Ekonomi

Catatan Kritis: Koperasi Merah Putih, Program Sektor Ekonomi yang Sifatnya Wajib

Selasa, 8 April 2025, 15:44 WIB
Dibaca 117
Catatan Kritis: Koperasi Merah Putih, Program Sektor Ekonomi yang Sifatnya Wajib

Pemerintah telah menegaskan bahwa pada bulan Juni mendatang, program Koperasi Merah Putih harus sudah terbentuk di seluruh desa. Program ini diharapkan menjadi tonggak baru bagi pembangunan ekonomi kerakyatan. Namun, saya tak bisa menahan diri untuk merenung dan mengingat kembali pengalaman saya pada era Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) di tahun 1993-an. Program ini kala itu digagas sebagai upaya pengentasan kemiskinan oleh pemerintahan Orde Baru dan ditangani oleh Prof. Mubyarto bersama timnya.

Saat itu, saya menjabat sebagai Camat di wilayah pedalaman dan perbatasan. Secara pribadi, saya termasuk salah satu pejabat yang pesimis terhadap program IDT. Mengapa? Karena kemiskinan yang dihadapi saat itu bukan hanya soal materi, tetapi juga soal kualitas sumber daya manusia (SDM). Kemiskinan tersebut melanda seluruh lapisan, termasuk pemerintahan. Selain miskin harta, kami juga miskin ilmu, pengetahuan, kecakapan, dan pengalaman, termasuk di kalangan birokrasi.

Kini, melihat kondisi yang tidak banyak berubah, saya kembali bertanya-tanya: bagaimana mungkin masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, terisolasi, dan dengan keterbatasan akses, diberi tanggung jawab untuk mengelola dana bergulir dalam bentuk koperasi? Rasanya mustahil. Tapi faktanya, pada masa IDT dulu, dana tetap digelontorkan. Banyak warga yang bahkan merasa takut menerima dana tersebut, dan tidak tahu harus berbuat apa. Beberapa menyimpannya di bawah bantal. Akhirnya, program itu menghilang begitu saja, tanpa jejak keberhasilan yang berarti.

Melihat pola dan pendekatan Program Koperasi Merah Putih yang kini dihadirkan, saya merasa kondisinya tidak jauh berbeda dengan Program IDT di masa lalu. Sejak awal kemerdekaan hingga kini, koperasi belum berhasil menjadi mesin utama penggerak ekonomi rakyat. Buktinya, lebih dari 70.000 koperasi di Indonesia dibubarkan karena tidak mampu dikelola secara profesional dan berkelanjutan.

Lalu, pertanyaannya: apakah masyarakat akan bisa mengelola koperasi dengan baik hanya karena program ini diwajibkan oleh pemerintah?

Mungkin di daerah perkotaan atau desa-desa penyangga kota, koperasi bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan desa-desa di pedalaman, desa terisolasi, dan desa perbatasan? Banyak di antaranya bahkan belum memahami prinsip ekonomi dasar, apalagi konsep koperasi yang membutuhkan disiplin, akuntabilitas, dan tata kelola yang kuat.

Saya jujur mengungkapkan, saya sangat pesimis. Bukan karena saya tidak percaya pada kemampuan rakyat, tetapi karena pemerintah tidak memulai dari fondasi yang benar. Pembangunan ekonomi rakyat tidak bisa dimulai dari atas, apalagi dengan pendekatan top-down yang sekadar menggugurkan kewajiban. Pembangunan ekonomi rakyat harus dimulai dari kemampuan rakyat itu sendiri. Rakyat harus diberdayakan, infrastruktur dasar harus tersedia, akses harus lancar, dan mobilitas orang serta barang harus memungkinkan.

Saya memiliki pengalaman membangun desa-desa terpencil, pedalaman, dan perbatasan. Pada waktu itu, saya berani mengatakan program tersebut berhasil. Mengapa? Karena desa diberi kekuatan untuk membangun dirinya sendiri. Rakyat diberi kepercayaan sepenuhnya. Pemerintah kabupaten saat itu bahkan menjadi yang pertama di Indonesia yang mengalokasikan dana pembangunan desa sejak 2012, jauh sebelum Dana Desa dari pemerintah pusat dikucurkan pada 2015.

Setiap RT mendapat dana sebesar Rp260 juta per tahun. Desa tidak hanya diberikan dana, tetapi juga diberikan kewenangan penuh untuk mengelola pembangunan dan pemerintahan secara mandiri. Pendampingan dilakukan secara berkelanjutan. Program tersebut saya beri nama GERDEMA (Gerakan Desa Membangun). Hasilnya luar biasa. Dalam waktu singkat—bahkan hanya satu hingga dua tahun—kemiskinan menurun tajam, jurang ketimpangan antara kaya dan miskin berkurang, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) meningkat signifikan.

Mengapa program tersebut berhasil?

1. Masyarakat diberdayakan dan dilibatkan secara aktif dalam proses pembangunan.
2. Pemerintah desa diberikan kewenangan penuh dalam menyelenggarakan pemerintahan.
3. Desa menjadi pelaku utama pembangunan, bukan sekadar objek program.
4. Dana besar diberikan secara langsung ke desa untuk pembangunan dan operasional desa.
5. Pendampingan teknis dan administratif terus-menerus dilakukan oleh pemerintah tingkat atas.

Saya ingin berharap agar Koperasi Merah Putih benar-benar dapat menjadi instrumen kebangkitan ekonomi desa. Namun, saya percaya program ini tidak akan berhasil jika tidak dimulai dari penguatan kapasitas masyarakat, penyediaan infrastruktur dasar, dan pembenahan SDM pemerintahan. Tanpa semua itu, sejarah akan kembali terulang: program hanya akan menjadi angka di atas kertas, tanpa dampak nyata bagi rakyat.