Literasi

Batu Ruyud Writing Camp | Begini Jadinya Dayak Ditulis Orang Luar (18)

Sabtu, 6 Agustus 2022, 00:04 WIB
Dibaca 1.281
Batu Ruyud Writing Camp | Begini  Jadinya Dayak Ditulis Orang Luar (18)
Maka : menulis lah!

Apa untungnya menulis? Tak terbilang bilangan faedahnya! Dampaknya, tidak bisa dikuantifikasi dengan nilai cuan. Sebab ukuran dacin berbeda. Tak akan kena untuk menimbangnya.

Keuntungan yang pertama adalah bahwa kita, sebagai penulis, dapat mem-framing, membingkai, atau mem-branding apa yang ingin kita jadikan. Kehendak menjadi seperti yang kita niatkan, manakala gagasan dirumuskan lalu ditulis, dipublikasi, dan disebarluaskan. Ia membangun, sekaligus membentuk opini publik.

Hal itu ternyata telah menjadi kajian-kajian, terutama di bidang media. Contohnya, karya Biagi Media/ Impact (2016). Menjadi juga mata kuliah, dengan judul sama, di program S-2 Ilmu Komunikasi, jurusan Media Studies (Kajian Media). Yang khusus mengkaji: bagaimana media punya impact yang disebut cumulative impact. Bagaimana media secara kumulatif, lambat laun, akan membuat, membangun, menuntun opini, image, citraan tentang satu hal yang dituliskan itu yang diproduksi secara terus-menerus.

Demikianlah!
Apa yang terjadi pada etnis Dayak selama berabad-abad?  Mereka ditulisi, tanpa bisa mencegah dan membantah, dicari hal-hal eksotik yang dapat menjadi daya jual terutama oleh orang-orang asing, orang Eropa, orang bule, orang yang memandang bahwa mereka lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan kulit berwarna apalagi suku terasing.

Pada tulisan yang lalu,  kita melihat bagaimana Dayak dibingkai, ditulisi, distigma sesuai kehendak si penulis. Tanpa orang Dayak bisa meng-counter kebenaran, akurasi, dan ketepatan pada saat itu. Baru kemudian tulisan-tulisan karya-karya orang bule di-counter orang dalam. Contohnya karya Dr. Anton Nieuwenhuis yang dikuliti serta dibantai habis oleh seorang Dayak terpelajar yakni pastor Ding Ngo, "orang dalam", sukubangsa Kayan yang lebih paham tentang dirinya.

Begitulah dialektika ilmu, pada hakikatnya. Senantiasa siap untuk diverifikasi oleh pakar sevak. Untuk menemukan Fusion of horizons. Yakni menyatunya apa yang disebut "kebenaran", berupaya memangkas gap ontologis antara apa yang sudah diketahui dan belum diketahui. Untuk menemukan sintesis dalam jalur jalan dialektika ilmu.

Saya menemukan di tahun '80-an dan '90-an, bukan hanya publikasi berupa buku-buku, jurnal, dan terbitan berkala luar negeri seperti Far Eastern Economic Review yang mem-branding dan menulis Dayak dari sisi sudut pandang orang yang mencari nilai berita sensasional.

Saya melihat dengan mata kepala sendiri Hilux dijadikan untuk mengangkut buah sawit. Bahkan saya pernah menumpang yang disebut taksi dari kembayan ke Pontianak, Fortuner. Jika ada rapat, pertemuan, dan hajatan keluarga; mobil berderet panjang. Tandanya, Dayak hari ini maju luar biasa. Siapa terpanggil menarasikan fakta yang demikian itu?

Di beberapa tempat, di toko-toko, bahkan di kantor pos, banyak dijual kartu pos. Yang gambarnya menyuguhkan keunikan atau orang Dayak yang sedang melakukan aktivitas atau sengaja beraksi demikian, sedemikian rupa sehingga pantas menjadi barang dagangan atau komoditas yang laku untuk dijual.

Saya masih menyimpan dan mendokumentasikan beberapa kartu pos itu. Sayangnya, tidak bisa banyak, apalagi semuanya. Sebabnya pada waktu itu, jangankan firasat. Bermimpi pun tidak, saya akan menjadi seperti sekarang ini: pekerja kata, pegiat literasi. Seseorang yang terpanggil mendedikasikan diri menjadi pegiat literasi yang pekerjaannya membaca dan menulis, setiap hari, dan seluruh helaan napas hidup dan asap dapur bergantung dari literasi.

