Literasi

Segelas Kopi di Malam Hari

Senin, 16 Mei 2022, 21:32 WIB
Dibaca 1.588
Segelas Kopi di Malam Hari

Dulu, aku tak suka minum kopi. Bau kopi membuatku mual. Aku bahkan hampir muntah saat ayahku membuat kopi untuknya. Setelah aku mengaku tak kuat minum kopi apalagi mencium aromanya, ayah beralih suka minum teh tiap pagi. Syukurlah! Batinku dalam hati.

Orang suka sekali minum kopi di malam hari. Mereka dengan bangganya membawa segelas kopi dari kedai ternama sebagai bentuk eksistensi diri. Kopi yang begitu kata teman kantorku seperti gaya hidup orang kota. Mereka tidak kecanduan kopi. Mereka hanya kecanduan gaya hidup. Basi, pikirku.

Waktu kian berlalu, Aryo pun selalu mengajakku untuk pergi ngopi, walaupun ia tahu bahwa aku bukanlah penikmat kopi. Setiap ia memesan kopi ia selalu memintaku mencicipi kopi tersebut hingga suatu hari ada rasa kopi yang membuatku tertarik dan suka. Kopi Susu dari Kedai "Kattara Kopi", Aroma dan rasa kopi yang tidak terlalu strong dan tidak membuatku begadang hingga larut malam. Sejak saat itu aku mulai menyukai kopi.

****

Sama seperti malam sebelumnya, aku kembali ke tempat ini, duduk di kedai kopi yang tidak terlalu jauh dari pusat kota dengan tujuan yang sama. Mencari sebuah inspirasi di malam hari untuk menulis artikel. Beberapa menit berlalu, tidak ada yang aku lakukan selain memesan minuman kesukaanku. Hujan yang turun tiba-tiba membuat suasana malam ini sangat cocok digunakan untuk ngopi. Segelas kopi, teman yang selalu setia menemani di setiap malam. Rasanya memang tidaklah nikmat jika nongkrong bersama saat malam tanpa ditemani segelas kopi. Ada yang bilang di dalam sebuah rasa kopi terkandung sebuah perasaan nikmat yang dapat dirasakan setelah bekerja seharian.

Tapi pernahkah kamu merasakan kopi tanpa ada sesuatu yang kamu kerjakan hari itu? Hanya rasa kopi saja yang kamu rasakan tanpa adanya makna mendalam yang kamu dapat pikirkan.

Dulu, kami sama-sama menerima konsekuensinya. Tapi sekarang, mengapa tinggal aku sendiri yang merasakan pahitnya kopi? Apa karena hanya aku dulunya yang tidak suka dengan kopi?

Tapi, waktu itu dia berhasil meyakinkanku jika rasa pahit dari kopi adalah sebuah keharusan, sebuah konsekuensi yang harus dinikmati untuk bisa merasakan esensi dari filosofi kopi yang selalu dia percayai.

"Sebuah sisi pahit yang tidak bisa disembunyikan namun akhirnya terasa manis jika kita menikmatinya dengan keikhlasan"

Lambang cinta paling ikhlas dalam hidup, itu katanya dulu.

Tiba-tiba Aryo meletakkan sesuatu di depanku. Ketika aku mendongak, dia sudah terlihat serius menaburkan bubuk kopi diatas papan kotak berwarna putih itu. Entah apa yang ingin dia lakukan, tapi tangannya terlihat terampil menaburkan dan mengusap serbuk kopi diatas papan hingga membentuk sebuah gambar.

“Kamu tahu, Nai …. Kenapa aku suka banget sama kopi?” Tanya Aryo masih fokus pada serbuk kopi didepannya. Aku hanya menatapnya bingung.

“Entahlah, mungkin karena rasanya,” jawabku seadanya.

“Bukan hanya karena rasa. Tapi, esensi dan filosofinya,”
“Maksudnya?”
“Selain rasa dari kopi yang nikmat dan aromanya yang memikat, menurutku kopi selalu memiliki daya tarik sendiri bagi peminumnya dan setelah belajar meracik kopi sendiri, rasanya aku menemukan sebuah filosofi.”

