Literasi

Dikutip Bukan (Lagi) Mengutip

Senin, 7 November 2022, 15:56 WIB
Dibaca 296
Dikutip Bukan (Lagi) Mengutip
Dikutip, tidak (lagi) mengutip.

Pada KKNI level 8, atau setara S-2, apalagi S-3. Seorang penulis mesti berani mempertahankan tesis, argumen, temuan, serta novelty yang menjadi sudut-bidik (angle) konten narasinya. Jika perlu, ia membuat teori baru.

Berkanjang pada satu topik, yang menjadi core competence kita, sangat mendasar. Tajam pisau karena diasah.

Novelty, kebaruan, dalam dunia riset tidak selalu harus hal baru yang sama sekali belum ditemukan. Sebab berlaku adagium, "Nihil novi sub sole", there is no new under the sun."

Maka seseorang menemukan, bukan menciptakan, dalam khasanah penelitian. "Barang" itu given, sudah ada, hanya belum terungkap. Masih menjadi misteri.

Masalahnya: bagaimana metodos, jalan menuju kebaruan itu? Sedemikian rupa, sehingga karya kita dikutip, jadi acuan?

Berkanjang pada satu topik, yang menjadi core competence kita, sangat mendasar. Tajam pisau karena diasah. Kita akan menjadi ahli pada topik yang digumuli dengan saksama dan persisten.

Mengapa karya-karya saya, terkait topik DAYAK, hampir senantiasa jadi referensi?

Saya berkanjang. Menekuninya. Sejak awal tahun 1980-an. Ketika pada 14 Maret 1984 tulisan saya tentang "Mangkok Merah", salah satu adat budaya Dayak, dimuat Kompas koran terbesar bukan hanya Indonesia, melainkan juga Asia Tenggara itu.

Tahun 1990-an, malang melintang saya menulis artikel dimuat Kompas, Suara Pembaruan, Media Indonesia, Suara Karya, Bisnis Indonesia, Jakarta Post, dan sejumlah media nasional lain. Edisi PDF analognya, yang bisa diakses, menjadikannya mendunia. Pakar asing yang meneliti topik serupa, menjadikannya acuan, atau referensi.

Maka rajin-rajinlah menulis di jurnal bertaraf internasional, atau buku digital yang masuk Google, Amazon, atau Lulu. Kita dikutip, bukan (lagi) mengutip.

Seperti tampak pada ilustrasi. Saya rutin menerima notifikasi, di email, terkait karya saya yang dikutip pakar di vaknya.

Studi-studi terkait topik yang kita tulis akan menyertakan notifikasi, jika dijadikan kutipan, setidaknya acuan.

Dalam bangun mengembangkan, sekaligus mendalami topik, maka studi inter-teks menjadi satu-satunya jalan yang mesti dilalui. Semakin banyak inter-teks, akan semakin dekat gap ontologis. Terjadi fussion of horizon apa yang sudah diketahui dan yang belum diketahui.

Maka referensi yang relevan dengan topik adalah keniscayaan.

Baca juga: https://bibliopedia.id/dikutip-bukan-lagi-mengutip/?v=b718adec73e0