Liburan di Masa Pandemi | My Cerpen (5)
Sejak seminggu yang lalu, kami berencana untuk liburan ke kampung halaman. Bukan tanpa alasan, karena perlu ketenangan. Ya, tenang dari hiruk pikuk kendaraan yang lalu lalang di jalan raya.
Maklum, ketika tempat tinggal kami berhimpitan dengan jalanan. Penuh, dua puluh empat jam gendang telinga selalu dihiasi oleh kendaraan yang hilir mudik. Terkadang terdengar tidak karuan, tetap saja kupingku tak bisa menutup kebisingan itu.
Putra kecilku sudah merengek-rengek ketika dijanjikan liburan, namun terus ditunda dengan berbagai halangan. Kasihan, sejak pandemi dan tepatnya, saat aku mengalami kecelakaan yang membuat tulang kaki kanan-ku patah, aku tak pernah lagi membawanya menghirup udara segar. Sesekali ia masih ikut ke kota. Itu pun hanya sampai di rumah sakit, karena menemaniku konsul. Lagi pula udara kota saat ini, selain polusi, juga rawan penyebaran covid-19. Akh, kemana lagi bisa mendapat angin segar selain berhadapan dengan pepohonan di kampung halaman.
Hingga akhirnya, keputusan libur kuambil dengan penuh perencanaan. Liburan kali ini kami sekeluarga, hanya karena perlu ketenangan dan udara segar. Apalagi diriku, sejak mengalami kecelakaan pada Maret 2021 yang lalu, otak-ku belum pulih dari kebisingan jalan raya.
Karena tempat tinggal kami tepat di sisi jalan raya, aku pun tak bisa menolak untuk mendengar keramaian yang hilir mudik. Kan, tidak mungkin jika aku memaksa pengendara untuk mendorong kendaraannya ketika lewat di depan rumah hanya demi menghargaiku yang sedang sakit. Akh! Seandainya bisa kulakukan, maka akan kusulap saja para pengendara itu untuk bisa melakukan hal bodoh demikian.
Agak sulit memang, ketika situasi dan kondisi pandemi yang tiada akhir. Pulang ke kampung halaman untuk bertemu keluarga, kenalan dan para sahabat. Bukan. Bukan itu tujuan kami liburan. Meski kami merasa sehat, kita tetap menjaga jarak. Mematuhi protokol kesehatan dan saling menjaga satu sama lain. Bila perlu, jangan dulu berkunjung pada kami untuk dua atau tiga hari ini.
Kami, sekeluarga, liburan, pulang ke kampung halaman, sekadar mendengar kicauan burung punai. Menatap lambaian dedaunan yang tampak ikhlas berbagi oksigen. Segar. Ini yang kami perlukan.
Oh, kampung halaman. Tempat bertumbuh di masa kecil, teringat ketika berlarian mengejar capung yang berterbangan di balik rerumputan. Mencuri buah sirsak Bapak yang belum masak. Aku punya trik untuk membuat sirsak cepat masak. Pakai cara jadul, diperam dalam lumbung padi. Dua hari sudah bisa dinikmati. Trik jadul tapi ampuh. Ini karena dalam lumbung padi, sirkulasi udara yang pengap dan hangat. Sehingga dapat membantu proses pematangan buah dengan cepat.
Suara babi di kandang milik tetangga, melengking meminta umpan. Merdu sekali. Sudah lama aku tak menikmati suasana ini. Ayam-ayam kampung pun berkeliaran mengais cacing. Aku jadi teringat akan dongeng 'Kisah Persahabatan Ayam dan Elang'. Terbesit dalam tanyaku, apakah ayam masih mencari jarum pemberian elang yang pernah hilang oleh si ayam? Mungkin saja. Sebab, bertahun-tahun kulihat ayam terus mengais meski tak mendapat apa-apa. Hitung-hitungan, kalau dapat cacing tanah, ya dinikmati saja sebagai rezeki bagi si ayam. Teriring doa, agar si ayam segera menemukan jarum yang hilang. Biar persahabatan ayam dan elang tumbuh kembali.