“Filosofi apa?” Tanyaku tanpa penasaran. Karena sebenarnya aku tidak tertarik dengan kopi. Namun sayangnya, jika sudah berbicara mengenai kopi, Aryo bisa bicara panjang lebar hingga membuatku bosan.

“Filosofi kopi yang aku dapat saat meraciknya. Aku selalu berpikir, bagaimana aku bisa menyeimbangkan takaran kopi, gula dengan air agar bisa menghasilkan seduhan kopi yang enak sempurnanya. Tapi, setelah beberapa kali kamu nyoba kopi buatanku, aku sadar sesuatu …”

“Kesempurnaan rasa dalam kopi tidak akan bisa aku buat. Karena bagaimana pun aku ingin menyembunyikan pahitnya kopi agar kamu mengakui kopi buatanku enak, aku tetap tidak bisa. Hari itu kamu justru berkata, kopi buatanku semakin tidak enak sebab rasa manisnya terlalu legit hampir-hampir jadi pahit. Lalu apa kamu ingat apa yang kita bicarakan tempo hari tentang kesempurnaan?”

“Ya, aku ingat. Kesempurnaan adalah hak mutlak yang hanya dimiliki Tuhan. Semakin kamu mengejar kesempurnaan, maka kamu tidak akan puas dengan apa yang diberikan Tuhan. Jatuhnya jadi tidak ada rasa syukur dan keikhlasan dalam hidup,” jawabku dengan tenang. Dari arah samping, aku melihat ekspresi wajahnya yang tersenyum.

“Setelah mendengar perkataanmu hari itu, aku berpikir, jika aku tetap mengejar kesempurnaan dalam meracik kopi, aku tidak akan bisa membuat kopi yang pas untuk kamu. Jadi ….” Ucap Aryo kembali menggantung.

Aku hanya memutar bola mata malasku. Hari ini dia sudah menjadi seperti seorang barista yang sepanjang hidupnya hanya melakukan penelitian dan percobaan meracik kopi.

“Kamu bisa tidak, bicaranya jangan muter-muter? Intinya aja gitu loh, biar aku paham,” ujarku tanpa dihiraukan oleh Aryo.

“Ya, ya, ini intinya. Jadi, hari ini ketika aku membuatkan kopi lagi untukmu, aku membiarkan tanganku bergerak mengikuti instuisi saat meracik kopi tanpa ingin membuatnya sempurna lagi. Aku hanya ingin membuat kopi terbaik untuk sahabatku dengan sungguh-sungguh dan inilah hasilnya, hari ini ekspresi wajah kamu menunjukkan kopiku terasa nikmat,”

“Kenapa kamu bisa yakin aku merasakan nikmatnya kopi buatmu hari ini?” Tanyaku sembari melihatnya.

“Kenapa ya? Aku yakin aja. Walaupun kamu tidak suka kopi dan selalu bilang kopi yang aku buat rasanya sama, tapi kamu tetep minum kopi buatanku kan? Kamu mau minum kopi dan menahan rasa pahitnya agar aku tidak kecewa. Lalu, hari ini kamu menikmati kopi itu tanpa berkomentar seperti hari-hari sebelumnya karena kamu ikhlas meminumnya untuk temanmu. Dan ada satu hal lagi yang ingin aku katakana padamu, Nai,”ucap Aryo dengan serius.

Jantungku langsung berdetak-detak tak karuan saat melihatnya. Namun aku tetap diam menunggu apa yang ingin dikatakan olehnya.

“Aku hanya akan mengatakan ini sekali, jadi kamu harus mendengarkannya. Sisi pahit dalam kopi akan selalu ada. Sebab yang namanya kopi pasti ada pahitnya. Jadi, jangan membenci rasa pahit. Karena hidup itu esensinya ibarat secangkir kopi yang ada rasa manis pahitnya. Hal ini terjadi pada kehidupan semua orang. Maka dari itu, kopi selalu memberikan variasi rasa yang berbeda bagi setiap peminumnya. Itu tergantung bagaimana cara meracik dan menikmati kopinya. Semakin kita ikhas dan bersyukur, kehidupan ini akan terasa nikmat, sama seperti saat menyesap kopi, selama bisa menahan rasa pahit kopi, semuanya akan terasa nikmat,” tutur Aryo menjelaskan.

