Persoalan Literasi Berakar pada Persoalan Langkanya Buku Anak
Banyak pihak yang mempercayai begitu saja bahwa orang Indonesia tidak suka membaca. Bahkan sering-sering mereka ini mengutip sebuah data yang konon katanya hasil penelitian sebuah Lembaga Internasional yang bergengsi. Data tersebut – yang tak jelas kebenarannya mengatakan bahwa hanya 1 dari 1000 orang Indonesia yang gemar membaca. Benarkah demikian? Mungkin benar. Entahlah. Tapi memang harus diakui bahwa tingkat literasi kita di bidang baca tulis memang sangat rendah.
Dari pergaulanku di bidang literasi, khususnya dengan anak-anak sekolah (SD dan SMP) sejak tahun 2005, saya menemukan fakta yang berbeda. Anak-anak kita ternyata suka membaca. Namun sayangnya kegemaran mereka membaca kita bunuh dengan sadis. Kita paksa anak-anak yang gemar membaca tersebut untuk meyakini bahwa membaca adalah sebuah kewajiban.
Sebuah tugas. Sejak TK, SD kita menjejali mereka dengan konsep bahwa membaca adalah sebuah kewajiban untuk mencari ilmu. Membaca adalah sebuah kewajiban untuk mendapat pengetahuan. Itulah sebabnya kia – orang dewasa, marah jika tahu anak kita membaca buku cerita. Kita anjurkan mereka untuk membaca buku pelajaran saja. Demikianlah kita membunuh minat baca anak-anak kita.
Saat hasil tes PISA kita jeblok, maka kemalasan membaca dijadikan salah satu kambing hitamnya. PISA adalah sebuah tes yang dilakukan kepada anak-anak berumur 15-16 tahun untuk mengetahui kecakapan mereka dalam menggunakan keterampilan membaca (literasi), berhitung dan mengkalkulasi (numerasi atau matematika) serta ilmu pengetahuan (sain). Dan sekali lagi, anak-anak kita disiksa dengan kewajiban membaca dan berlatih menjawab pertanyaan HOT. High order thinking!
Hobi kita memang suka menyiksa.
Pada akhir Januari lalu saya berkesempatan membincangkan masalah literasi ini dengan Mas Menteri. Saya bersama beberapa pegiat literasi diundang untuk membahas masalah buku bacaan anak. Kami menyampaikan secara bebas pendapat-pendapat berdasarkan pengalaman kami masing-masing tentang rendahnya minat baca, khususnya di level SD.
Diskusi tersebut benar-benar bebas terbuka. Kami tidak hanya menyanjung pendapat Mas Menteri, tetapi kami bisa dan telah mendebat pendampat beliau. Kami benar-benar bisa berdialog secara kritis membahas masalah buku bacaan anak.
Marilah kita dengar dulu apa yang dipikirkan oleh Mas Menteri dan hasil diskusi kami tentang buku anak ini.
Ditinjau dari sudut perbukuan, Mas Menteri menengarai bahwa ada tiga penyebab kurang berhasilnya gerakan literasi di Indonesia, khususnya literasi anak. Ketiga penyebab itu adalah jumlah buku anak yang tidak memadai - amat sangat kurang; kedua, buku anak tidak menarik minat baca anak karena dibuat berdasarkan perspektif orang dewasa; dan ketiga buku tidak sampai kepada anak. Ketiga penyebab itu tentu tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkelindan. Ketiga penyebab itu saling berhubungan dengan erat.
Buku Anak Langka di Sekolah dan Di Rumah
Mas Menteri risau dengan kurangnya buku bacaan anak, baik di sekolah maupun di rumah. Buku bacaan anak masih dianggap sebagai sarana kelas dua dalam pendidikan kita. Dunia pendidikan maupun masyarakat masih menganggap bahwa buku bacaan anak sedikit saja sumbangannya dalam membangun kecendekiawanan dan karakter anak.
Buku anak memang langka. Jumlahnya amat sangat sedikit. Apalagi yang kualitasnya baik. Sekolah-sekolah lebih mengutamakan buku paket dan buku pengayaan. Sedangkan buku bacaan anak belum menjadi perhatian. Dari pengalaman saya berkeliling di banyak sekolah di banyak provinsi di Indonesia, memang demikianlah keadaannya. Sekolah masih mengutamakan buku teks dan buku pengkayaan. Buku bacaan anak yang berfungsi untuk menarik minat baca anak belum menjadi prioritas.
Di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dan Perpustakaan Desa pun buku anak dipandang sebelah mata. Buku anak dianggap tidak penting. Apalagi di level keluarga. Hanya sedikit orangtua yang memfasilitasi anak-anaknya membaca buku sejak saat awal. Trend TBM saat ini masih melihat buku keterampilan orang dewasa adalah yang utama.
