalanan menuju Desa Data Dian sebelumnya selintas saya ceritakan adanya seorang peserta, Ibu yang sedang hamil, yang berjuang sedemikian berat untuk sampai ke Ibukota Kabupaten Malinau demi mengikuti pelatihan menulis bagi calon "citizen reporter" atau warga pewarta.

Ternyata bukan hanya sedang berbadan dua, Ibu ini juga membawa serta balitanya yang masih berusia empat tahun. Akhirnya ia meminta sang suami untuk menemaninya selama menempuh perjalanan berat dari desa menuju ibukota Malinau.

Nama Ibu peserta penulisan itu adalah Aci Widiati. Berasal dari Desa Long Jalan, ia berprofesi sebagai guru honorer sebuah sekolah dasar. Aci sangat pemalu dan cenderung pendiam saat mengikuti 11 materi penulisan yang saya sampaikan selama empat hari.

Berbeda ketika saya, sebagai pemateri tunggal dalam kegiatan yang diselenggarakan KKI Warsi itu, memintanya ke depan kelas untuk membacakan sebuah karya tulisanya tentang "menulis biografi", ia membacakan hasil liputan dan tulisannya dengan baik.

Untuk menulis catatan perjalanan dari desa menuju Malinau saja malu-malu atau mungkin masih ragu, padahal perjalanannya cukup dramatis dan sangat tidak mudah. Tentu banyak cerita menarik yang bisa diungkapkan.

Fasilitator Warsi, Sugeng Lestari, sempat mengomporinya: "Ayo bercerita! Ceritakan juga pengalaman ketika mau turun sebelum H-3 yang ternyata sungai banjir besar sehingga tidak bisa turun!"

Sugeng yang juga berperan sebagai pendamping ini mengungkapkan, Aci Widiati ini salah satu peserta dari Desa Long Jalan, di mana dengan kondisi sedang berbadan dua (hamil) tetap semangat mengikuti pelatihan demi membawa nama desa.

Aci Widiati menggantikan Ibu Mardaleni yang baru melahirkan dan datang ke Malinau ditemani suami yang harus turun dari Long Jalan dan bermalam di desa transit Tanjung Nanga satu hari, setelah itu baru bisa melanjutkan perjalanan ke Malinau. Keluarga ini membawa serta balitanya.

Bagaimana Aci Widiati yang pendiam ini mengungkapkan curahan hatinya? Simak penuturannya sebagai berikut:

"Perjalanan Sulit dan Menegangkan"

Pada tanggal 4 September 2022 , saya menerima undangan dari salah satu KKI Warsi pendamping Desa Long Jalan lewat alat komunikas (HP) untuk mengikuti "pelatihan penulisan masyarakat" di Malinau. Empat hari sebelum pelaksanaan, saya bermaksud untuk datang lebih awal dari pelaksanaan tersebut, akan tetapi cuaca dan kondisi sungai (sebagai akses jalan) yang tidak menentu, perjalanan saya jadi agak tersendat. 

Posisi saya dalam hal ini sebenarnya hanya sebagai pengganti, saya menggantikan posisi teman saya yang baru selesai melahirkan dalam seminggu yang lalu karena dia (Mardaleni, namanya) tidak mungkin untuk dapat hadir dalam kegiatan ini.

Saat dihubungi oleh KKI Warsi saya tidak berpikir dua kali lagi, yang saya pikirkan saya harus datang, kalau bukan saya siapa lagi yang datang sebagai perwakilan dari Desa Long Jalan? Saya harus berjuang untuk Desa Long Jalan demi kemajuan dan untuk perubahan ke depannya. Desa-desa yang lain sudah mengalami banyak perubahan masa iya Desa Long Jalan begini-begini saja, hanya sebatas ini saja, padahal sudah diberikan jalan, tapi tidak di gunakan atau dimanfaatkan. Sama saja.

Itulah yang saya pikirkan saat itu dan itu pula yang menjadi motivasi pendorong saya untuk harus datang. Saya tidak lagi pikir kondisi dan keadaan saya di mana saat ini saya juga berbadan dua (mengandung), juga punya balita 4 tahun. Kebetulan awal bulan September ini cuacanya tidak baik, sering hujan, pastinya air sungai menjadi besar.