Kartu pos kartu pos yang banyak dicetak pada waktu itu menggambarkan bagaimana Dayak menyumpit, bertelinga panjang, dilumuri oleh kotoran tato sekujur tubuh, memikul kayu, berada di hutan, tidur di bawah naungan pohon, serta tinggal di rumah panjang yang dikerubungi oleh hewan-hewan seperti anjing kucing dan babi.

Melihat dan mencermati dengan saksama, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, gambar-gambar kartu pos pada waktu itu sungguh menggelikan sekaligus menjijikkan. Begitukah orang Dayak?

Oleh sebab itu, sejak tahun 2016, saya diminta menulis profil profil Credit Union  di Kalimantan Barat dengan asetnya yang mendapat bilangan T, dengan jaringannya yang luar biasa. Tidak kurang dari 3 buku CU  plus 1 sebagai editor sejarah CU sudah saya teliti, tuliskan, dan terbitkan.
1. CU Lantang Tipo (2016) - ISBN 978-602-7358-63-8
2. CU Keling Kumang (2018) - ISBN 978-602-6381-40-8
3. CU Banuri Harapan Kita (2021) ISBN 978--623-7069-84-3

Bukan apa-apa. Saya hanya ingin memberitahu saja. Bahwa hari ini citraan Dayak sudah bertolak belakang dengan 15,20, bahkan 40 tahun yang lalu.

Hari ini, banyak Dayak menjadi general manager, CEO, bahkan managing director. Ladang mereka bukan lagi ladang seperti zaman dahulu kala. Ladang mereka kini adalah kantor, sekolah, perguruan tinggi, perkebunan sawit, LSM, yang juga bekerja di kursi-kursi empuk ber-AC seperti di kota-kota besar di metropolitan.

Mereka juga ke kantor dengan mobil mewah seperti layaknya orang kota besar. Bahkan saya melihat sendiri Hilux dijadikan alat untuk mengangkut buah sawit. Bahkan saya pernah menumpang yang disebut taksi dari Kembayan ke Pontianak, mobil itu adalah Fortuner.

Jika ada rapat, pertemuan, dan hajatan keluarga; mobil berderet panjang. Banyak Dayak terpelajar: 34 profesor dan selitani panjang yang meraih gelar akademik tertinggi Doktor dan master yang tak terbilang. Sarjana itu sudah biasa! Tandanya Dayak hari ini maju luar biasa.

Siapa terpanggil menarasikan fakta yang demikian itu?

Jawab sendiri! Itulah keuntungannya jika kita menulis tentang diri kita. Senantiasa ada bias. Tak mengapa. Sebab demikian seperti dikemukakan Cirrino (1971) tentang 14 bias media. Bias pertama, datang dari penulisnya.

Maka sebanyak mungkin menulislah!

Dengan menulis, kita membuka mata hati dan mencelikkan dunia untuk melihat kita dari dalam.

Maka kartu pos, yang diproduksi 30 tahun  silam. Simpan saja, sebagai dokumen. Jangan dibuang.

Saya juga pernah ke Eropa, dalam waktu cukup lama. Saya pun bisa menulis dan mengambil foto eksotik yang nylekit.  Seperti (dulu) mereka mengambil foto kita, yang dekil.

Hasilnya sama. Yang tertangkap kamera, dan jadi narasi, adalah: bias. Setidaknya, sudut pandang dengan angle paling sempit yang tidak memberikan pemandangan umum, apalagi menyeluruh, tentang suatu objek yang dibidik itu.

sumber ilustrasi ini: http://rhapsodia-inside.blogspot.com/2013/05/hermeneutika.html

Maka di dalam studi hermeneutika, ada yang disebut "inter-teks". Yakni teks, atau realitas, atau sejenisnya yang relevan yang secara bersama-sama dapat untuk menjelaskan realitas-yang purna dari suatu objek.

Itulah yang disebut "hermeneutical circle". Yakni spiral hermeneutika, yang terus berproses berdinamika menemukan kepenuhan makna, atau sensus plenior.

Itulah hakikat seorang literer, pekerja literasi, sekaligus peneliti.

Seperti kita kita ini.

(Bersambung)