Aku menggeliat tubuh. Terbangun saat mendengar suara kibasan sapu Emak di lantai. Apa lagi Emak sengaja menyibak tirai jendela dengan sekuat tenaga. Terpaksa aku memicingkan mata, berharap kembali terpejam. Namun sudah tak bisa lagi.
“Bangun! Ayo bangun. Bantu Emak beres-beres rumah. Tai cecak berserakan di mana-mana.”
Eh, Emak mungkin lupa. Kalau anaknya ini tak bisa bergerak penuh. Berjalan saja masih tertatih-tatih. Apa lagi jika harus turut membereskan rumah. Apa yang bisa kulakukan? Aku hanya bisa duduk manis dan berhadapan dengan laptop. Menulis sambil meneguk segelas milo hangat. Itu saja. Jika aku bosan, maka aku akan merancang design cover dan menulis quotes lewat sebuah aplikasi.
Teringat tai cicak, memang iya. Sejak aku kecelakaan, Emak ikut kami tinggal di kota. Ia hanya pulang sekali waktu. Itu pun paling lama tiga hari. Setelah itu, balik lagi ke kota. Maka, berpesta pora lah raja dan ratu cecak beserta dengan konco-konconya di dalam rumah ini. Beruntung, tak ada mahkluk bernama curut. Jika ada, bisa masuk perang dunia hewan dan manusia, kami dibuatnya.
“Mak…. Lupa ya kalau anak Emak ini lagi patah kaki?”
“Ingat, kan sekalian ngajak ngopi.”
Oh, iya. Emak selalu ingat kebiasaanku. Meneguk segelas kopi susu segar saat terbangun dari tidur. Benar saja, ketika aku melangkah dengan bantuan tongkat menuju dapur. Segelas kopi susu segar sudah tersedia di atas meja. Emak memang terbaik. Ingin kukecup kedua pipinya, agar ia tahu bahwa aku sangat menyayanginya.
Aku menatap ke sisi rumah. Tepat di sudut perbatasan antara tanah Bapak dan warga lainnya. Menjulang sebuah pohon kelapa yang tingginya hampir melampaui bumbung rumah. Padahal, baru setahun aku tak pulang. Pohon kelapa ini tumbuh dengan cepat.
Ingin kutebang begitu saja, lumayan umbut kelapa ini bisa dimasak dengan campuran kaki ayam. Pasti lezat. Apalagi jika dimasak dengan santan. Beuh.... Mertua lewat pun tak nampak - filosopi orang Dayak ketika menikmati makanan yang sangat lezat.
Tapi, aku mengurungkan niat. Tidak mungkin juga aku tertatih-tatih untuk membabat kelapa yang tak berdosa itu. Aku hanya kesal dengan sang pemilik. Apakah tidak ada logika ketika menanam pohon kelapa di batas tanah kami? Belum berbuah saja, aku sudah membayangkan jika nanti sudah tiba masanya, buah kelapa itu akan berjatuhan tepat di bumbung dapur Emak. Pasti bakal bikin sport jantung, apalagi jika tengah tidur nyenyak. Bisa bersilat di atas kasur karenanya. Ya, nggak apa-apa sih kalau hanya sekadar jatuh dan numpang bunyi di bumbung. Tapi…. kalau ada angin kencang, trus pohonnya tumbang menimpa dapur Emak, gimana? Pikirkan saja sendiri. Nah, kan jadi repot. Emang mau bertanggung jawab?
"Emak! Mak...." aku teriak dari kamar mandi.
"Apa lagi?" Emak sedikit menggerutu karena aku mengganggunya yang tengah asyik nyeruput kopi.
"Tolong ambilkan pispot di sana!" Aku menunjuk tumpukan barang-barang yang kami letakkan begitu saja, belum sempat dibereskan.
"Oh, jadi ini alasanmu bawa pispot dari kota?"
"Ya iya lah, Mak. Kan aku tahu, WC di sini bukan WC jongkok."
