Literasi

Manusia Masker

Sabtu, 26 Februari 2022, 10:09 WIB
Dibaca 634
Manusia Masker
Tatanan kehidupan di dunia berubah drastis sejak hadirnya makhluk kecil yang bernama Covid19

Tanjung Selor, sebuah ibukota kecil yang berada di Provinsi Kalimantan Utara adalah sebuah daerah yang masih menyimpan nuansa hijau pepohonan dengan lingkungan alami yang masih bertahan. Entah sampai kapan nuansa itu akan terhindar dari gangguan gejolak pembangunan demi mengejar sesuatu yang disebut dengan perkembangan.

Namun siapa sangka, daerah yang masih memiliki lingkungan alami yang masih kental akan tradisi tidak luput dari serangan makhluk kecil yang paling dibenci masyarakat dunia untuk masuk ke Indonesia yaitu Covid19. Saat  perbatasan tanah air dan negara tetangga sedang diantisipasikan untuk segera  Lockdown, makhluk kecil itu dengan santainya diam-diam melewati penjagaan ketat dan mulai membuat kemah liburan yang merugikan sekaligus membuat peradaban baru yang merusak tatanan peradaban yang sudah ada.

 “Kriiiinnggg...” bunyi yang sama dan kudengar setiap harinya menggetarkan tulang martil kecilku, memaksaku untuk membuka mata dan meninggalkan pertarungan yang hampir saja kumenangkan di alam mimpi. Ingin rasanya kubanting benda bulat itu tapi ku urungkan niatku karena aku tak ingin kehilangan lonjakan semangat untuk mengawali hari ini. Dan alarm, kau kembali memenangkan taruhan dengan membangunkanku pagi ini.

Kegiatanku hari ini hanya mengikuti alur yang sama yang biasa kulakukan. Tak ada yang berubah. Mulai dari adegan saat kubangun, hingga menutup pintu. Hanya itu-itu saja. Terkadang hal ini membuatku bosan. Sungguh, tak ada cara lain agar aku terhindar dari aktivitas-aktivitas tersebut, kecuali menambah jam tidurku untuk melaksanakan ritual liburan yang jarang-jarang bisa kudapatkan selain pada situasi yang sedang genting seperti saat ini. Dan itu benar-benar tidak sehat bagi tubuh. Terjaga karena menonton tayangan drama korea yang tak ada habisnya hingga larut malam. Terbangun dengan kaki di atas dan kepala di bawah, sama juga tidak sehatnya. Mungkin sebagai pelarian, berkebun sepertinya akan mulai kuminati.

“Kriiinnggg...” dering ponsel yang kupikir bunyi alarm yang terus-terusan mengganggu hidupku terdengar memekakan telinga. Oh...ternyata panggilan seluler dari Bu Bos yang sering memberiku banyak pekerjaan pada hari-hariku sebagai sekretaris di kantor. Hmm…kali ini apa yang akan dia berikan padaku disaat libur seperti ini? 

“Halo, Bu Wenny! Selamat Pagi! Ada kabar apa ya Bu?” sapaku.

“Oh, Hai! Pagi, juga? Hari ini kamu libur kan?” balasnya diiringi pertanyaan yang membuat keraguan tidak mendapatkan pekerjaan hancur. Sudah kuduga.

“Iya, memangnya ada apa yaa Bu?” tanyaku kemudian.

“Hari ini akan ada kunjungan dari perusahan lain dan akan meeting kerja sama, saya harap kamu hadir ,” katanya memberi kabar yang menghancurkan harapanku untuk bersantai ria dihari ini.

“Meeting? Di situasi seperti ini?  Bukannya dilarang untuk melakukan perkumpulan? Kenapa tidak virtual saja Bu?” aku mencoba mengelak.

“Sudah, jangan banyak tanya. Datang aja, ya!” ucap Bu Wenny mengakhiri pembicaraan. 