Sebab dengan adanya buku keterampilan ini maka orang dewasa yang ada di sekitarnya akan tertarik untuk mencari pengetahuan dan keterampilan yang bisa digunakan untuk membuat usaha yang menghasilkan uang. Hal ini tentu tidaklah salah. Tetapi ada hal yang sepertinya dilupakan oleh para pegiat TBM. Kita berhubungan dengan masyarakat nirbaca. Maka akan sangat sulit mengajak mereka belajar dari buku-buku tersebut. Mestinya TBM juga ikut serta membangun budaya baca mulai dari anak-anak yang masih sangat muda.
Salah satu peserta diskusi memberikan contoh bagaimana ia membangun perpustakaan-perpusatakaan dan TBM-TBM di Indonesia Timur yang berfokus kepada buku bacaan anak. Ia menyampaikan bahwa TBM yang memberikan layanan bacaan kepada anak-anak ternyata banyak manfaatnya. Antusiasme anak-anak membaca buku yang disediakan ternyata sangat tinggi. Tentu saja buku-buku yang disajikan adalah buku-buku anak yang memang sangat menarik minat baca anak.
Sementara di rumah-rumah, kebiasaan untuk menyediakan bahan bacaan belumlah ada. Hanya sedikit saja rumah tangga yang mempunyai kesadaran pentingnya memberikan fasilitas buku kepada anak-anaknya. Alasan ekonomi selalu menjadi alasan utama. Benarkah? Mungkin benar. Sebab harga buku anak memang mahal. Tetapi harga pulsa untk bermedsos dan harga rokok juga terus melambung.
Buku Anak Tidak Menarik Minat Baca Anak
Mas Menteri menyampaikan bahwa buku-buku anak yang ada saat ini sangat sedikit yang membuat anak tertarik untuk membaca secara mandiri. Buku-buku tersebut terlalu sarat dengan beban pengetahuan, nilai-nilai moral dan karakter serta
Kami semua yang hadir dalam diskusi menyetujui pendapat Mas Menteri tersebut. Kami bahkan memberikan informasi lebih detail dari lapangan tentang hal ini. Persepsi masyarakat kita tentang buku anak memanglah demikian.
Jika kita ke SD-SD dan melihat koleksi buku mereka, kita akan terkejut. Sebab SD-SD kita mempunyai banyak sekali buku di gudangnya. Tetapi jika kita memeriksa lebih lanjut, buku-buku tersebut adalah buku teks yang sudah tidak digunakan dan buku pengayaan yang sarat dengan isi ilmu pengetahuan, peran moral dan karakter dan keterampilan-keterampilan yang lebih cocok untuk orang dewasa. Kita lebih mudah menemukan buku beternak lele dan bertanam jahe daripada majalah Bobo.
Mas Menteri secara tepat mendeskripsikan mengapa kondisi ini terjadi. "Buku anak dibuat berdasarkan perspektif orang dewasa. Buku anak berisi apa yang orang dewasa inginkan anak untuk membaca, bukan berdasarkan apa yang anak ingin baca." Itulah sebabnya buku-buku yang dikategorikan sebagai buku anak saat ini kurang menarik minat anak untuk membacanya. Kita orang dewasa lupa bahwa anak-anak itu senang membaca, tetapi karena keegoisan kita, membuat minat mereka padam.
Buku Tidak Sampai Kepada Anak
Harga buku yang mahal, dan semakin mahal di wilayah pelosok karena harus ditambah biaya distribusi. Ditambah dengan kesadaran orang tua, masyarakat, guru dan kepala sekolah akan pentingnya buku anak yang menarik, membuat buku-buku tersebut tidak sampai di tangan anak.
Saya berbagi pengalaman mendampingi sekolah dan kabupaten di Kalimantan Utara bagaimana meningkatkan kepedulian mereka terhadap buku anak. Meski sudah mulai ada hasilnya, tetapi masalah ketersediaan buku yang cocok dan harga yang masih sangat mahal ternyata masih menjadi kendala.
Hal ini pun Mas Meteri setuju. Harus dicari upaya supaya buku-buku anak yang nantinya akan semakin banyak, karena regulasi akan diperbaiki, harus bisa dibeli oleh sekolah, masyarakat dan orangtua. Pertama kualitas buku harus diperbaiki dulu. “Ibaratnya buku ditaruh begitu saja, anak sudah langsung mengambil dan membacanya. Buku yang bisa menarik minat anak tanpa ada anjuran dari orang dewasa,” demikian beliau menyampaikan pendapatnya.
Tentang pemasaran dan distribusi Mas Menteri menawarkan platform digital supaya para penulis buku dan penerbit bisa mempromosikan produknya di sana. Guru, kepala sekolah, staf Dinas dan Pemda, pengurus perpustakaan dan pegiat serta orangtua bisa menimbang sendiri buku-buku mana yang layak dibeli dan disediakan bagi anak-anaknya. Semacam toko digital interaktif begitulah.
***