Aku hanya diam, ternyata hanya itu yang ingin dia katakana? Aku kira tentang apa? Lagi-lagi tentang kopi. 

****

2 tahun kemudian ...

Setelah aku menyelesaikan studiku di luar, aku kembali ke kotaku. Tidak ada yang berubah, suasana yang masih tetap sama. Aku menulusuri jalan di malam hari. Aku kembali mendatangi kedai kopi tempat dimana aku dulu sering diajak Aryo ngopi.

Aku pun memesan kopi favoritku,  tak lama kemudian seorang barista datang menghampiriku. Dia mendorong secangkir kopi panas yang masih penuh kearahku, kemudian menuliskan sesuatu di stiky note itu dan memberikannya padaku.

‘Cobalah kopi itu dan jadilah orang pertama yang aku layani di kedai ini.’
Napasku terasa tercekat di tenggorokan setelah membaca tulisan itu. Aku menatapnya dengan lekat, laki-laki yang dihadapanku ini tidak berubah.

“Aku senang kamu datang kesini. Aku kira, setelah kamu dan Dea pergi malam itu dan tidak menghadiri peresmian kedai ini, kamu tidak akan pernah datang kesini. Tapi, harusnya aku sadar, kamu akan tetap datang karena kamu adalah satu-satunya orang yang peduli padaku melebihi siapapun hingga kamu tidak bisa mengabaikan permintaanku, benar? Jadi, apa kamu tidak ingin mencoba kopi buatanku secara resmi? Kali ini, aku jamin rasanya enak,” ucapnya dengan tenang.

Kupandangi dia seraya meraih cangkir kopi itu. Satu tegukan, dua tegukan, tiga tegukan, kopi ini terasa sama seperti dulu, tetap manis dan ada sedikit pahitnya.

“Gimana? Enak?”

“Tidak berubah, masih sama seperti dulu,” jawabku singkat kemudian meletakkan secangkir kopi yang masih setengah itu di meja. Dia menatapku sambil tersenyum.

“Itu yang ingin aku katakan. Dulu, aku lupa memberitahumu tentang ini. Kopi akan selalu habis, tapi jika kamu menyeduhnya lagi, pahitnya akan tetap sama, tidak akan pergi. Sama seperti saat kita ngopi bersama, isi cangkir kopi bisa habis kapan saja, tapi canda tawa kita tidak akan pergi, tapi tersimpan dalam kenangan dari secangkir kopi,”

“Begitu ya? Jika kenangan itu tidak pergi, lalu dimana Dea saat ini?”
Dia menunjuk dua orang yang duduk di depan bar tender yang sedang melihat kearah kami sambil tersenyum.

“Dea sudah menikah. Lalu, bagaimana kalau kita juga?” Ucapnya dengan tenang sambil menggenggam tangan kananku. Aku tertegun, perkataan Aryo terlalu ambigu. Terlalu lama mencerna kata-katanya, aku sampai tidak sadar Aryo sudah menyematkan cincin di jari manisku.

Aku menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca kemudian memeluknya dengan sangat erat.

Akhirnya, aku menemukanmu, kisah lama itu ternyata tidak pernah pergi. Dan hari kamu telah membuktikan bahwa kopi memang lambang cinta paling ikhlas dalam hidup.

Ketika masa lalu bisa kau kendalikan, tetapi tidak untuk masa depan.

Siapa sangka aku membencinya di masa lalu? Kini aku mencintainya hanya karena aroma kopi di malam hari. Kau bisa tentukan apa yang kau suka dan tidak suka, tetapi kau tidak bisa membohongi takdir saat itu sudah digariskan padamu.

Tags : literasi