Literasi

Puisi yang Menjadi

Selasa, 18 Agustus 2020, 11:23 WIB
Dibaca 478
Puisi yang Menjadi
Damang Batu

Maklumat: "Puisi memang tidak membuat saya jadi kaya. Tapi puisi membuat tulisan-tulisan saya jadi kaya."

Asal tahu saja. Bahwa karier kepengarangan saya diawali dari puisi. Ketika itu, nun di pedalaman Borneo. Seorang remaja suka merangkai kata. Tatkala jatuh cinta dan putus cinta. Maka puisinya bersemi seperti bunga. Halaman mading -majalah dinding-- sekolah tak pernah putus memuat puisi si remaja ingusan.

Tiap terbit, depan mading sekolah itu, banyak orang mengerubunginya. Membaca, di pojok bawah, puisi goresan tangan si remaja ingusan. Ia suka alam. Menuansakan isi hati dan mimpinya melalui simbol alam. Sehingga di sana tergureat alam senja, bunga kenanga, awan, hujan, dan juga luka.

Baru puluhan tahun kemudian, ketika jadi dosen mata kuliah "Literary Journalism" dan dicatat dalam senarai Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (Leksikon Susastra Indonesia 2000: 390) dan intens mendalami puisi (ada 51 jenis puisi), ia mafhum bahwa genre, atau aliran, yang dia anut itu: romantis naturalis. sealiran dengan Blake, Wordsworth, Sapardi, dan GM.
***
Meski demikian, seumur-umur, baru 1 antologi puisi solonya berjudul Bathsheba: Kucinta Dia (2013). KP (kumpulan puisi) berisi 101 puisinya sejak remaja hingga hampir menjadi tua, meski belum renta. Selain itu, ia masuk ke dalam 3 antologi puisi lainnya bersama para penyair Tangerang, Kalbar, dan Indonesia.

Tapi, sekali lagi, puisi sebatas hobi. Tertinggi pernah mendapat honor dari puisi adalah a rp 75.000. Kebanyakan a rp 7.500/ puisi. Tapi tak mengapa. Maklumat di awal pembuka tulisan ini menjelaskannya. Sebab puisi terus menjadi. Ia bukan rupiah itu sendiri, tapi berpotensi menjadi uang.

Puisi tak pernah benar-benar “selesai”. Ia terus berproses, mengikuti arus waktu yang tak pernah surut menoleh ke belakang lagi. Saya sendiri mengalami, puisi-puisi yang kugubah di usia belia, pabila dibaca sekarang, terasa beda.

Barangkali pengalaman, usia, pergaulan, pendidikan, dan juga pengetahuan turut mewarnai gagasan (isi) sebuah puisi. Demikian pula, jam terbang berpuisi-ria dan usia sangatlah mempengaruhi. Ketika remaja, tema sentral puisi-puisi tak lari dari kata “cinta”. Saya pun, seperti jutaan remaja umumnya, pernah benar-benar menyangka bahwa dalam hidup ini cuma ada satu hal saja yang penting: cinta!

Di kemudian hari, saya mafhum bahwa hidup sejati bukan cuma cinta, tapi di sisi itu juga ada: benci, sehat, sakit, senang, susah, pahit, getir, kecewa, sedih, marah, renjana, dan sebagainya. Saya pun mulai masuk, lalu terpaksa intens menggumuli tema-tema itu.

Ternyata, hidup manusia demikian pelik.Tak pernah benar-benar lurus.Selalu ada beloknya.Bahkan, sedemikian terjal, sehingga terkadang nyaris putus asa.Tapi dari pergumulan itu, seseorang lalu belajar.Dan memetik hikmah dari setiap pengalaman. Itulah universitas kehidupan yang, jika lulus, akan melahirkan manusia unggul.

Universitas yang lain adalah tempat belajar dan kuliah. Bedanya, belajar dulu baru ujian.Ketika menjadi dosen, saya lalu belajar banyak sebelum mengajar, baik formal maupun otodidak.Mendalami teori seputar creative writing, kemudian hermeneutika, media, komunikasi, dan filsafat pada umumnya.

Mata dan hati saya jadi lain lagi memandang kehidupan. Pergaulan semakin luas, demikian pula usia tambah terus, membuat cita rasa puisi dengan diksi dan eufoninya jadi berbeda.

Akan tetapi, yang namanya “cita rasa” puisi tak pernah berubah.Ada pakem, ada main stream, bahwa puisi harus begini harus begitu. Bahwa puisi adalah bahasa simbol, bahwa puisi 50-an jenis, dan sebagainya.

Tapi sebuah puisi yang tidak “menggetarkan” pembaca, bukan puisi yang baik. Itulah cara saya menilai puisi-puisi mahasiswa, pemula yang masih dalam proses “menjadi” puisi.

Tidak ada yang salah, hanya saja puisi itu belum menjadi.
Saya sudah berbagi bahwa dalam puisi yang penting hanya dua: indah dan berguna. Indah dari pilihan kata yang tidak biasa dan bunyi (eufoni) enak dirasa.Berguna dari sisi gagasan, atau content-nya yang dapat dipetik siapa saja.

