Filosofi

Entawer - Si Lonceng Kecil Berbunyi Nyaring Pertanda Malam Tiba

Selasa, 20 April 2021, 23:07 WIB
Dibaca 1.402
Entawer - Si Lonceng Kecil Berbunyi Nyaring Pertanda Malam Tiba

Serangga sebesar jari telunjuk orang dewasa berbunyi. Nyaring sekali. Bagai lonceng sekolah.

Malam itu, tiga pekerja kata (saya, Pepih, dan Dodi) sedang "ngisi bensin" ditemani Hendi di rumah makan favorit kami, Pak Husni. Mudah sekali mencapai tempat makan itu. Sebab berada di jantung kota Tanjung Selor. Baru 5 kali makan di situ, kami belum bosan. Ada sup tulang. Ada soto.

Sampai-sampai membuat Wakil Gubernur Kalimantan Utara, Dr. Yansen TP, heran. "Ah, makan di situ lagi? Kemarin makan di situ. Malam ini di situ!"

"Belum sepuluh kali. Belum bosan, pak!" jawab saya, sekenanya. Saya dengar, suara di seberang sana, terbahak.

Namun, kali ini saya berkisah tentang "si anak malam". Bunyi yang sempat menarik perhatian saya. Sejenak meninggalkan sup tulang yang tersedia di atas meja. Saya keluar. Melihat si anak malam sedang menggantung di langit-langit, dekat lampu. Lalu jatuh. Seakan tahu, saya memerlukannya. Lalu saya foto. Setelah berhasil menjepretnya, saya keluar halaman. Melepasnya ke alam bebas.

Inilah penampakannya. Lalu saya muat di beranda FB, 20/04-2021.

Ternyata, mendapat cukup banyak perhatian. Dan komentar sahabat. Dari mereka, saya baru tahu bahwa lonceng alam pertanda malam ini juga, mak nyuz dijadikan santapan.

***

Saya menulis demikian: entawer - kata kami Dayak Bidayuh. Alias anak malam. Alarm bagi orang Dayak, jika di hutan, siap-siap pulang, pertanda petang tiba. Kecil, sebesar jari telunjuk. Namun, nyaring bunyinya melebihi lonceng.

Lalu muncul, komentar dan penjelasan menarik seperti ini:

"Di kampung saya namanya uwie uwie...waktu kanak-kanak menjadi kesenangan tersendiri memanjat pohon untuk bisa menangkap mahluk ini," jelas Junaidi Gafar, sahabat asal Padang.

Lestari Dewi menulis, "Keriang," kata kami.

"Hehiu," kata kami Dayak Suaid, menurut Yoseph Tueng.

“Engkeriang, kata orang Iban,” demikian Alexander Leban menjelaskan.

 “Di Magelang namanya garengpung,” terang Lidwina Ika.

Seumur-umur, saya belum pernah makan hewan ini. Kalau belalang, sering. Enak dioseng. Pas musimnya di ladang, belalang bukan main banyaknya. Biasanya, lepas membakar ladang hingga menanam padi (nugal).

Namun, dari Maria Yuda saya mafhum bahwa hewan ini bisa dimakan. “Keriang tu, enak di masak pedas,” jelasnya. “Di Ketapang, (Kalbar) biasanya banyak apalagi area Sungai_Laur sudah menjadi tradisi menangkap keriang dan diolah bermacam-macam rasa.”

 “Sampai ada istilah 'muncung burit'. Berisi/montok pada bagian bokongnya.. dan itu yang 'katanya' paling sedap dikunyah,” terang Michael.

 Anjar Karta Saswita menjelaskan, “Kalo di tempat saya dinamakan karotot/gogot. Dahulu dijadikan cemilan saat ngobrol-ngobrol malam.”

 Heppy Ramat dari Malinau menjelaskan, “Kalau bahasa Lengilo' : Menuwet.”

 Helena Ali di Pontianak menulis, “Sudah lama tak mendgr suara si kecil ini....”

Thomas Tion, asal Ketapang menulis, "Karariakng, kata kami."

***

Ternyata, di balik makhluk ini, banyak tacit knowledge tersibak.

Terus terang, terang terus. Seumur-umur, saya belum pernah makan hewan ini. Kalau belalang, sering. Enak dioseng. Pas musimnya di ladang, belalang bukan main banyaknya. Biasanya, lepas membakar ladang hingga menanam padi (nugal). 

Ternyata, si anak malam ini selain nyaring bunyinya. Juga sedap dijadikan santapan.

Baru tahu, saya!***

 

Tags : filosofi