Filosofi

Duc in Altum| Frasa Kepemimpinan Klasik yang Tetap Aktual

Senin, 4 Juli 2022, 07:18 WIB
Dibaca 1.564
Duc in Altum| Frasa Kepemimpinan Klasik yang Tetap Aktual
Duc in altum - leaders eat last

Dunia kerap minim pemimpin visioner. Yang bukan hanya menunjukkan. Juga membawa. Sekaligus menuntun pengikut ke kehidupan yang lebih baik. Pemimpin yang mafhum ke mana followers akan dibawa.

Sudah tentu, seseorang "kenyang" dan terpuaskan terlebih dahulu. Baru bisa memimpin dengan bijak. Dalam arti, memimpin sesuai dengan esensinya. Di mana dalam khasanah kuna, pemimpin adalah: dux (ducis). Yang berarti:

- pemimpin (laki-laki atau perempuan)
- penganjur
- mualim
- penuntun
- pemimbing
- penunjuk jalan
- komandan
- panglima
- hulu balang
- perwira
(Kamus Latin - Indonesia, 1969: 270).

Duc in altum dan Leaders Eat Last. Dua frasa yang jika disatupadukan. Akan menjadikan seorang pemimpin luar biasa.

Dalam khasanah kepemimpinan barat, "Duc in altum" bertolaklah ke tempat yang lebih dalam adalah frasa yang amat populer. Maknanya amat sangat dalam.

Saripati berbagai literatur tentang frasa ini: Seorang pemimpin harus bisa menunjukkan arah yang tepat kepada anak buah yang merasa bekerja keras tapi tidak ada hasil.

Pemimpin tidak mesti mengerjakan sendiri, tapi menunjukkan arah yang akurat. Mungkin saja anak buah tidak melihat arah yang tepat itu karena berbagai sebab, antara lain keterbatasan pengetahuan dan kemampuan. Inilah yang disebut dengan visi. Seorang pemimpin harus punya visi dan menunjukkan. Bahwa di sana ada peluang.

Maka tebarkan jala untuk menangkap segala macam peluang yang mungkin ada dan yang ada. Kadang, peluang bisa diciptakan, distrategikan. Di sanalah seorang pemimpin ada. Namun, ia tidak harus dirasa keberadaannya manakala setiap orang (pengikut) mafhum dan melakukan kewajiban dan fungsinya. Itulah organ! Bukankah kepala (pemimpin) bagian dari organ, meski penting?

Di perusahaan. Atau di organisasi apa pun. Seorang pemimpin adakalanya dininabobokkan karena berada di zona di mana ia merasa aman dan nyaman. Tidak mengalami guncangan dan tantangan yang berarti. Namun, hasil dan pertumbuhan begitu-begitu saja. Ketika tiba akhir tahun, evaluasi kerja tahunan. Tahu-tahu hasil di bawah target yang ditetapkan. Setahun bekerja rasanya sia-sia. 

Masuk dinamika nyata kehidupan. Berkanjang. Hidup dalam dan bersama masalah. Lalu berhasil mengatasinya. Itulah pemimpin sejati.

Bagi kalangan tertentu,  tamsil “duc in altum” tentu bukan sesuatu yang asing lagi. Dalam bahasa Inggris, istilah itu dikenal sebagai “put out into deep water”. Dalam Indonesia, dapat diterjemahkan menjadi “bertolaklah ke air yang lebih dalam lagi”.

Tamsil itu lahir pasti tidak terlepas dari konteks. Penangkap ikan atau nelayan mafhum bahwa jika mengail atau menjala di tepi laut, maka yang didapat adalah ikan teri saja. Sudah kecil, ikan itu banyak tulangnya. Dilihat dari tangkapan, jumlahnya memang banyak, tapi merepotkan. Pasti ikan kecil-kecil itu kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan ikan besar.

