Filosofi

Serial Kebangsaan (12) Jangan Main-main dengan Nyawa Manusia!

Jumat, 22 Juli 2022, 18:34 WIB
Dibaca 434
Serial Kebangsaan (12) Jangan Main-main dengan Nyawa Manusia!
Ilustrasi penembakan (Foto: inews.id)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Dengan alasan untuk menjaga transparansi dan independensi proses pengusutan kasus penembakan hingga terbunuhnya seorang anggota kepolisian, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo akhirnya menonaktifkan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Ferdy Sambo pada Senin malam, 18 Juli 2022.

Selanjutnya divisi yang sebelumnya dipimpin Ferdy akan beralih ke Wakapolri Komjen Gatot Eddy.
Tidak sampai di situ saja, belakangan Kapolri menonaktifkan -istilah lugasnya mencopot- Karo Paminal Divpropam Polri Brigjen Hendra Kurniawan dan Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto. Siapa para penggantinya, akan segera diumumkan.

Keputusan Kapolri ini tentu tidak akan mengakhiri polemik "drama baku tembak" di internal kepolisian yang telanjur menjadi konsumsi publik begitu saja. Setidak-tidaknya keputusan ini akan meredam opini publik yang cenderung mendramatisir peristiwa berdarah ini, bahkan mereka-reka sesuai tafsir mereka.

Faktanya, baik Brigadir J maupun Bharada E (yang disebut-sebut pelaku penembakan) merupakan ajudan Ferdy. Brigadir J bertugas sebagai sopir istri Ferdy, sementara Bharada E bertugas melindungi keluarga Kadiv Propam, jabatan mentereng yang disandang Ferdy.

Pihak kepolisian pada keterangan awal mengklaim, penembakan itu berawal dari dugaan pelecehan yang dilakukan Brigadir J terhadap istri Ferdy. Brigadir J mengeluarkan total tujuh tembakan, yang kemudian dibalas lima kali oleh Bharada E. Ada bumbu "seks" yang berkembang dalam kasus ini dan "seksualitas" adalah nilai berita.

Kapolri kemudian membentuk tim khusus untuk mengusut insiden berdarah tersebut. Selain itu, Komnas HAM juga melakukan penyelidikan secara independen terhadap kasus yang menghilangkan nyawa seorang manusia yang menjadi sorotan publik.

Bagaimana terbunuhnya Brigadir J, keterangan (atau cerita) yang disusun Ferdy kepada publik serta video "menangis"-nya jenderal polisi bintang dua di hadapan Kapolda Metro, media massa kiranya telah memberitakannya secara lebih terbuka, dibumbui cerita warga di media sosial.
Publik pun semakin bertanya-tanya atas kejanggalan demi kejanggalan yang menyertai kasus ini, yang tidak berhenti begitu saja ketika jenazah Brigadir J diserahkan kepada keluarganya, yang juga penuh kejanggalan

Brigadir J tewas dalam apa yang disebut baku tembak dengan Bharada E di rumah Ferdy di Komplek Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat, 8 Juli 2022 lalu. Namun, peristiwa berujung maut itu baru diungkap pada Senin 11 Juli 2022 atau tiga hari kemudian.

Dari "rahasia" rentang waktu yang tiga hari ini saja sudah menciptakan teka-teki sekaligus misteri di dalamnya, sehingga publik yang cerdas setidaknya bertanya: Mengapa baru diketahui tiga hari kemudian? Apa yang terjadi sesungguhnya? Adakah suatu kebusukan yang disembunyikan di balik peristiwa itu?

Ibarat pepatah, serapi-rapinya menyimpan bangkai, bau menyengatnya akan tercium juga. Itulah yang terjadi dengan upaya menutup-nutupi kematian Brigadir J.

Kapolri bisa berganti setiap saat. Pergantian sepenuhnya atas keputusan politik Presiden RI, meski dengan "embel-embel" disetujui parlemen. Polri sendiri adalah institusi yang merupakan instrumen negara, dibiayai sepenuhnya oleh negara. Polisi dengan jabatan dan pangkat yang bekerja di dalamnya adalah orang-orang yang menjalankan peran dan fungsi institusi tersebut.
Keberadaan Polri yang dulu masih setarikan napas dengan TNI itu dijamin Undang-undang. Ketetapan MPR di masa reformasi kemudian "menyapih" Polri dari TNI. Nama kepangkatan pun berganti, tidak lagi mengikuti pangkat di TNI.

Polri memiliki legalitas formal dalam menjalankan tugasnya. Karena dibiayai oleh negara, maka rakyat berhak "mengawasi" kinerja -bahkan tindak tanduk atau sepak terjang- institusi ini. Pun rakyat harus patuh atas ketentuan yang digariskan kepolisian.

Tentu saja ranah yang boleh dikritik publik berkisar pada marwah yang harus selalu dijaga oleh Polri. Tidak berhak publik menghakimi (trial by opinion) bahwa Ferdy Sambo sudah pasti bersalah, atau sudah pasti jenderal polisi bintang dua inilah aktor utama di balik tewasnya Brigadir J.
Jangan! Biarkan tim penyidik yang dibentuk Kapolri bekerja hingga tuntas. Media pun selayaknya tidak melakukan "trial by the press".

Analogi menggambarkan, alangkah naifnya hanya untuk membuang kotoran yang masuk ke insitusi Polri dengan cara membakar Mabes Polri agar baunya segera hilang. Tentu saja yang dihilangkan baunya, bukan membakar gedungnya.

Kapolri mafhum, sebagai pimpinan tertinggi di institusi tersebut ia perlu menjaga marwah yang berkaitan dengan profesionalisme Polri itu sendiri. Pun ia secara pribadi harus menunjukkan seorang Kapolri yang profesional, setidak-tidaknya tidak mempermalukannya atasannya, Presiden.
Kapolri tidak perlu melindungi dan menutup-nutupi anak buah atau koleganya jika terbukti bersalah, sebab yang dipertaruhkan adalah lembaga yang merupakan instrumen negara itu, bukan anak buah terbaik atau kolega tersayangnya.

Beberapa petinggi Polri berpangkat melati tiga sampai bintang dua yang terkait insiden berdarah ini telah dinonaktifkan, mungkin akan menyusul penonaktifan petinggi Polri lainnya karena dapat dipastikan kasus ini akan terus berkembang, apalagi jika sampai ke pengadilan kelak.

Dalam konteks religiositas maupun filsafat, harga nyawa manusia itu sama saja; tidak ada yang lebih berharga, tidak ada yang lebih murah. Apalagi di hadapan Tuhan, nyawa jenderal maupun nyawa kopral sama nilainya.

Jadi, jangan main-main dengan nyawa manusia!

***