Filosofi

Belajar Ikhlas

Minggu, 19 Mei 2024, 08:41 WIB
Dibaca 337
Belajar Ikhlas
Ilustrasi (Foto: Dodi Mawardi)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Beberapa bulan lalu kaca mobil samping kiri saya dijebol maling saat parkir di halaman depan rumah mertua di Kopo, Bandung. Demikian cepat maling beraksi, padahal hanya sekejap saja saat saya shalat magrib sebelum melanjutkan perjalanan ke Tasikmalaya. Tas berisi laptop, pelantang mini, flashdisk dan surat-surat berharga raib. Harga laptop mungkin "tidak seberapa", tetapi isinya yang bikin dada sesak: semua data dan karya tulis saya hilang.

Jengkel? Tentu. Marah? Pasti. Dendam? Wajar. Tapi.... buat apa? 

Dengan kesadaran sendiri saya lapor ke polisi, bukan berharap laptop itu kembali, tetapi sekadar mendapatkan "surat kehilangan" sebagai syarat untuk mengurusi surat-surat berharga yang tersimpan di tas itu. Sama sekali tidak bermimpi barang-barang yang hilang itu bakal kembali.

Satu hal yang mengobati luka hati itu adalah satu perasaan yang mungkin kerap saya abaikan: ikhlas.

Ada puluhan naskah tulis, ratusan presentasi yang saya susun sendiri dan "kekayaan" lainnya di dalam laptop itu. Tetapi apa iya harus mengumpat seterusnya, menyesali keteledoran. Pada satu titik saya harus berhenti membendung kesumat yang berkelindan di hati. Itu tadi, dengan cara ikhlas. Relakan saja. Jangan berharap barang itu bisa kembali, mana tahu laptop itu bisa bermanfaat untuk mengobati anak pencuri yang sedang sakit. 

Ikhlas adalah sikap sekaligus kondisi yang tentu saja bisa dipelajari sebagaimana sikap dan kondisi lainnya.

"Ikhlas lahir batin teramat sulit dan rumit, sementara di bagian lain, orang lain menghina, melecehkan dan mengecilkan kita," kata seorang teman.

Amarah, misalnya. Manahan amarah bisa kok dipelajari. Tetapi, belajar ikhlas tidak semudah membalik telapak tangan. Belajar ikhlas ternyata memerlukan keikhlasan tersendiri untuk memulainya. 

Ikhlas sesungguhnya kerelaan hati, baik itu saat memberikan sesuatu yang kita miliki, memaafkan seseorang yang telah mengina dan menyakiti hati kita. Atau merelakan barang berharga yang hilang oleh berbagai sebab, khususnya barang yang melayang karena dicuri orang, sebagaimana yang saya alami.

Ada bisikan langit yang terngiang di telinga saya saat berada di kantor polisi untuk melaporkan peristiwa pencurian yang saya alami ini, "Ah, kau baru kehilangan laptop, jangankan barang, suatu saat kau bakal kehilangan orang-orang yang kaucintai, bahkan kau akan kehilangan dirimu sendiri!"

Tiba-tiba terjadi ledakan dahsyat di kepala, pecahan proyektilnya berserakan kemana-mana, sebagian menembus ke ulu hati, yang membuat saya terhenyak. Tadinya saya hendak membatalkan laporan pencurian itu, karena saya ikhlas, ya sudah relakan saja.

Tetapi karena ada surat-surat berharga yang menyangkut kelangsungan hidup saya dan keluarga, saya bertahan semalaman hanya untuk mendapat surat kehilangan itu.

Tanpa saya sadari, saya sudah belajar ikhlas meski belum tentu lulus. Saya telah merelakan barang yang hilang tanpa perlu menangisinya. 

Ke depan, saya perlu belajar untuk tidak menangis saat kelak kehilangan orang-orang yang saya cintai dan saya sayangi. Bahkan saat saya harus kehilangan diri sendiri, saya tidak perlu menangis karena mungkin sudah pandai berikhlas.

Pepih Nugraha