Ketika Para Penulis Merdekakan Indonesia
“Menulis itu suatu kegiatan menuju keabadian.”
Kira-kira begitulah kalimat sakti yang amat saya percayai, tentang menulis.
Dalam bahasa Latin dituangkan dengan pepatah indah “verba volant scripta manent”. Semua yang diucapkan hilang ditelan angin, sedangkan yang ditulis akan abadi.
Namun ternyata, bukan sekadar keabadian yang didampakkan oleh kegiatan menulis. Lebih jauh, lebih besar, dan lebih mulia daripada itu. Para pendahulu kita, pejuang kemerdekaan Indonesia, menyadari betul dampak tulisan. Dampak keabadian iya, dan kita sudah membuktikannya. Karya-karya para pahlawan kemerdekaan masih bisa kita baca sampai sekarang. Mungkin sampai nanti. Mereka abadi. Dampak lainnya adalah kemerdekaan itu sendiri. Mereka berjuang melawan penjajah, bukan hanya dengan senjata bambu runcing, pedang, atau senapan dan meriam, melainkan juga dengan senjata pena: tulisan. Tidak salah jika ada pujangga yang berkata, “Ujung pena lebih tajam dibanding peluru.”
Tentu saja, mereka bukan hanya sebagai penulis. Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Penulis buku yang baik, pasti pembaca buku yang baik. Dan pecinta menulis, pasti juga pehobi membaca. Mereka, para pejuang kemerdekaan, adalah para pecinta menulis sekaligus pecinta buku.
Para pejuang itu, dulu benar-benar menulis dengan pena. Dengan ujungnya. Kadang menggunakan ujung kayu atau bambu yang diruncingkan lalu dicelupkan ke dalam tinta. Bukan dengan mesin tik atau komputer dan laptop. Dulu, menulis adalah juga suatu proses perjuangan. Dalam arti harfiah dan makna kiasan. Tidak mudah menulis pada masa itu. Banyak keterbatasan baik dari sisi peralatan, media penyampai, maupun situasi dan kondisi sosial politik.
Dr. Wahidin, H.O.S Cokroaminoto, Soekarno, Hatta, Ahmad Soebardjo, Ki Hajar Dewantara, Tan Malaka, Agus Salim, Kasman Singodimejo, S.K. Trimurti, K.H. Hasyim Asy’ari, Abdurrahman Baswedan, Tirto Adhi Soerjo, dan banyak lagi pejuang kemerdekaan yang rajin menulis. Pemikiran-pemikiran cemerlang mereka, dituangkan dalam tulisan melalui media massa dan juga buku. Sebagian besar pemikiran mereka jauh melampaui masanya. Menandakan sang penulis berwawasan luas, intelektual memadai, dan punya visi jauh ke depan. Indonesia sungguh beruntung memiliki para cendekiawan sekelas mereka. Cendekiawan sekaligus pejuang, karena hidup pada dasarnya adalah berjuang, seperti isi buku yang ditulis oleh Kasman Singodimedjo.
Soekarno dan Hatta sudah menulis sejak usia belasan. Bung Karno sejak usia 17 tahun dan Bung Hatta sejak usia 16 tahun. Karya-karya mereka dimuat di berbagai media massa pada eranya. Isinya tajam, bernas, dan berisi perjuangan orang Indonesia sebagai suatu bangsa. Soekarno menghasilkan ratusan artikel dan lebih dari 5 buku, sedangkan Hatta tidak kurang menghasilkan 10 judul buku (kumpulan dari 800 artikel). Hatta juga menulis sendiri kisah hidupnya dalam bentuk autobiografi.
Buku Karya Bung Karno
Indonesia Menggugat
Di Bawah Bendera Revolusi
Mencapai Indonesia Merdeka
Sarinah
Islam Sontoloyo
Buku Karya Bung Hatta
Untuk Negeriku: Autobiografi
Kebangsaan dan Kerakyatan
Kemerdekaan dan Demokrasi
Perdamaian Dunia dan Keadilan Sosial
Keadilan Sosial dan Kemakmuran
Sumber Daya Ekonomi dan Kebutuhan Pokok Masyarakat
Gerakan Koperasi dan Perekonomian Rakyat
Filsafat, Ilmu, dan Pengetahuan
Agama, Pendidikan, dan Pemuda
Renungan dan Kenangan
Surat-surat
H.O.S. Cokroaminoto adalah orang paling berpengaruh dalam pendidikan kepemimpinan Bung Karno. Dialah orang pertama yang memotivasi Soekarno untuk menguasai menulis dan berbicara sebagai keterampilan utama seorang pemimpin. Jangan heran, jika Bung Karno kemudian berani menulis dan mengirimkannya ke media massa sejak usia 17 tahun. Cokroaminoto sendiri menulis beberapa buku berisi pemikiran-pemikiran strategisnya tentang Islam dan sistem sosial politik global. Buku “Islam dan Sosialisme” karya H.O.S. Cokroaminoto masih menjadi salah satu rujukan penting sampai sekarang.