Puisi memang pengalaman pribadi, tapi bukan curhat.Ia spontanitas, tapi pengalaman bersama umat manusia.

Puisi adalah ungkapan, apa saja, yang menggetarkan. Demikianlah, antologi puisi ini ungkapan spontan penulisnya. Karena itu, penyunting membiarkan puisi itu telanjang, apa adanya, berbicara kepada pembaca. Penerbit sebagai pengumpul mengabadikan pengalaman spontan  penyair.


APAKAH hakikat puisi?

Puisi, sesungguhnya, punya kisah yang panjang.Bentukan awalnya ialah sebuah ungkapan, spontan, yang dibacakan, atau syair sebuah lagu.Seiring berjalannya waktu, bentukan tersebut memperoleh bentuk terstruktur yang kemudian berkembang menjadi format sajak bebas.Penyair, dengan berbagai latar yang berbeda, pengalaman yang beragam, menuangkan gagasan-gagasan mereka secara yang berbeda, sehingga memunculkan berbagai jenis puisi.

Setidaknya, terdapat 50 jenis puisi, dengan aneka variasi dan bentuknya.Pengalaman menunjukkan, penyair berkutat hanya pada satu dua aliran saja.Tidak pernah ada yang berkanjang pada semua jenis.

Seperti ditegaskan William Wordsworth (1770- 1850), “All good poetry is a spontaneous overflow of powerful feelings: it takes its origin from emotions recollected in tranquility. Poetry is a beautiful manifestation of the spontaneous emotions of a poet. A poem is created when emotions find the right words to express themselves.”

Kini, di zaman serbapraktis, orang tak lagi merasa terlalu suka diikat oleh sebuah peraturan yang rigid dan kaku.Maka, puisi-bebas (free verse) menjadi pilihan dan paling disukai. Jenis yang siapa pun dapat menggubahnya, asalkan ada gagasan yang didorong spontanitas dan hati yang digetar suatu objek, sehingga mendorong tangan untuk mengangkat pena, atau memencet huruf-huruf di keyboard.
***
SEPERTI kita ketahui, puisi adalah bahasa simbol. Terdapat tiga macam simbol, yakni : blank, natural, dan private.
Kita tidak bicara mana simbol yang lebih super dibanding yang lain, sebab masing-masing punya daya-pikat dan daya-makna yang sama. Penyair bebas memilih kata untuk mengungkap perasaanya.Kata-kata bebas.Hanya saja, ketika dirangkai jadi puisi, punya makna simbolik.

Maka kita menemukan hal-hal “aneh” dan spesifik dalam sebuah puisi.Yang, kadangkala, hanya penyair dan Tuhan sajalah yang paham maksudnya.Bahkan, kita kerap tidak menemukan dalam kamus diksi yang digunakan penyair. Ituah simbol-pribadi! Itulah licentia poetica, hak prerogatif penyair untuk menabrak rambu-rambu tata serta kaidah bahasa.


Tapi bukan berarti taka da puisi universal, yang disukai banyak orang. Yang mengusung tema-tema umat manusia sepanjang zaman, melintas musim, memintas usia. Sebut saja karya-karya Blake, Wordsworth, Pablo Neruda. Atau di negeri kita Chairil Anwar, Goenawan Mohammad, Sapardi, Abdul Hadi, Linus, dan sebagainya.

Akhirnya, seperti halnya setiap pengalaman yang tidak pernah salah, demikian pula puisi tak pernah salah.Yang ada adalah puisi yang “menjadi”.Yakni puisi yang selalu baru, yang setiap kali dibaca senantiasa merefleksikan fakta dan pengalaman bersama umat manusia.

Dalam konteks itu, setidaknya buat saya, tidak dikenal penyair-pemula dan penyair yang sudah jadi.Semua saja masuk kategori "menulis dengan bahasa simbol". Tinggal sambil jalan mengembangkan dan mendalami di sana sini, entah melalui bacaan, entah melalui pengalaman, termasuk emulasi.

Puisi yang baik memang selalu "menjadi". Tidak pernah sama tiap kali dibaca. Selalu ada makna baru di dalamnya.Diharapkan siapa saja yang menimba dari sumur antologi puisi ini, memperoleh sejuk air pelepas dahaga.

Katakanlah semacam oase kita bersama. Sekadar berbagi cerita. Dan juga asa, di sela-sela rutinitas kerja dan sibuk dunia yang senantiasa tak ada habisnya.
***
WAKTU jadi dosen, salah satu tugas kepada mahasiswa yang saya wajibkan adalah mencipta puisi yang berhasil. Saya menganjurkan mereka untuk menulis bersama, lalu dikumpulkan dalam buku. "Nanti jadi perekat kenangan yang abadi," kata saya.

Saya katakan pula: tidak ada puisi yang salah/ jelek. Yang ada, puisi yang belum menjadi.

Tak pernah saya paksa. Seingat saya, hanya 3 kelas dari 6 kelas mahasiswa-didikan saya yang sudi membukukan puisi-puisi mereka.

Sedangkan saya memberi Kata Pengantarnya.

Tags : literasi