Hatiku mulai dipenuhi rasa penasaran. Pertanyaan mulai bermunculan di dalam otakku. Apa yang telah aku lakukan? Apakah aku telah melakukan kesalahan sehingga harus dipanggil ke Kantor. Padahal, kondisi sekarang ini sedang mencekam karena ulah teroris Corona yang bertujuan untuk mengambil-alih kota. Dan aku, harus pergi keluar melewati zona merah ditengah perang yang sedang berkecamuk? Ah yang benar saja..!

Dari pada menduga-duga hal yang tidak jelas kepastiannya, akhirnya kuputuskan untuk menemui Bos. Sudah ribuan kali aku merasakan bagaimana sifat itu ia tunjukkan di hadapanku. Aku tak tahu, apakah ini merupakan suatu ketegasan untuk menegakkan kedisplinan atau memang sudah merupakan bagian dari karakter kepribadiannya. ”Ya sudahlah daripada harus diberhentikan dengan tidak hormat dari tempat di mana aku menimba penghasilan,”pikirku.

Waktu menunjukan pukul 06.30, dan aku harus memasukan kartu absen pukul delapan pagi ini. Aku menghela napas lalu segera beranjak dan menutup pintu rumah. Tak lupa  membawa peralatan wajib yang harus digunakan saat ini, masker, sarung tangan, dan handsanitizer. Yah, aku tak mau kehilangan teman-teman di kantor yang  menjauh dariku hanya karena tak memakai masker. Itu  sangat menyebalkan apalagi pada saat aku sedang membutuhkan bantuan mereka. Bahkan masker tak pernah lupa ku pakai saat bekerja dikantor maupun saat ku keluar rumah kemanapun. Masker tak pernah lepas dari wajahku kecuali saat aku hanya berdiam diri dirumah.

Aku berjalan menelusuri trotoar yang kelihatan agak lebih lebar dari biasanya. Nampaknya para pejalan kaki di sini sedikit berkurang karena lebih memilih rebahan di atas kasur daripada jalan-jalan tak jelas dengan resiko tinggi. Jalan raya yang sebelumnya padat dengan kendaraan yang berjarak kurang dari 2 meter bahkan tanpa jarak pada jam-jam sibuk, sekarang kulihat jarak antar kendaraan mencapai 10 sampai 15 meter. Dan  lampu lalu lintas merah kesepian,  tak ada hingar bingar bunyi klakson ataupun omelan-omelan penuh emosi dari para penunggunya hingga berubah menjadi hijau. Sungguh hari yang sangat sepi  dan tenang. I realy love it!

Setelah berjalan beberapa blok dari rumah, kulihat café  terbuka tempat  nongkrong anak-anak muda  nampak ramai oleh pengunjung yang merupakan pembeli tetap ataupun hanya sekedar nongkrong-nongkrong saja. Tanpa menggunakan masker ataupun pelindung lainnya, mereka dengan bebas asyik mengobrol dan bercanda, tertawa-tawa. Sungguh, aku tak mengerti apa yang ada di pikiran mereka. Himbauan dan peringatan besar-besaran dari pemerintah hanya dijadikan hiburan, sementara sanksi tegas dijadikan sebagai tantangan. Benar-benar membuatku tak habis pikir!. Aku terus berjalan melewati kerumunan yang menatapku dengan pandangan ganjil, seakan aku ini orang paling aneh sedunia. Mereka mulai berbisik-bisik dan ada pula yang dengan sengaja mengencangkan volume suaranya agar terdengar olehku.

“Lebay!” kata seorang pemuda dengan senyum sinisnya. Aku hanya melirik sekilas. 

“Paling mukanya jelek tuh sampe-sampe ditutupi kayak gitu?” ucapnya diiringi tawa teman-temannya.

“Eh jangan begitu, siapa tau wajahnya sensitive kayak wajah aku!” ujar seorang gadis muda yang ada di depannya.

“O ya? Kok maskernya gak dipake?” tanya yang lain.

“Aku pake maskernya malam, masker bengkuang. Biar gak jerawatan, hi hi hi… katanya cekikikan.

“Ha...ha...ha..lagian ribet amat pake gituan segala. Orang-orang seperti kita yang penting bisa makan kenyang dan usaha  lancar beres deh. Gak usah mikirin virus corona-corona!” tambah pria bertubuh tambun menatapku dengan pandangan mengejek. Aku hanya menghela nafas. Dengan sikap tak peduli,  kupercepat langkah kaki ku.

