Filosofi

Serial Kebangsaan (13) Wajah Media Sosial Kita

Minggu, 24 Juli 2022, 07:57 WIB
Dibaca 611
Serial Kebangsaan (13) Wajah Media Sosial Kita
Peluncuran YTPrayeh.com (Foto: Radar Tarakan)

Pepih Nugraha

Penulis senior

Media sosial atau lebih sering disebut medsos kerap dijadikan cermin kamuflase yang paling telanjang. Tentu oleh sebagian orang. Dulu ada pameo yang agak sarkastik, "Tak ada orang yang tahu bahwa kamu itu sekadar anjing di Internet".

Kalau yang tidak paham konteks, tentu tersinggung dengan kata "anjing" di sini, padahal sesungguhnya itu sekadar menunjukkan anonimitas yang biasa terjadi di dunia maya. Orang bisa tampil beda dengan dirinya di kehidupan sehari-hari sehingga lahirlah buku "kamu berbohong di Internet".

Mungkin ini paradigma lama. Saya melihat sebaliknya, sekarang netizen cenderung menunjukkan jati dirinya secara utuh dalam sikap maupun pilihan politiknya. Mereka bukan lagi "anjing" yang anonim dan mereka tidak sedang berbohong.

Misalnya dalam polarisasi keberpihakan dalam kasus pandemi. Jelas mereka yang pro dan kontra dengan vaksinasi, pro dan kontra tentang upaya pemerintah menangani pandemi, terlihat dengan jelas. Mana yang memuja Rocky Gerung mana yang menghujat Jokowi -atau sebaliknya- terlihat jelas.

Di satu sisi ini perkembangan baik. Artinya, Internet tidak lagi menjadi ajang sembunyi orang-orang anonim yang tidak sudi mengungkap identitasnya. Tapi di sisi lain, mereka yang berani tampil juga hadir dengan sikap manipulatif karena sikap dan pilihan politik itu tadi. 

Maka, meski mengaku diri sedang mengeritik, tetapi sesungguhnya sedang nyinyir. Maka medsos dijadikan pembenaran sekaligus pengaburan makna. Mereka tidak mau disebut sedang nyinyir, tetapi sedang melaksanakan tugas mulia, yaitu mengeritik.

Bagaimana mengecek seseorang itu mengeritik tulis atau sedang kumat nyinyir? Profiling! 

Ya, profiling. Sederhana, cek siapa orang ini, bagaimana pastingan-postingannya dalam 3-5 tahun belakangan, siapa tokoh-tokoh pujaannya untuk memperteguh keberpihakannya, siapa teman-temannya, konten apa yang kerap ditayangkannya, bagaimana status-status verbalnya dan seterusnya.

Dengan menelisik profiling ini, semoga dapat membantu memilah dan memilih mana kritik mana nyinyir. Pintar saja tidak cukup untuk bermain di medsos, tetapi perlu cerdas juga.

YTPrayeh.com mengambil wujud media sosial juga. Saya lebih suka menyebutnya sebagai "media partisipatif" di mana semua orang -penulis maupun pembaca- dapat berpartisipasi di website literasi yang didedikasikan Yansen Tipa Padan, pengungkit dan pegiat literasi nasional.

Di YTPrayeh, ide membangun peradaban, aplikasi dan implikasi kebudayaan bahkan tulisan ringan tentang étnografi tersaji secara naratif karena ditulis oleh para pelaku yang terlibat di dalamnya.

Meski wajah medsos kita menampakkan ujud wajah menduanya, tetapi sebagai media literasi partisipatif, YTPrayeh menyatukan wajah itu: kebhinekaan.

***