Menggagas Borneo Writer’s Festival di Kalimantan Utara
2014, saya menginjakkan kaki untuk pertama kali di Malinau, Kalimantan Utara. Tujuannya satu: membantu proses penulisan buku Bupati Malinau kala itu, Dr. Yansen, TP., MSi. Namun, seiring berjalannya waktu, ternyata semangat literasi sang bupati begitu tinggi, sehingga tergelarlah beberapa kegiatan terkait literasi. Mulai dari lauching buku, bedah buku, sampai pelatihan dan juga lomba menulis.
Sejak 2014 juga, saya sudah merancang beberapa kegiatan literasi di Malinau, yang sebagian sudah terlaksana namun sisanya belum terwujud. Salah satu yang belum terealisasi adalah suatu festival penulis atau biasa disebut Writer’s Festival, yang sudah sangat populer di negara-negara maju. Di Indonesia sendiri, festival semacam ini baru ada di Bali (Ubud Writes’s Festival), di Sulawesi Selatan (Makassar International Writer’s Festival), dan di Jawa Tengah (Borobudur Writer’s and Cultural Festival), dengan ciri khasnya masing-masing.
Festival penulis merupakan suatu kegiatan literasi tertinggi, yang melibatkan penulis, karya-karyanya, dan para pembaca. Festival penulis bukan sekadar pameran buku, ajang yang paling sering dan banyak diselenggarakan di Indonesia. Selain di Jakarta, pameran buku juga hadir di banyak kota lainnya seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Medan, serta berbagai kota lain termasuk kota-kota kecil. Namun, pameran buku lebih banyak hanya menjual buku-buku saja sehingga lebih sebagai ajang para produsen buku dalam hal ini penerbit. Penulis dan pembaca hanya bumbu penyedap. Target utama pameran adalah jumlah penjualan buku. Hal yang berbeda dengan Writer’s Festival.
2021 ini, saya berkesempatan mengunjungi Tanjung Selor ibukota Kalimantan Utara (Kaltara) untuk berkegiatan literasi khususnya penulisan buku Sejarah Kaltara yang digagas oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltara. Kesan pertama melihat Tanjung Selor begitu menggoda. Kota ini masih “sunyi” namun menyimpan sejuta pesona, khususnya aliran sungai Kayan dan sejarah kota yang menyertainya. Meski tidak selengkap Tarakan, kota teramai di Kaltara, Tanjung Selor punya fasilitas cukup memadai. Kota ini berpotensi besar untuk menggelar beragam kegiatan berskala nasional dan internasional termasuk suatu festival penulis.
Melalui tulisan ini, saya mengusulkan kepada pihak terkait di Kalimantan Utara, untuk menggelar festival penulis dalam rangka menggenjot semangat literasi di sana yang kian hari semakin membuncah. Sebut saja nama acaranya adalah “Borneo Writer’s Festival.”
Tepian sungai Kayan dapat menjadi lokasi ideal untuk penyelenggaraan festival ini, sekaligus sebagai ajang promosi pariwisata Tanjung Selor dan Bulungan, serta Kalimantan Utara. Banyak efek samping positif dari penyelenggaraan festival penulis ini jika berkaca pada penyelenggaraan acara serupa terutama di Ubud Bali.
Penyelenggaraan festival penulis ini bisa dipadukan dengan tawaran paket pariwisata yang menarik. Festival penulis di Ubud lebih banyak dihadiri oleh penulis dan pecinta buku dari mancanegara terutama Australia, Amerika Serikat, dan negara-negara di Eropa. Tarakan, Tanjung Selor atau Bulungan, Tanah Tidung, Nunukan, dan Malinau punya tawaran wisata sejarah yang memukau dan berkaitan dengan negara-negara asing tersebut. Mereka bisa ‘sambil menyelam minum air’, mendapatkan pencerahan lewat festival penulis sekaligus menyusuri tempat wisata sejarah, wisata budaya, dan wisata alam.
Kalimantan Utara punya potensi wisata yang sangat besar (saya tulis dalam serial artikel khusus), dan juga memiliki pegiat literasi yang luar biasa. Dua kelebihan yang dapat berkolaborasi untuk saling melejitkan. Sang Wakil Gubernur Dr. Yansen TP., adalah pegiat literasi yang sudah menghasilkan 7 judul buku, serta pemilik media warga Ytprayeh.com. Semangat literasinya sudah menyebar ke seantero negeri, di samping piawai mengelola pembangungan daerahnya. Selain sang Wakil Gubernur, Kaltara juga mempunyai talenta-talenta literasi yang sangat potensial. Sejumlah penulis buku seperti Muhammad Arbain, Lio Bijumes, Sarinah, Darmawati, dll., begitu aktif berliterasi. Pegiat literasi dari INOVASI – Handoko Widagdo pasti mengamini hal tersebut.
Kaltara punya spot-spot wisata yang sangat menarik. Di Tarakan, ada pusat Bekantan – monyet berhidung mancung (sering disebut monyet Belanda yang hampir punah), ada rumah dan bangunan peninggalan Belanda, sejarah perminyakan masa lalu yang hebat, serta peninggalan budaya kesultanan Tidung yang memukau. Di Malinau, terdapat desa-desa wisata sebagai pusat kebudayaan Dayak, dan taman nasional Kayan Mentarang. Di Nunukan, ada spot wisata pebatasan di pulau Sebatik dan pesona dataran tinggi Borneo di Krayan yang pada masa lalu sudah dikunjungi para misionaris dari Amerika Serikat. Sedangkan di Bulungan, wisata sungai Kayan yang mempesona berpadu dengan wisata sejarah kesultanan Bulungan yang melegenda itu. Kesultanan Bulungan dan Tidung punya kisah menarik terkait dengan Kerajaan Belanda pada masa silam.
Dengan suatu festival berskala nasional dan internasional, beberapa tujuan dapat diraih. Tingkat literasi masyarakat Kalimantan Utara akan meningkat drastis, IPM (Indek Pembangunan Manusia) juga dipastikan akan terkerek, popularitas Kaltara akan melonjak dengan citra sangat positif, dan denyut ekonomi lokal melalui pariwisata akan bergeliat serta melahirkan penulis-penulis hebat Kaltara.
Saya sudah memvisualisasikan festival penulis ini. Membayangkan warga Kalimantan Utara berduyung-duyun berdiskusi bersama para penulis nasional serta mancanegara dalam ajang intelektual. Mereka pantas berbangga karena juga punya karya yang ditampilkan. Karya yang dibahas oleh para pakar nasional dan internasional. Semua itu terjadi di tepian sungai Kayan yang indah, sejak pagi hingga malam, dihiasi sinar mentari yang bergerak pelan sampai ke peraduannya di tepian seberang sungai Kayan.
Sejak abad ke-18, nenek moyang Bulungan (cikal bakal provinsi Kaltara) sudah bergaul dengan warga dunia. Kini saatnya, pergaulan dunia dalam kemasan intelektual yang lebih maju dan terhormat dilanjutkan oleh generasi penerusnya.
Yang setuju, angkat tangannya!