“Sudahlah, Mell, kau tak perlu pedulikan omongan orang-orang gila itu! Fokus saja pada pekerjaanmu!” gumamku dalam hati. Setelah ku menunggu beberapa menit di trotoar jalan, tak lama kemudian angkot yang setiap harinya berjalan-jalan mengelilingi jalanan kota berhenti di hadapanku. Pintu terbuka dan aku pun masuk ke dalam angkot, kudapatkan kursi kosong. Kosong dari orang dan kosong dari tanda silang merah sebagai tanda larangan untuk diduduki  guna mengurangi setengah jumlah tempat duduk di transportasi publik dalam rangka pelaksanaan program pemerintah yang disebut  Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB. Dan selebihnya, hal ini dapat mengurangi peluangku untuk berdesakan saat menaiki angkot pada jam-jam sibuk. Namun, jika aku telat sepersekian menit saja akan mengakibatkan aku tertinggal karena jumlah penumpang tidak boleh melebihi kapasitas.

Memasuki area perkantoran beberapa petugas keamanan siap dengan peralatan lengkapnya menunggu di balik pintu. Menyambutku dengan Alat Pelindung Diri lengkap.  Masker, Handsanitizer, dan Disinfektan tak luput di samping mereka. Sebelum masuk ruang perkantoran, tiap orang yang datang dipersilakan untuk membersihkan tangan di wastafel  dekat meja administrasi. Layaknya seorang bodyguard mereka mengawasi tiap orang yang datang dan tak segan–segan menegur setiap orang yang tidak patuh.

 “Oke, Sudah bersih?” tanyaku memastikan sambil menunjukan kedua tanganku.

“Ya...silahkan, masuk!” ucap salah seorang petugas mengangguk memberi hormat.

Sebenarnya aku agak canggung dengan perlakuan seperti ini. Namun demikian , aku  sangat mengapresiasi tindakan mereka karena dalam menegakkan peraturan memang diperlukan ketegasan. 

Ketika beberapa langkah dari batas tangga, seseorang menghampiriku dengan kecemasan luar biasa tergambar di wajahnya.

“Selamat pagi Bu Wenny!” sapaku tersenyum dan mengangguk tanda hormat.

“Owh, kamu. Mari, ikut saya!” ujarnya, akupun beranjak mengikutinya.

“Yahh...istirahat juga belum, masa harus langsung kerja sih?” gerutuku dalam hati.

Bu Wenny pun langsung menuju ruang pertemuan. Hmm..pasti membahas keuangan. gumamku tersenyum senang membayangkan bonus uang jutaan. Ketika pintu terbuka, nampak Pak Dani sudah menunggu di sana. Aku jadi malu, segera kutepis segala pikiran yang hinggap dibenakku. Pejabat tinggi perusahaan itu  mendahuluiku memasukkan kartu absen di mesin pemindai sidik jari seketika meruntuhkan keangkuhan dan kesombonganku dan membuatku merasa bahwa aku bukan apa-apa. Dia, orang hebat dan masih setia untuk merelakan waktunya bersama kesuksesan untuk tetap menjadi orang yang produktif. 

“Selamat Pagi!” sapaku merendah dengan senyuman lebar berharap dia bisa memaafkan kesalahanku.

“Pagi! Silakan duduk!” jawabnya dengan sedikit penekanan pada suaranya. Kuharap, itu bukan karaena aku melakukan kesalahan.

“Kita akan mengadakan rapat penting dengan perusahaan saingan kita untuk melakukan kerja sama. Situasi ditengah Pandemi ini membuat setengah dari pegawai mereka akan di PHK. Saya sendiri belum tahu kesepakatan apa yang akan kita buat tapi kita akan menyambut kunjungan mereka setelah itu baru kita bahas maunya mereka apa” Pak Dani menjelaskan tujuan dipanggilnya aku untuk  masuk kantor ketika aku sedang menikmati rebahan santai di rumah.