Ini pula yang membuat saya menjadi semakin resah gelisah bagaimana seandainya kalau hujan terus dalam minggu ini, otomatis banjir juga akan semakin naik terus. Bagaimana caranya agar tidak turun hujan sehingga tidak banjir satu malam saja? 

Tanggal 5 September 2022 perjalanan saya masih tertunda oleh karena keadaan sungai yang masih banjir, hujan lebat pula. Semalaman saya hampir terjaga melihat kondisi langit dengan harapan yang sangat besar agar tidak turun hujan, dan ternyata Tuhan memperhatikan keresahan saya sehingga malam itu tidak turun hujan.

Keesokan harinya, tanggal 6 September 2022 kami bertolak dari Long Jalan menuju Desa Tanjung Nanga. Sari desa Long Jalan ada lima desa yang akan kami lewati. Perjalanan tidak semulus yang saya pikirkan, berita sampai di atas hitam Bamblih, pondasi mesin kami pun patah dan menyebabkan mesin itu terjatuh dari tempatnya, telungkup di dalam perahu. 

Saya pun sempat panik ketakutan seperti apa jadinya kalau kami langsung meluncur dengan keadaan mesin yang telungkup di dalam perahu karena Bamblih ini bisa dikatakan giram paling besar kalau mudik sungai Malinau. Mentores dan juru mudi baru kami pun sempat berteriak keras, saya pun semakin gugup walau pun hidup di hulu sungai saya bukanlah orang yang bisa berenang, apa lagi dengan keadaan yang seperti ini berbadan dua, gendong balita lagi. 

Dengan sekuat tenaga perahu bisa di dayung kembali ke pinggir. Untungnya kami punya pondasi cadangan. Mesin pun kembali stabil dan kami pun melanjutkan perjalanan sampai di Tanjung Nanga pukul 18.00 WITA, menginap di situ dengan keadaan makanan dan peralatan yang seadanya, pembayarannya Rp80 ribu satu malam, tetapi air tidak mengalir sehingga mengharuskan kami tidak mandi malam itu.

Tanggal 7 September 2022 kami pun melanjutkan perjalanan dari desa Tanjung Nanga menuju Malinau dengan perjalanan 3 jam. Kami menginap di rumah teman yang ada di Malinau sehingga saya bisa bertemu dengan panitia KKI Warsi yang baik-baik semuanya dan bisa mengikuti pelatihan langsung dengan orang terhebat seperti bapak Pepih Nugraha saat ini. (Aci Widiati, Desa Long Jalan).

Demikian Aci Widiati menuliskan catatan perjalanannya. Apa yang ia tulis itu merupakan sebentuk curahan hati yang sejatinya itulah sebuah tulisan hidup, yang dalam khasanah ilmu kepenulisan disebut "vivid story".

Tanpa menafikan kemampuannya dalam menulis sebelumnya, keberaniannya bercerita lebih mengemuka setelah tekun mengikuti pelatihan menulis. Terlihat, ia tidak ragu bercerita. Ceritanya pun mengalir, meski ia belum menyisipkan kutipan langsung dalam sebuah cerita yang juga saya ajarkan dalam pelatihan tersebut. 

Aci dan 20 peserta lainnya mengikuti 11 mata pelajaran yang merupakan inti dari menulis secara tekun. Empat hari lamanya pelatihan bukan waktu yang cukup untuk menjadikan peserta mahir menulis, tetapi setidak-tidaknya mereka sudah mulai BERANI MEMULAI menulis.

Itulah modal utama yang paling saya tekankan, bahwa "menulis adalah hak segala bangsa", bahwa "menulis adalah pekerjaan warga biasa", bahwa "menulis membuatmu beda dibanding orang kebanyakan", dan seterusnya kata-kata mengandung "kompor" lain yang saya cekokkan. 

Aci Widiati telah membayar lunas perjuangan panjangnya menuju Malinau untuk mengikuti empat hari pelatihan menulis dengan sebuah catatan perjalanan apik yang ia tulis, setidak-tidaknya untuk ukuran warga desa yang tinggal di pedalaman Kalimantan.

(Bersambung)

***