Batu Ruyud Writing Camp | Berjumpa Pekerja Media dan Literasi Chrys Kelana Kembali (12)
Koinsidensia. Kebetulan belaka. Percayakah Anda dengan itu?
Kalau saya, antara percaya dan tidak. Bertemu (lagi) dengan big brother Chrys Kelana di Rumah Tjilik Riwut Resto & Gallery di Palangka Raya malam itu sungguh menyenangkan. Jangankan bermimpi. Firasat pun tidak.
Sebelumnya, kami sering bertemu di Jakarta. Terutama dalam acara keDayakan. Chrys akrab dengan bapak angkat saya, Aloysius Aloy. Seorang penulis juga, buku anggota DPR-RI semasa Orba itu bertajuk Semangat Dayak. Buku dengan jumlah halaman 176 itu, diterbitkan Penerbit Buku Kompas (2019).
Akan halnya istri Chrys, ia sohib ibu angkat saya, Yulia Aloy Pratiwi. Perempuan wong-solo, ini ketua Yayasan Rindang Banua. Yang sepanjang usianya menikah dengan paman saya yang lahir di Entuma (1941), sebuah kampung kecil belum terdeteksi peta di Kabupaten Sanggau, Kalbar ini, lebih Dayak daripada Dayak.
Buku ini cukup penting. Pendalaman, dan kelanjutan dari riset pustaka dan wawancara yang (pernah) dilakukan Davidson. Saya membacanya dengan tuntas. Lalu mengimbuhi, dengan catatan kritis, sudut-pandang orang luar tentang Dayak yang, kadangkala, dangkal dengan membawaserta vorurteil, "isi kepala" mereka untuk memotret orang Dayak dan perikehidupannya.
Hasil riset Davidson, kemudian diterbitkan oleh Asia Research Institute Working Paper Series No. 9 (August 2003) di bawah judul “Primitive” Politics: The Rise and Fall of the Dayak Unity Party in West Kalimantan, Indonesia”. Publikasi setipis 21 halaman itu, saya mamahbiak dengan cara saksama dan dalam tempo sebisa-bisanya ada waktu untuk itu. Tidak semuanya setuju. Beberapa konten di dalamnya, tafsiran penulis. Harus diluruskan. Sebab meski disebut "sejarah", fakta dan peristiwa masa lampau tidak berdiri sendiri, ia tidak bisa lepas dari si penasfir sebagai pengumpul kisahan.
Tidak selalu pas baju "barat" dengan kita, orang Timur. Maka, literasi serta publikasi orang luar, wajib kita verifikasi. Sekaligus, luruskan: presisi, akurasi, dan kebenaran substansi materinya. Itu tugas kita!
Saya turut serta membidani bukunya itu. Yang saya ingat persis, karena turut membuat proposal, dan membawanya ke Kantor Kompas, adalah bahwa kami diberikan sponsor oleh Jakob Oetama. Dibantu oleh St. Sularto yang baik hatinya. Kemudian, disempurnakan lobinya oleh Robby Sugiantoro. Jumlah sponsornya lumayan juga. Meski buku ini catatan kritis sejarah perjuangan politik (political literacy) Dayak Kalbar. Sesungguhnya, juga perjuangan etnis penghuni asli pulau Borneo itu secara keseluruhan.
Sudah tentu, pertemuan malam itu seperti déjà vu. Chrys Kelana besar nyalinya. Ialah orangnya yang pada 1971 mendatangi P.K. Ojong, Pemimpin Redaksi Kompas. Tanpa malu dan ragu, pemuda "culun" itu pun minta pekerjaan. Tanpa dinyana. Ia diterima sebagai staf administrasi harian Kompas (1971-1973). Kemudian, menjadi Wartawan Kompas (1973-1989). Setelah merasa “cukup” berkiprah di media cetak, ia hijrah ke televisi.
Chrys adalah News Director RCTI (1989-1999). Karena selisih pandangan mengenai kritikan kepada Pemerintah dengan pemilik, ia pun hengkang. Lalu Managing Director Lativi.
Doktrin pertama masuk Kompas Gramedia (saya Oktober 1989) yang dijejal oleh para pendiri Kompas-Gramedia, tak pernah saya lupa. Tentang akurasi dan presisi tulisan. Tapi kebenaran di atas segalanya.
Yang unik adalah bagaimana Chrys bertemu. Dan menikahi anak kandung Tjilik Riwut. Pada waktu meliput kawin kontrak antara seorang pekerja Korea dan warga suku Dayak di Kalimantan selama tiga bulan untuk dibuat feature. Ia Anastasia Ratna Hawun Meiarti. Teman kuliahnya di Universitas Atma Jaya, Jakarta itu langsung ia “tembak”. Dan mengajaknya menikah. Chrys adalah ayah dua anak.
