Serial Kebangsaan (10) Dewan Pers untuk Pers yang Lebih Bermartabat
Saya termasuk mantan jurnalis yang cerewet dan cenderung mengeritik pedas Dewan Pers, sebuah lembaga yang dibiayai negara demi terciptanya pers yang sehat dan bermutu.
Kritik pedas saya termasuk ditujukan kepada persona-persona yang menggawangi dewan tersebut, yang hampir seluruhnya berlatar belakang jurnalis. Sebagian di antaranya saya kenal dan bahkan pernah satu kolega di sebuah perusahaan media.
Juga saya cerewet atas "diam" dan "membisuseribubahasanya" Dewan Pers atas pemberitaan media massa arus utama yang seharusnya berada dalam pengasuhannya. Misal saja, beberapa waktu lalu saya cerewet soal kasus hamilnya seorang perempuan berstatus janda yang mengaku hamil tanpa berhubungan dan baru terasa hamil sejam sebelum melahirkan.
Pilunya, media massa arus utama menelan mentah-mentah "peristiwa" itu tanpa menyisakan sikap krtitis sedikitpun saat pertama kali menayangkan berita yang berpotensi viral tersebut.
Maksud kritis di sini adalah "skeptis", jangan percaya begitu saja atas sebuah peristiwa apalagi itu peristiwa dengan bumbu pendapat atau opini narasumber. Pertanyakan dan terus pertanyakan, jangan menelan mentah-mentah begitu saja informasi atau pernyataan yang keluar dari mulut siapapun.
Jangan percaya dengan keajaiban atas dasar pengakuan seseorang, apalagi dibumbui keyakinan tertentu yang seolah-olah tidak bisa terbantahkan, dosa besar kalau tidak dipercayai, bahwa ini sudah kehendak Yang Kuasa dll.
Dalam konteks jurnalisme, bagi saya ini menyesatkan akal sehat.
Dalam tulisan terdahulu saya pernah mencontohkan jabang bayi yang bisa bicara dalam kandungan ibunya, Cut Zahara Fona. Media di tahun 1970an memuatnya sebagai berita "ajaib" atau "unusual", padahal itu tipu-tipu dengan modus meraup untung. Polisi berhasil mengungkap kebohongan itu.
Hal serupa dalam pandangan saya selaku mantan jurnalis media arus utama, apa yang dilakukan perempuan di Cianjur seperti "jabang bayi ajaib" di Aceh yang bisa bicara tetapi dalam kasus lain; menyembunyikan aib atau malu karena telah melahirkan bayi yang diakui tanpa berhubungan badan.
Ini masuk kebohongan publik, sebab pembaca yang tidak kritis akan dibohongi dan percaya begitu saja atas apa yang diberitakan media arus utama.
Bukan saya benci atau nyinyir kepada media massa arus utama, sebagai mantan jurnalis saya hanya mengingatkan, "Adik-adik jurnalis, editor dan pemred, please gunakan akal sehat kalian dalam menulis berita dan menyampaikan informasi kepada publik.
Seharusnya Dewan Pers yang terhormat memberesi dulu wartawan dan media yang bisa dianggap menyebarkan kebohongan dan pembodohan publik sebelum melakukan niat suci "mengembangkan" media massa, bukan malah mau membunuh buzzer. Kesannya jadi "jaka golok bawa sembung" alias tidak nyambung.
Ini semua dimaksudkan agar Dewan Pers tetap menjadi lembaga yang dibiayai pemerintah dapat menjalankan fungsinya menjaga pers yang bermartabat.
Bukan saya raja tega dan tidak berpihak kepada seorang perempuan dengan status cerai (janda) yang baru melahirkan, carilah cara lain untuk menutupi aib sendiri, jangan mempermalukan wartawan jaman now minim akal sehat, yang sering menelan mentah-mentah begitu saja keterangan atau pengakuan narasumber.
Ini memang jaman "prank" di dunia maya (medsos), tapi sangat memalukan juga kalau wartawan yang seharusnya kritis justeru kena "prank" perempuan desa di dunia nyata.
Bagi saya, peristiwa "wartawan kena prank janda desa" justru punya nilai berita yang sangat besar, minimal luculah.
Mari kembali ke akal sehat!
***