Menumbuhkan Budaya Belajar
Pengorbanan kita menunjukkan prioritas kita. Demi beberapa jam bertemu pacar, ada orang rela menempuh perjalanan jauh puluhan bahkan hingga ratusan kilometer. Tetapi, saat diminta membeli sebuah buku dengan jarak yang sama, ia mengeluh. Mengapa hal itu bisa terjadi?
Karena ia mau ‘berkorban’ untuk pacarnya bukan untuk sebuah buku.
Sebelum Covid-19 menyerang. Seorang penulis yang saya kenal baik di Kota Yogyakarta bercerita. Pada awal-awal ia memulai merintis kariernya, ia sempat rela ke Jakarta menghabiskan banyak uang, hanya untuk wawancara 30 menit, demi bisa belajar dari seseorang. Bayangkan ia menghabiskan waktu, materi, dan tenaganya untuk mewawancarai seseorang.
Walau saat itu masih memiliki penghasilan sedikit, bagi dia uang yang ia keluarkan tidak sedikit. Namun, demi bisa menimba ilmu dari yang terbaik, ia melakukan pengorbanan besar.
“Saat itu saya memang menghabiskan materi untuk meraih impian saya, dan saya yakin apa yang saya korbankan dapat kembali berlipat-lipat entah dari mana nantinya.” katanya.
Hal demikian juga mungkin sering Anda temui pada orang-orang di sekitar Anda.
Kadang juga saya memerhatikan beberapa teman saat berada di toko buku. Ada yang bertanya, “Buat apa beli buku mahal, kalau enggak bikin perut kenyang?”
Bagi saya pertanyaan yang musti kita ajukan adalah berani nggak kita menyisihkan sepertiga penghasilan atau uang demi menambah pengetahuan kita?
Maaf, menurut pengamatan saya hanya sedikit orang yang berani melakukannya. Jangankan menyisihkan uang, membeli buku seharga Rp50 ribu saja sudah ngomel-ngomel.
Akhirnya, perlu kita kembali bertanya. Bagaimana dengan kita? Apakah kita sampai hari ini masih haus untuk belajar? Ingat saat kita berhenti belajar, saat itulah kita berhenti bertumbuh. Jika kita berhenti bertumbuh, saat itulah kita mengalami kemunduran.
***