Serial Kebangsaan (11) Tak Harus Kritik Membangun
"Kritik ya kritik aja, ga mesti paké embel-embel kritik membangun..."
Saya masih teringat seorang jurnalis dan pegiat medsos yang kini sudah almarhum, saat kami sama-sama menjadi pembicara tentang dunia jurnalistik di Lampung beberapa tahun silam.
Bagi saya ada benarnya. Almarhum adalah pengeritik garis keras yang tidak menyediakan argumen mengapa kritikannya wajib disampaikan. "Kalau kritik membangun itu namanya memuji, enak sekali orang yang dikritik itu," katanya.
Saya pribadi bisa menerima kritik dengan atau tanpa solusi, membangun atau tanpa membangun. Kritik itu sendiri menunjukkan kepedulian orang lain terhadap seseorang yang dikritiknya sebagai bukti perhatian.
Sebagaimana saya menerima kritikan dari Mahmudi Widodo rekan kuliah yang membaca tuntas dua novel saya "Alena" dan "Perempuan Penyapu Halaman", khususnya Alena. Kritik itu sendiri sudah merupakan penghargaan luar biasa, artinya ia menyisakan waktu membaca habis kedua novel itu lalu menyampaikan kritikannya.
Berikut kritik yang disampaikannya dengan perbaikan ejaan seperlunya:
Sore Kang Pepih...
Tadi siang 2 novelmu sudah tuntas kubaca. Indah dan menghibur. Rasa-rasanya 2 novel ini novel terakhir setelah aku selesai baca karya-karya Pram, Umar Khayam, Ahmad Tohari, dan Andrea Hirata.
Aku cukup menikmati 2 novelmu dan punya sedikit catatan untuk keduanya.
Pada Alena, kutemukan pribadimu terserak pada tokoh-tokoh protagonis. Pun ilmu-ilmu dari dosen-dosen kita, terutama Pak Poespo terasa sekali pengaruhnya (juga pada Perempuam Penyapu Halaman). Itu membawaku pada nostalgia ketika aku kuliah dulu di FIKOM. Terima kasih banyak untuk itu.
Satu kritik minor saja, ada yang menggangguku tentang sidang pengadilan yang dijalani Pratama. Dalam sistem hukum acara pidana kita, kasus-kasus kesusilaan diselenggarakan dalam sidang-sidang tertutup. Meski asasnya sidang pengadilan itu diselenggarakan secara terbuka, untuk kasus-kasus tertentu, di antaranya kesusilaan, proses pemeriksaan perkaranya diselenggarakan secara tertutup.
Mula-mula hakim akan membuka sidang secara terbuka. Lalu setelah itu akan menyatakan sidang tertutup untuk umum karena sifat kekhususannya. Selanjutnya proses pemeriksaan akan dilakukan secara tertutup. Begitu prosesnya hingga sidang terakhir (keputusan).
Pada saat hakim akan memutuskan kasusnya, masyarakat umum baru boleh hadir ke dalam ruang sidang. Maka, sangat janggal apabila sidang-sidang Pratama prosesnya sampai diliput media massa.
Pada Perempuan Penyapu Halaman (PPH) pada awalnya aku seperti terbawa pada nuansa rasa seperti ketika aku membaca Ronggeng Dukuh Paruk. Hamdani dan Sofiah mula-mula terasa seperti pasangan Rasus dan Srintil. Tapi lambat laun, selewat separuh novel, rasa itu berubah, terlebih pada babak akhir cerita. Novel ini muatan sastranya memang jauh lebih kental ketimbang "Alena".
Sekali lagi, aku menikmatinya. Juga Theresia Ang Le Tjien istriku, dia sudah baca PPH sejak muncul bersambung di FBmu.
Kunantikan novelmu yang lainnya...
Demikian Adhi Widodo menyampaikan kritik atas dua novel yang saya tulis.
Saya terima dengan tangan terbuka dan sepenuh hati. Mungkin di sini saya agak mendramatisir suasana sidang, yang pada kenyataannya seharusnya seperti yang disampaikan Adhi itu. Semoga suasana sidang Pratama tidak merusak "ruh" cerita secara keseluruhan.
Tetapi diletakkan pada konteks kekinian, ada beberapa persona, baik pesohor maupun orang biasa, yang antikritik alias tidak tahan menerima kritikan. Padahal, kritikan itu bukti perhatian.
Kritik dianggapnya mendegradasi kemampuannya dalam bidang praktis maupun akademis, bahkan dianggap mendelegitimasi kekuasaan yang sedang berada dalam genggamannya.
Terbuka dan "accepted" terhadap kritik adalah jalan terbaik menuju kesadaran hakiki, bahwa masih ada langit di atas langit. Juga agar kita terhindar dari sebutan orang 'berkuping tipis" yang menyakitkan.
Mari belajar menerima kritikan!
***