Mengapa Penulis MENGUTIP?
Mengutip, dalam karya nonfiksi, adalah keniscayaan. Hal itu sah sah saja. Asalkan si pengutip taat pada etika dan jujur pada sumbernya.
Menurut KBBI daring. Mengutip kata dasarnya adalah "kutip" yang bermakna: mengambil perkataan atau kalimat dari buku dan sebagainya; memetik karangan dan sebagainya; mengumpulkan dari berbagai sumber.
Menjadi pertanyaan, " Mengapa seorang penulis perlu mengutip sumber lain yang relevan dengan topik yang sedang ditulisnya?"
Dalam menulis, terutama karya akademik, sebaiknya dihindari dua ekstrem yang berikut ini.
Pertama, terlalu takut mengutip. Sedemikian rupa, sehingga tulisan kurang berbobot dan kurang mendapatkan afirmasi. Atau tidak ada contoh-contoh yang kaya dan relevan.
Kedua, terlalu berani mengutip. Sedemikian rupa, sehingga lupa atau tidak mencantumkan sumbernya dengan jelas dan jujur.
Siapa pun penulis. Sesungguhnya, tidak ada yang tidak mengutip. Menulis tidak jauh berbeda dari membangun rumah. Materi dari mana saja, asal cara mendapatkannya halal.
Setidaknya, terdapat enam alasan mengutip.
1) Mendukung gagasan/pendapat penulis.
2) Menambah kredibilitas sesuai bidang/kepakaran.
3) Menyetujui/tidak menyetujui.
4) Membuktikan pemikiran/ temuan itu sudah ada sebelumnya.
5) Memberikan contoh.
6) Jujur pada pembaca.
Jadi, mengutip sah sah saja. Asalkan tahu untuk apa? Dan bagaimana etikanya.
Singkat kata. Mengambil (hanya) satu sumber adalah plagiat. Namun, mengambil dan meramu dari banyak sumber untuk membangun tulisan Anda, bukan merupakan tindak plagiat.
Tulisan ini belum tamat. Baru "mengapa" mengutip. Itu ada 6 sebab. Lain kali ihwal "bagaimana" mengutip.
Tunggu saja tanggal mainnya! Di Web ini.