Filosofi

Airmata Air

Jumat, 1 Juli 2022, 10:09 WIB
Dibaca 494
Airmata Air
Air sungai bumi Borneo yang keruh. Airmata air.

Mataair. Airmata.
Cukup ribet menggunakan kata kita, Indonesia. Harus bisa, di sini, membedakan: manakah kata, manakah term. Yang dalam Logika, bisa gak lulus lulus, manakala keliru di dalam menjatuhkan manakah subjektivus dan mana predikabilia.

Hukum dalam bahasa Indonesia, beda dengan bahasa asing. Inggris misalnya yang MD  menerangkan-diterangkan. Kita Indonesia menganut sebaliknya: D-M. Singkatan dari "diterangkan-menerangkan". Yakni tata aturan dalam tata bahasa Indonesia yang menghukumkan bahwa entah kata majemuk entah dalam kalimat, maka segala hal yang menerangkan senantiasa  terdapat di belakang hal yang diterangkan. Hukum ini diperkenalkan munsyi dan intelektual, Sutan Takdir Alisjahbana.

Dalam bahasa Latin, asalkan tasrif (kasus) nya tepat, dibolak balik MD dan DM itu tidak mengubah makna. Itulah mengapa, Latin jadi bahasa ilmu.

Namun, saya tak hendak berdebat (dulu) ihwal bahasa. Ia, bahasa itu, kan alat penyampai gagasan. Di sini saya lalu paham. Mengapa Romo Mangun kerap tidak sudi kata dan termnya diganti editor. Sebab mengubah maksudnya.

Saya pun kerap demikian. Suka menabrak kaidah umum. Bikin sendiri. Bukankah bahasa alat menyampaikan gagasan saya, sebagai penulis?

***

Lama juga kita diskusi soal judul narasi ini. Seperti Anda lihat. Sengaja tidak saya pisahkan: air mata, namun dirangkai: airmata. Mari camkan kata sama, dalam bahasa berbeda, yang berikut ini.

Latin: lacrima
Inggris: tears
Perancis: larme
Belanda: traan
Italy: lacrima
Indonesia: air mata.

Saya tak sudi. Itu term, bukan kata. Maka saya gunakan: airmata.

Airmata air. Memang ada? Ada!

Saya pernah ke Tumbang Anoi. Itu tempat bersejarah. Pertemuan seBorneo Raya tahun 1894. Waktu itu, Damang Batu toean roemahnya. Pertemuan amat penting itu, sepakat menghentikan apa yang dikenal dengan 4-H: Hakayau, Habunu', Hatetek, dan Hajipen. Ihwal ini, telah jamak saya tuliskan.

Yang jadi fokus perhatian saya adalah: Tanah dan air sekitar Gunung Mas beralih warna. Dari jernih ke kopi susu, atau kopi cokelat. Sebabnya adalah penambangan dan eksploitasi alam yang melampaui batas.

Sehabis dari sana, sepanjang jalan. Saya merenung. Cukup masygul juga. Saya lalu mencari metafora. Mengeluarkan pengalaman. Menyelami dari dasar khasanah pengetahuan yang tersimpan dalam lumbung ingatan. Dan mengerahkan seganap kemampuan yang ada.

Apa, ya, yang pas. Untuk menggambarkan. Bahwa air pun bisa menangis? Maka kata saya kepada kawan, dalam perjalanan.

"Gak ada emas kehidupan. Yang ada: air kehidupan!"

Agaknya, air-air di Gunung Mas. Dan beberapa sudut wilayah di kepulauan Borneo.

Kini telah menangis. Menitikkan airmata sejadi-jadinya. Kalau Anda bisa mendengar. Tentu dengan hati nurani. Setiap ada banjir. Itulah bumi menangis!

Yang mengalir itu. Itulah: Airmata air!

Maka kembalilah ke fitrah. Hidup menyatu. Dan menjadi bagian utuh dari jagad raya. Hidup dalam organisma satu dan sama. Sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa.

Memanfaatkan sumberdaya alam secukupnya. Itulah nilai adat tradisi dan budaya warisan leluhur.

Baca juga: Sengkubak| Vetsin Alami Dayak

Back to nature of the future!