Filosofi

Cangkir Kopi Nenek

Kamis, 13 Mei 2021, 14:59 WIB
Dibaca 466
Cangkir Kopi Nenek

Saya masih ingat betul. Muk (cangkir) kopi nenek itu. Warnanya loreng. Isinya 400 ML. Tinggi dan lebar masing-masing 8,5 Cm. Jadi, cukup banyak isinya.

Tetiba, siang ini saya terkenang. Sudah sangat lama. Bayangkan! Sirka tahun 1972. Tatkala saya sudah mulai bisa menyimpan ingatan.

Ingatan itu berkelindan. Ketika saya menyeduh kopi. Biasa, tanpa kopi, tidak sah rasanya. Ada yang kurang. Ide menulis jadi mampet dibuatnya. Ditemani secangkir kopi, gagasan mengalir bagai pancuran.

Saya pernah menulis di beranda FB.

1. "Orang lain ngopi gak bisa tidur. Saya tidur, gak bisa ngopi."

2. Ngeliat cewek cakep, saya biasa-biasa saja. Gak deg-degan. Tapi kalo kebanyakan minum kopi, dada saya jadi deg-degan."

Sontak saja. Beranda FB saya dipenuhi komen. Macam-macam. Saya siap sedia menerima. Namanya juga becanda.

Siang ini, saya kangen nenek! Gara-gara kopi. Saya tak pernah tanya, selagi masih hidup. "Apakah nenek tahu bahwa kopinya tiap hari berkurang 3 tegukan?"

Saya suka kopi. Anak saya bahkan punya kafe, jualan kopi produk utamanya. Istri juga ngopi. Di keluarga, semua doyan ngopi. Bahkan, abang saya tertua, tidak minum air putih. Hanya kopi! Gak pagi. Gak siang. Apalagi malam.

Saya lalu berpikir-pikir: Dari mana asal keluarga kami suka ngopi?

Ternyata, saya ingat-ingat. Dari: Nenek.

Nenek kami dari garis ibu, seorang pengopi berat.

Saya masih ingat. Muk (cangkir) kopi nenek. Warnanya loreng. Isinya 400 ML. Tinggi dan lebar masing-masing 8,5 Cm. Jadi, cukup banyak isinya.

Setiap pagi, muk kopi nenek penuh berisi. Minum seteguk dua, disimpannya di atas perapian (tungku api). Mungkin agar tetap hangat terjaga.

Diam-diam, pas nenek lengah. Saya mencuri minum kopi nenek. Hal itu saya lakukan setiap pagi. Tidak banyak. Kadang tiga teguk.  Tapi pasti air dalam muk itu akan susut 3 jari. Sebab jika banyak, pasti akan ketahuan.

Kata mamaku. "Hingga meninggal, nenekmu tetap pengopi berat. Ditemukan di dinding bungkusan kecil-kecil. Berisi gula dan kopi."

Pantasan saja! Baru saya tahu kunci-rahasianya. Anggota keluarga habis stok kopinya, nenek masih. Cadangan devisa kopi-gulanya, begitu rupaya nenek mengelolanya. Jauh dari pantauan dan jangkauan para pesaing, sesama pengopi di keluarga.

***

Dari mana nenek / keluarga dapat kopi?

Kami punya kebun kopi di belakang rumah. Kopi kolonial, peningalan kompeni Hindia Belanda. Itu yang dipetik. Digoreng. Sampai item. Lalu ditumbuk halus. Saya masih ingat, dulu mama punya mesin giling kopi. Kecil saja. Manual. Diputar. Baru jadi bubuk.

Hingga kini, masih ada kopi itu. Saya sengaja lestarikan. Bahkan budidayakan. Sudah saya tanam sekitar 600 pohon. Sukanya, kopi itu hidup di habitat tepi sungai. Gendut dan subur. Seperti Vanessa, ponakan saya.

***

Siang ini. Saya kangen nenek....

Gara-gara: kopi.

Saya tak pernah tanya, selagi masih hidup. "Apakah nenek tahu bahwa kopinya tiap hari berkurang 3 tegukan?"

Ingin rasanya saya ganti kopi nenek yang pernah kucuri. Jika saja setiap hari 2 jari muk kopinya susut, mungkin dalam waktu 3 tahun, 3 drum kopinya susut.

Tapi pasti gak bisa ganti sebanyak itu. Bisa ganti juga, kasih ke mana? Tapi ingat nenek saja, saya merasa seperti bayar utang.

Maaf, ya, Nek?!

Tags : filosofi