Sunda | Sunda - Dayak
Satu dari seribu --gak sampai sejuta seperti bilangan Tina-- misteri perbatasan yang terungkap dalam Batu Ruyud Writing Camp I (28 Oktober - 3 November 2022) adalah kawin-kawin, bersekutunya dua suku: Sunda - Dayak.
Kedua etnis sama-sama medeklarasikan kelahiran. Sekaligus kebangkitan Literasi Sukunya. Ada peserta, orang tempatan bertanya, "Kok bisa ya? Sunda-Dayak bersatu?"
Gagap saya menjawab. Kita menari dalam irama bunyi gendang tetabuhan yang sama: bonum commune. Kebaikan umum. Kebaikan itu universal. Tidak ada sukunya.
Lihatlah gambar di bawah: Sunda - Sunda Dayak-- deklarasi Literasi masing-masing etnis di Fe' Milau, Krayan Tengah, Kalimantan Utara.
Jangan-jangan. Sunda-Dayak itu saudara, satu asal.
Kedua etnis sama-sama jadi trending topic hari-hari terakhir ini. Sebab dipakai sebagai “batu loncatan” untuk menaikkan pamor seseorang. Namun kemudian, menjadi “batu sandungan”. Apa pun. Yang bersangkutan telah di-framing dan diagendakan menjadi public enemy. Ia dianggap menghina bukan saja etnis tertentu, melainkan melecehkan kemanusiaan.
“Sedang kami pelajari saksama. Jika ada unsur penghinaan, akan dihukum adat,” demikian salah satu pengurus teras Majelis Adat Dayak Nasional (MADN).
Kita lihat saja nanti. Bagaimana ending dari drama itu.
Telah tercatat 3 tokoh nasional, dan 1 perusahaan, yang dihukum/ denda secara adat oleh orang Dayak. Hukum-adat itu dipalugodamkan, biasanya setelah mejelis pertimbangan Adat Dayak menaruh di dalam dacin suatu ucapan/ tindakan seseorang. Kemudian ditimbang-timbang dari berbagai segi. Apakah ucapan/ tindakan itu melawan adat dan melanggar norma dan merusak tatanan budaya Dayak?
Apakah si peleceh Dayak kali ini akan diajukan ke Sidang Peradilan Adat, yang dikenal magis itu?
Masih dalam proses. Kita lihat nanti.
Kita jangan terjebak pada perbedaan. Perbedaan given, dari sananya. Ayo kuatkan kesamaan. Setidaknya, sebagai manusia. Literasi bisa jadi jembatan dari segala perbedaan!
Bukan itu poin saya di Narasi ini. Hendak saya paparkan, telah lama relasi Sunda-Dayak jadi topik kajian saya. Di dalam menulis “The History of Dayak”, saya membaca naskah-naskah kuna. Bertemulah saya dengan penelitian-penelitian dari Jerman dan Amerika. Salah satunya, Blust.
Saya membaca sejarah yang berikut ini:
Dari riset dan catatan diketahui bahwa Borneo terhubung dengan daratan Asia Tenggara, sebagai bagian dari daratan yang dikenal sebagai Sundaland, dari 2,5 juta tahun yang lalu hingga sekitar 10.000 tahun yang lalu ketika deglasiasi global mengubahnya kembali menjadi sebentuk pulau. Bukti arkeologis menunjukkan bahwa manusia tiba di Sarawak, melalui darat, setidaknya 40.000 tahun yang lalu.
Deglasiasi adalah transisi dari kondisi glasial penuh selama zaman es, ke interglasial hangat, ditandai dengan pemanasan global dan kenaikan permukaan laut karena perubahan volume es benua.
***
Musim rasis makin dekat, tiba mengancam di depan mata kita.
"Tahun Politik bisa memecah belah. Anggota dewan dari PDIP menghinda Sunda. Caleg gagal PKS menghina Dayak. Sunda dan Dayak jangan terprovokasi!”
Demikian pesan sahabat, sekaligus saudara “seperguruan saya”, Pepih Nugraha. Saya sendiri tidak merasa terhina.
Menurut saya, yang kata orang “filsuf” ini. Hinaan, apalagi ucapan, dari luar suatu objek yang baik, tidak akan mengubah apa pun tentang objek itu. Objek tetap baik. Hinaan itu yang akan kembali menghukum si pelaku!
Pelecehan tidak mengurangi sesuatu/objek yang baik dalam dirnya. Sebaliknya, pujian tidak menambah kemuliaannya. Tapi, kan, dalam hidup bermasyarakat, kita mengenal norma-norma. Kepantasan dan kepatutan. Ada ruang publik dan ada ruang privat.
Ada hal yang pantas diucapkan hanya ketika berdua saja. Ketika ada beberapa orang, tapi menjadi tidak pantas diucapkan di depan publik; apalagi dengan ujaran kebencian. Bahkan, sesuatu/ hal yang benar pun harus disampaikan secara baik. Apalagi hal yang tidak benar yang disampaikan sengaja untuk suatu tujuan politik tertentu.
Di sanalah masalah mulai muncul.
Toh demikian, saya mafhum. Tidak semua Dayak seperti saya. Untuk itu, saya memahami, jika mereka “marah”. Dan akan menuntut pertanggungjawaban.
Sementara, “Sunda dan Dayak jangan terprovokasi!” adalah poin saya.
Kita jangan terjebak pada perbedaan. Perbedaan given, dari sananya. Ayo kuatkan kesamaan. Setidaknya, sebagai manusia.
Literasi bisa jadi jembatan dari segala perbedaan!
ilustrasi: Sundaland map/istmewa.