Peran Vital Keluarga Mendidik Anak pada Masa Covid-19
Suatu malam kami berdiskusi dengan seru. Lontaran pendapat silih berganti keluar dari kepala kami. Hanya berempat. Namun diskusi itu berlangsung lebih dari 2 jam. Sampai denting jarum jam menyentuh angka 00.01 WIB barulah kami berhenti. Prosedur kesehatan tetap terjaga karena diskusi terjadi melalui video call aplikasi telekomunikasi Whatsapp.
Kami membahas tentang tantangan pendidikan pada masa Pandemi Covid-19. Bukan hanya tantangan masa kini, namun juga pengaruhnya terhadap masa depan bangsa.
"Teologi pembebasan dari Paolo Freire tampaknya cocok untuk pendidikan di era Covid ini," ujar kang Pepih Nugraha, pendiri Kompasiana yang ternyata punya kepedulian tinggi terhadap dunia pendidikan.
Kenapa cocok pada era Covid? Karena peran anak menjadi lebih besar sebagai subjek pendidikan. Lebih bebas mengembangkan pola belajar dan pemikiran yang membebaskan. Peran guru dan orangtua lebih sebagai fasilitator. Kira-kira demikian intinya.
Baca juga: Urgensi Pendidikan Pemimpin Berkarakter Toleran
Pendapat itu disetujui R. Masri Sareb Putra, pegiat literasi berlatar belakang ilmu filsafat yang juga aktif di kancah pendidikan. Pria kelahiran Sanggau Kalimantan Barat ini, berpengalaman merintis Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong milik Kompas.
Ia juga ikut mendirikan Institut Teknologi Keling Kumang Sekadau. Penulis buku-buku tentang Dayak ini mengingatkan tentang pentingnya akar budaya dan karakter bangsa sebagai dasar pendidikan kita, harus tetap dijaga meski dalam kondisi pandemi.
Seperti biasa, ia mengutip pakar di bidangnya. Kali ini buku-buku pendidikan Karya H.A.R. Tilaar menjadi rujukan sang filsuf.
Diskusi ini dipicu oleh kegelisahan Yansen Tipa Padan – Bupati Malinau (2011-2015, 2016-2021) tentang dampak Covid-19 terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk pendidikan. Menurutnya, konsep pendidikan Wajib Belajar 16 tahun yang sudah berjalan di Malinau dan akan dilanjutkan di Kalimantan Utara (Kaltara) sebagai salah satu jawaban.
Dalam konsep tersebut, pendidikan wajib dimulai sejak usia dini. "Di sinilah peran keluarga menjadi sangat penting dan vital dalam pendidikan anak," ujarnya.
Saya sepaham. Pada masa Covid ini, orangtua dipaksa dan terpaksa memberikan perhatian lebih pada pendidikan anak-anaknya. Tak bisa lagi cuek dan menyerahkan seluruhnya kepada sekolah. Mereka wajib ikut campur dalam beberapa hal! Mau tidak mau. Jadi lebih repot. Keluarga wajib terlibat, seperti yang memang seharusnya. Selama ini, banyak orangtua yang tak peduli dengan pendidikan anaknya dan menyerahkan 100% kepada sekolah.
Saya ingat konsep pendidikan Sekolah Alam Cikeas yang pada 2012 hingga 2018 saya berada di dalamnya sebagai pengelola. Di sekolah besutan Lendo Novo ini, orangtua wajib bekerja sama dalam mendidik anak. Tidak boleh cuek. Tidak boleh 100% serahkan anak ke sekolah. Harus datang pada hari sekolah (hari kerja) untuk konsultasi minimal 3 kali dalam satu semester. Harus mengerjakan proyek dan karya bersama anak.
Dan beragam kegiatan lain yang intinya, orangtua bekerja sama dengan sekolah dalam membangun karakter anak. Sekolah tak boleh dan tak bisa dibiarkan sendirian.
Meski terpaksa dan dipaksa, justru pada masa pandemi ini, peran orangtua dan keluarga yang semestinya dalam mendidik anak menjadi kenyataan. Suatu hal yang dulu begitu tak mudah dilakukan. Terlalu banyak orangtua yang belum melek pendidikan, sehingga menganggap institusi pendidikan seperti mesin pengubah anak. “Sim salabim…” anak mereka jadi cerdas, baik, dan bisa. Cara pandang keliru yang sudah berlangsung sejak lama.
Baca juga: Pendidikan Karakter Manjur Kurangi Konflik
Pekerjaan rumah bagi kita adalah bagaimana agar semakin banyak orangtua yang memahami perannya dalam mendidik anak. Keluarga adalah sekolah pertama buat anak. Orangtua adalah pendidik pertama dan utama bagi anaknya. Mereka harus memantaskan diri agar mampu berperan sebagai pendidik anak lalu berkolaborasi dengan sekolah untuk menghasilkan generasi emas Indonesia.
*Penulis adalah pengelola Sekolah Alam Cikeas 2012-2018 dan Dosen Komunikasi UI 2003 - 2017
Baca juga: Asyiknya Bangun Karakter Anak di Jalan Raya