Setelah 16 tahun jadi wartawan Kompas. Chrys terpanggil untuk berkiprah di televisi saat RCTI mulai mengudara, 1988. Oleh Peter F. Gontha, pemilik RCTI, Chrys ditawari masuk RCTI. Chrys membuat acara berita Seputar Indonesia. Yang kita ketahui bersama, saat itu, adalah mataacara yang ngetop banget. Dan yang paling ditunggu-tunggu pemirsa.
Mestakung -alam semesta mendukung. Sekali lagi. Lagi-lagi sekali. Apakah kebetulan belaka, sesama pekerja-kata, pegiat literasi, bertemu dalam satu meja hidangan?
Sop iga sapi favorit saya di Resto itu. Mau tahu kekhasannya? Mina Ida bilang, salah satu bumbunya, "Dicampur daun kedondong muda."
Saya saksikan di mangkok, di antara iga dan tulang. Helai-helai daun kedondong telah layu, lembut. Itu rupanya yang bikin nafsu makan menggelora. Ada asem asemnya sedikit. Dan daging iga sapi jadi lembut juga.
Sembari menikmati gizi menu di Resto itu. Kami ngobrol ngalor ngidul. Tapi dengan Chrys Kelana. Obrolan tak lekang dari topik literasi. Tentang bagaimana kami mewarnai dunia ini, dengan cara kami. Sebisa yang kami dapat lakukan. Tanpa pernah mengusung ayat-ayat. Seperti Kompas Gramedia (KG), mater et magistra nostra est (induk dan guru kami semua). Tapi semata-mata demi kemanusiaan dan kebaikan umum.
Memang asyik berkisah. Sekaligus bernostalgia bersama generasi pertama Kompas-Gramedia. Api literasi, yang menjadi "kompas", pemandu arah jalan kami berliterasi telah pun semacam ditandai dengan stigma ini.
Pertama, sebelum kamu menulis, pikirkan: apakah yang kamu tulis itu BENAR?
Kedua, jika Benar, apakah hal itu BAIK?
Ketiga, jika Baik, apakah hal itu BERGUNA?
Hingga kini. Doktrin pertama masuk Kompas Gramedia (saya Oktober 1989) yang dijejal oleh para pendiri Kompas-Gramedia, tak pernah saya lupa. Tentang akurasi dan presisi tulisan. Tapi kebenaran di atas segalanya.
Adalah Alfons Taryadi, Adisubrata, dan Jakob Oetama yang langsung jadi mentor dan guru literasi saya.
Dan masih segar dalam ingatan saya, hingga hari ini. Alfons pemimpin yang bukan saja pintar, melainkan bijaksana. Mungkin satu buku nanti kisahan "pertemuan" saya dengan penulis buku tentang buku itu. Namun, cukup satu, eh dua, saja saya kisahkan di sini.
Pertama, ia penulis buku bermutu dan penting: Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Ropper (Gramedia Pustaka Utama, 1989). Buku ini bikin mengkerut dahi pembaca awam. Namun, santapan intelektual penuh gizi bagi para pencari ilmu.
Kedua, Alfons, ketika Direktur Utama Penerbitan, yang meminta saya riset setuju/ tidak setuju 5 hari kerja diberlakukan di Kompas-Gramedia. Saya ingat. Karena mendukung gagasan itu, saya sebar kuesioner kepada karyawan yang mendukung. Tahu saja hasilnya? Dari situ, saya mafhum: statistik tidak netral!
Itulah sejumlah pengalaman sekolah-kehidupan di KG. Banyak pelajaran kami dapatkan. Chrys Kelana, yang lebih dulu masuk, 1971, apalagi. Pasti lebih KW dibandingkan saya yang masuk KG belakangan. Selisih hampir dua dekade.
Saya haikul yakin. Chrys Kelana dobel guru-besar literasinya. Selain langsung Ojong dan Jakob, ia menantu Tjilik Riwut.
Dan saya renung-renung. Bukankah "Doktrin" para pendiri Kompas-Gramedia. Yang menitis. Dan mendarah daging pada saya. Tidak juga revelan bagi komunitas "rumah panjang" Ytprayeh.com ini?
Tidakkah pondasi, dan spirit berliterasi. Yang menjunjung tinggi akurasi, presisi, dan keBENARan itu pas untuk kekinian Batu Ruyud Writing Camp?
(bersambung).