Emak menyodorkan pispot padaku. Lucu sih, aku puph-nya jadi nambah kerjaan dua kali. Udah puph-nya di pispot, eh! Dibuang lagi dalam kloset. Hahaha.... Harap maklum, karena kondisi kaki yang masih patah, jadi puph-nya sedikit nyusahin diri. Ya, nggak apa-apa juga sih, ketimbang harus turun ke jamban. Nanti malah buat repot satu RT.
Selesai puph, aku mengguyur tubuh dengan air ledeng. Terasa sejuk, tapi menyegarkan. Ini yang kurindukan. Air ledeng mengalir dari pegunungan di desaku. Bersih, dan tentunya menyehatkan. Kata tetanggaku, ledeng sudah dua minggu tidak mengalir, karena ada perbaikan jalan. Jadi, hemat-hematlah dalam pemakaian air.
Teringat dengan perbaikan jalan, tadi malam kami melintas macam siput. Tak bisa melaju, karena jalanan licin sehabis diguyur hujan. Ruas jalan dari sudut kota menuju kampung halamanku ya begitu-begitu saja. Karena kami melintas di malam hari, jadi tidak terlalu nampak separah apa jalanan itu. Tapi, memang sudah ada tanda-tanda perbaikan. Semoga segera terealisasi.
Dulu, jalanan ke daerah kami penuh lumpur kala musim hujan dan bakalan mandi debu di musim kemarau. Tapi masyarakat tak pernah gentar untuk melintas di jalanan yang kerap seperti kubangan babi itu. Ya, mau bagaimana lagi. Hanya jalan itu akses yang bisa dilewati untuk keluar masuk kota.
Perutku sudah keroncongan. Apa mungkin nematoda dalam usus-ku juga menahan lapar? Mungkin saja. Aku tak peduli, sembari menyelesaikan penulisan cerpen ini, aku menunggu Emak menggoreng tempe dan menumis kelakai. Kelakai atau dalam bahasa latin disebut dengan stenochlaena palustris adalah jenis pakis atau paku-pakuan yang banyak terdapat di hutan Kalimantan. Saking banyaknya, di sisi rumah pun tumbuh dengan subur. Tadi, pagi-pagi sekali Emak turun ke tanah untuk memetik kelakai.
Saat kami makan, suara gerombolan lebah melintas di atas rumah. Merdu sekali. Ini momen langka. Menurut para tetua, jika lebah melintas di langit rumah, maka berkat dan rejeki pun melimpah ruah turun dalam keluarga yang dilintasi. Aku kegirangan, ingin sekali mendongakkan kepala agar bisa melihat gerombolan penebar sejuta manfaat itu. Tapi, urung. Aku tak bisa bergerak cepat. Lagi pula, lebah-lebah itu hanya melintas. Mereka terbang bagai pesawat. Sangat cepat.
"Mama Gei, boleh kah kami ke rumah?"
"Jangan!" Aku membatasi, ketika ponakan-ponakan dan induk eh emak-emaknya ingin bertandang ke rumah.
Rindu. Itu yang terbesit. Tapi harus ditahan. Kami baru saja datang dari kota, meski sehat, tapi tetap harus saling menjaga. Kami perlu isolasi 2 - 3 hari ke depan agar semuanya tetap dalam posisi aman.
Pandemi, terasa muak untuk membicarakan hal ini. Tapi harus tetap waspada. Aku bersyukur, karena kami sekeluarga boleh pulang ke kampung halaman. Menghirup udara segar dan jauh dari keramaian. Hitung-hitungan sekaligus menyegarkan otak yang terisi sekelumit beban selama ini.
"Selamat berlibur Mama Gei!" seru para ponakan-ku memberi semangat.
"Besok-besok kami ke sana untuk jenguk Mama Gei."
Ya, hari ini kita masih terkurung dalam rindu. Meski berdekatan, tetap saja harus berjauhan. Tapi, jika ada yang bertekad datang, kami pun tak bisa menolak. Kata orang tua zaman dulu, tamu adalah raja. Orang yang harus kita layani sedemikian baiknya. Semoga kita semua, tetap dalam keadaan sehat walafiat agar bisa menyambung tali silahturahmi dengan baik.
Kampung halamanku, Juni 2021.