Serial Kebangsaan (15) Peringatan 100 Tahun Chairil Anwar
Derai-derai Cemara
Cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah
(Chairil Anwar, 1949)
Puisi karya penyair besar Indonesia -bahkan "terbesar" dibanding para penyair yang pernah lahir di negeri ini- berjudul "Derai-derai Cemara". Bukan hanya Sutardji Calzoum Bachri yang menganggap puisi itu sebagai karya terbaik Chairil Anwar, tetapi sejumlah pengamat sastra lainnya.
Tak pelak "Derai-derai Cemara" menjadi puisi paling legendaris sekaligus romantis yang pada peringatan 100 tahun Chairil Anwar, Selasa 26 Juli 2022 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki dibaca sejumlah orang, dari anak berusia 10 tahun sampai pria dewasa berusia lewat 70.
Adapun puisi "Aku" di mana pada malam puncak acara itu dibacakan Sutardji yang menyandang "Presiden Penyair", merupakakan puisi paling terkenal di seluruh dunia, yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai ragam bahasa dunia, bahkan dihapalkan di beberapa negara.
Betapa "Aku" seolah-olah menjadi penanda dan kabar kepada dunia bahwa Indonesia punya puisi, punya penyair besar seperti Chairil Anwar. Ingat "Aku", ingat Indonesia.
Memang tidak seperti Vietnam, Azerbaijan atau Turki, puisi belum menjadi "tuan di negeri sendiri" di Indonesia. Penghormatan negara maupun rakyatnya sangat minim, bahkan puisi dan para penyair tidak pernah dijadikan sebagai kebanggaan, padahal Chairil Anwar demikian terkenal dan sangat dipuja dunia.
Di negeri jiran Vietnam, misalnya, puisi ditempatkan di ruang terhormat.
Saat berlangsung hari puisi internasional beberapa waktu lalu di negara itu, acara yang dihadiri para penyair dari seluruh dunia bahkan dilangsungkan di Istana kepresidenan dan yang menyambut presidennya sendiri.
Ini menunjukkan betapa rakyat dan pemimpin negeri yang pernah dijajah Perancis dan tercatat sejarah pernah mempermalukan Amerika Serikat dalam perang berdarah-darah ini sangat menghormati puisi sekaligus penyairnya.
Di beberapa daerah dan provinsi, serentak diadakan acara serupa secara bersamaan, tentu dengan menghadirkan para penyair lokal Vietnam, sehingga gaung puisi demikian bergema ke seluruh negeri.
Dari Vietnam inilah kemudian tercetus untuk menjadikan tanggal 26 Juli sebagai Hari Puisi Indonesia, merujuk pada tanggal kelahiran Chairil Anwar, 26 Juli 1922.
Sayangnya, gema peringatan 100 tahun itu nyaris tak terasa, hening-hening saja, padahal ini momen yang sangat penting. Seorang menteri yang seharusnya menutup acara ini mendadak berhalangan hadir dengan alasan sakit.
Di Teater Kecil TIM sendiri tidak ada spanduk mencolok yang menandakan adanya acara peringatan 100 tahun Chairil Anwar, kecuali dua lukisan besar wajah penyair besar karya perupa Tatang.
Adapun satu-satunya karangan bunga sebagai bentuk perhatian sekaligus penghargaan tertulis atas nama AHY (Agus Harimurti Yudhoyono), Ketua Umum Partai Demokrat. Sebuah karangan bunga tunggal yang benar-benar hanya satu di acara besar peringatan 100 tahun "penyair terbesar" negeri ini. Kesepian, berdiri sendiri di pintu masuk Teater Kecil.
Angka 100 tahun itu sendiri merujuk pada usia penyair yang lahir di Medan itu, andai masih hidup. Sayangnya, hidup Chairil Anwar "sangat singkat" untuk ukuran harapan hidup saat itu. Ia meninggal di Jakarta 28 April 1946 atau saat ia berusia 24 tahun akibat penyakit yang dideritanya.
Ars longa, vita brevis, hidup memang pendek, tetapi (karya) seni itu abadi.
Chairil Anwar membuktikannya.
***