Tidak mudah membayangkan bagaimana dalam kondisi amat terbatas saat itu, mereka mampu mencurahkan pemikiran yang amat berbobot dan cemerlang. Pasti mereka mendapatkan asupan bergizi berupa bahan bacaan atau buku bermutu. Dalam kondisi serba terbatas, para pejuang bangsa bisa mendapatkan bahan bacaan yang memadai.
Cikal bakal perjuangan bangsa melalui tulisan diinisiasi oleh dr. Wahidin Soedirohusodo. Dialah yang mendirikan majalah Retno Dhoemillah pada tahun 1885, yang menjadi wadah perjuangan kemerdekaan melalui tulisan. Beberapa cendekiawan mengirimkan tulisan tentang hak-hak pribumi melalui majalah tersebut. Tentu saja, dr. Wahidin pun menulis banyak artikel tentang kemerdekaan Indonesia, sehingga kita kini mengenalnya sebagai tokoh kebangkitan nasional yang dirintisnya melalui organisasi Budi Utomo bersama dr. Sutomo.
Perjuangan melalui tulisan semakin meluas. Apalagi setelah berdirinya Budi Utomo pada 1908 itu. Sebagian dari mereka memang dikenal sebagai wartawan atau pengelola media massa. Misalnya S.K. Trimurti dan Agus Salim. Tentu saja, tulisan-tulisan mereka berserak tentang antikolonialisme. Topik yang amat berisiko buat mereka saat itu. Penjara menjadi hadiah atau diasingkan sebagai bonusnya. Mengikuti jejak Ratna Doemillah, lahir media-media lain di berbagai daerah. Di Cianjur Jawa Barat, hadir media Soenda Berita pada 1903, lalu pada 1907 muncul media Medan Prijaji di Bandung di bawah kepemimpinan R. M. Tirto Adi Soerjo.
Nama lain yang tidak bisa tidak untuk disebut sebagai pejuang yang juga punya pemikiran cemerlang melalui tulisan adalah Tan Malaka. Tokoh yang sampai sekarang masih menjadi kontroversi. Meski demikian, pemikiran dan karya tulisnya tidak bisa diabaikan begitu saja. Beberapa kalangan menyebut karya-karyanya sebagai monumental. Lima buku utama karya Tan Malaka adalah Naar de Republiek Indonesia, Madilog, Dari Penjara ke Penjara, Aksi Massa, dan Gerpolek (Gerilya, Politik, Ekonomi).
Buku “Naar de Republiek Indonesia”, terbit pada 1925 tiga tahun sebelum deklarasi Sumpah Pemuda. Buku ini berisi tentang rancangan bentuk negara Indonesia yang menunjukkan betapa visioner sang penulis.
Tulisan-tulisan para pejuang kemerdekaan baik melalui media massa maupun buku, berperan sangat penting dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Perjuangan bukan hanya melalui aksi angkat senjata melainkan juga dengan mengangkat pena. Mereka sudah membuktikannya. Dengan modal pengetahuan yang diperoleh dengan proses membaca (terutama melalui buku), menuangkannya sebagai gagasan dalam bentuk tulisan, yang mampu menembus dinding-dinding tebal yang tak bisa dihancurkan peluru. Isi tulisan mereka sangat tajam, sehingga menghunjam rasa dan pikir terdalam para penjajah saat itu.
Bagaimana dengan kita sekarang?
Berapa banyak buku yang Anda baca setiap bulan?
Berapa banyak gagasan yang Anda tuangkan dalam tulisan?
Kita tidak sedang berjuang memerdekakan Indonesia dari penjajahan.
Kita sedang melanjutkan perjuangan mereka, karena kemerdekaan harus diisi serta dipertahankan.