Ikan besar, terutama ikan kakap, habitatnya tidak di tepi laut yang dangkal. Namun, hidup di laut yang dalam. Karena itu, kita mengenal istilah “kakap” untuk menggambarkan sesuatu atau hal yang  besar, sedangkan untuk hal atau sesuatu yang kecil kita menyebutnya “teri”. Misalnya, untuk melukiskan sesuatu yang kecil kita menyebutnya “kelas teri”. Sebaliknya, untuk melukiskan ihwal yang besar kita menyebutnya “kelas kakap”.

Dalam konteks teri-kakap itulah tamsil “duc in altum” muncul. Berpikir dan bertindak kecil, risikonya memang kecil juga. Namun, hasilnya tangkapan adalah ikan teri kecil-kecil. Tidak mungkin mendapatkan kakap di tepi pantai. Tantangannya memang jauh lebih kecil. Di tepi pantai, angin lebih bersahabat, bahkan cenderung semilir dan meninabobokkan. Karena itu, setelah semalaman menebar jala, para nelayan kelelahan, lalu tertidur pulas di perahu. Mereka dininabobokkan dalam buaian semilir angin pantai. Lupa bahwa masih ada kewajiban yang mesti ditunaikan: membawa pulang hasil tangkapan untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga.

Sebaliknya, bertolak ke air yang dalam mengandung risiko yang juga jauh lebih besar. Haluan perahu lebih sulit dikendalikan ketika badai menerpa. Bahaya perahu disapu ombak yang ganas sewaktu-waktu siap mengancam. Ketika tantangan dan risiko ini di satu pihak harus diatasi, sementara di pihak yang lain harus berhasil menangkap ikan, maka keberhasilan akan ditentukan setidaknya oleh tiga hal.

Pertama, keterampilan berlayar dan mengendalikan perahu. Jika tidak, kesalahan sedikit pun di laut lepas akan fatal dan tangkapan akan sia-sia belaka. Alih-alih mendapat kakap, bisa-bisa perahu tenggelam dihantam badai, dan para nelayan terseret oleh arus air laut yang ganas.

Kedua, penjala ikan yang cakap menebar jala dalam kondisi perahu oleng dan laut yang dalam. Diharapkan penjala lentur, dapat berpijak di lantasan yang goyah, namun lemparan jalanya harus bisa presisi tepat ke arah permukaan air yang ada ikannya. Si pelempar jala harus punya kemampuan adaptatif dan mempunyai intuisi dan visi di mana kira-kira jala harus ditebarkan. Arahan memang sudah diberikan si bijak bahwa harus bertolak menangkap ikan ke air yang dalam. Namun, arahan itu mesti disertai usaha dan dilandasi keterampilan melempar secara presisi.

Ketiga, adanya pembagian tugas yang jelas antara tukang perahu dan penjala, bahkan sejak rencana digulirkan. Tanpa adanya kerja sama, tidak mungkin didapat hasil yang memuaskan. Keterampilan individual haruslah disinergikan dan diarahkan untuk satu tujuan yang sama. Team work spirit penting dikedepankan ketimbang keterampilan individual.  Sebaliknya, sikap ego dan maunya menang sendiri, melaksanakan job pribadi tanpa memedulikan tujuan organisasi, sebaiknya dienyahkan. Seseorang harus tahu dan pandai bersikap dalam berbagai organisasi dan peran yang dimainkan.

Makna terdalam "duc in altum": berpikir besar, mendapat besar. Senantiasa ada bersamamu masalah, namun jadikan hambatan/ tantangan itu: peluang.

Ciri seorang pemimin, banyak. Bergantung referensi dan sudut pandang. Salah satu buku koleksi yang saya beli di toko buku bandara Soekarno Hatta ini bagus. Leaders Eat Last - Pemimpin orang yang terakhir makan.

Tapi menurut hemat saya. Duc in altum dan Leaders Eat Last. Dua frasa yang jika disatupadukan. Akan menjadikan seorang pemimpin luar biasa.

Dalam maknanya. Tapi lain waktu kita bahas.